WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI MOECHTAR EL-NAOEMI, SILAHKAN ANDA MEMBACA-BACA ARTIKEL YANG ANDA SUKA, TAPI JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK ANDA/COMENT POSITIF YANG UNTUK KAMI SANGAT BERARTI . . . . THANKS YOUR VISITED SELAMAT MEMBACA ! ! ! !
English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

Kamis, 18 Februari 2010

BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM DI INDONESIA

Oleh Ajid Thohir
Dalam pandangan Nieuwenhuijze.,
munculnya rumusan Pancasila
sebagai gagasan ideologi dan visi
kebangsaan di Indoensia, dimana
bukan lagi Islam sebagai azas
utamanya, sebenarnya bukanlah
sebuah kekalahan Umat Islam -
karena memang secara realistik
kelompok yang paling giat dalam
banyak memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dan yang
merumuskan menjadi suatu sistem
kebangsaan adalah umat Islam.. Hal
ini terbukti, bahwa dari kelima
dasar Pancasila itu, sebenarnya
secara keseluruhan adalah
mencerminkan juga ideologi Islam
sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan
sosial, demokrasi/musyawarah, dan
kemanusiaan, semuanya merupakan
bagian-bagian penting dari ajaran
Islam dan konsep Islam. Termasuk
munculnya Departemen Agama,
merupakan juga jaminan yang
sebenarnya bagi tegaknya Islam
secara formal dalam sebuah
lembaga kenegaraan.
Dalam kacamata Nieuwenhuijze,
para tokoh Islam di Indoensia
sangat "cantik" dalam memainkan
peran mereka untuk
mengakomodasi kelompok lain, tapi
secara realistik keberadaan
mereka sendiri tetap tersalurkan
secara utuh. Ini merupakan suatu
bentuk penafsiran kreatif atas
prinsip-prinsip Islam yang
sedemikian rupa dalam rangka
memapankan relevansinya dengan
kehidupan politik modern.

1.Pendekatan Domestikasi Islam
yang dikembangkan oleh Harry J.
Benda. Teori ini dikembangkan dari
Magnum Opusnya, The Crescent
and The Rising Sun, telah
diterjemahkan oleh Daniel Dekhade
dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya,
Jakarta. Serta tulisannya yang
berjudul Continuity and Change in
Indonesia Islam dalam Asian and
African Studies, Vol.1, 1965;123-138
Dalam pandangan teorinya ia
menggambarkan, Islam walau
sehebat apapun perkembangannya
di Indonesia, kekuatan lokal
senantiasa terus memainkan
dominasinya sehingga dinamika
Islam yang sesungguhnya itu
lumpuh, "terdomistikasi" dalam
lingkup lokalitasnya. Fenomena
"sinkretik" merupakan sesuatu
yang sangat realistik untuk segera
menyatakan bahwa kekuatan Islam
yang agung itu selalu termakan
oleh kekuatan lokalnya. Bahkan
bukan sekedar itu, dalam
pandangan Benda, bangkitnya
kesultanan Mataram, sebenarnya
merupakan sebuah penolakan
terhadap Islam yang sebenarnya di
Demak.. Benda menggambarkan,
Mataram Islam sebenarnya
sebagai sebuah simbiosis dari
kekuatan Hindu Jawa, dan ia
merefleksikan simbol kekuatan
yang sesungguhnya dalam melawan
kekuatan Islam peisisir Demak
sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada
antara abad ke-16 - 18 yang
mudah diamati itu, sekali lagi sekali
memberi kenyataan Islam yang
universal dan kosmopolit itu takluk
di dalam dekapan "Jawa-Hindu-
Mataram": Dalam konteks
"pemandulan politik Islam" yang
sebenarnya inilah Harry J Benda
menemukan teori "domestikasi"-nya.
Pada perkembangan berikutnya,
kekuatan nasionalis dalam
personifikasi Soekarno dalam
partai PNI, juga bentuk kelanjutan
dari upaya yang terus
mendominasi dan "mengkrangkeng"
beberapa kekuatan Islam
skripturalis seperti halnya Darul
Islam, Masyumi dan sebagainya
untuk kemudian digantikan dengan
Pancasila yang pada dasarnya
bukan nota bene Islam. Dalam
kacamata Benda, Pancasila
sebenarnya sebagai personifikasi
bentuk kekuatan dan kemenangan
Jawa. Dalam hal ini ia menyatakan
seperti yang dikutip Bahtiar
Effendi dalam bukunya, Islam dan
Negara, Mizan, 1998;.30 "...Pancasila,
ideologi resmi negara, adalah Jawa,
teistik, secara samar monoteistik,
padahal yang pasti bukan Islam"
Pada kesimpulannya teorinya, Benda
ingin menyatakan, bahwa fenomena
pasca kolonislisme dimana
akumulasi proses terbentuknya
sistem dan visi kenegaraan dan
kebangsaan, merupakan suatu
pengulangan ajang pertempuran,
perebutan antara kekuatan Islam
dan Jawa. Kemenangan akhirnya
dipegang oleh kelompok yang
terakhir ini.

2.Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini dikembangkan oleh
Robert Jay dan Clifford Geertz.
Dari tulisan Jay di antaranya,
Santri and Abangan; Religious
Schism in Rural Central Java, dan
bukunya Religion and Politisc in
Rural Centarl Java, New Haven;
Yale University, 1963. Sementara
Geertz banyak juga dia menulis
dan yang paling populer adalah The
Religion of Java, University of
Chicago Press, 1976
Pandangan Jay dalam melihat Islam
di Indonesia nampaknya agak mirip
seperti apa yang dilihat oleh Harry
J Benda, bahwa di Indoensia
khususnya Jawa - karena
mayoritas penelitian mereka pada
umumnya dilakukan di Jawa,
khususnya Jawa Tengah- ada
suatu kekuatan di luar Islam yang
senantiasa menyaingi bahkan
"menjinakan"nya. Benda
menyebutnya sebagai kekuatan
Hindu-Jawa, sedangkan Jay
melihatnya sebagai kelompok
abangan.
Teori skismatik yang dia bangun
menunjukkan bahwa akar-akar
konfrontasi (skisma) antara santri
dan abangan ini sebenarnya
bermula dari proses islamisasi
awal di berbagai tempat,
khususnya Jawa. Wilayah-wilayah
yang pada umumnya pengaruh
Hindu-Budha-nya tipis -terutama
daerah-daerah pesisir utara Jawa,
telah mengkonversi Islam secara
total dan menerima apa adanya.
Sehingga, mereka-mereka ini kelak
akan menjadi kekuatan Islam yang
skripturalis, atau lebih tepat
disebut "santri". Sebaliknya, untuk
wilayah-wilayah tertentu di
pedalaman dimana kekuatn Hindu-
Budha-nya cukup kuat terutama
daerah-daerah pedalaman seperti
bekas-bekas kekuatan kerajaan
Majapahit di Mataram dan
Singosari di Malang,.seringkali
menunjukkan antara Islam dan
kekuatan lokal saling melakukan
penetrasi. Sehingga kemudian
transformasi sosial-budaya dan
agama menjadi sesuatu yang
sinkretik dan pada akhirnya banyak
melahirkan kelompok-kelompok
abangan.
Memang antara dua kekuatan ini
sepertinya saling pengaruh-
mempengaruhi namun pada sisi
yang lain kadangkala membangun
ketegangan yang sangat melebar,
terutama dalam dunia politik.
Seperti apa yang terjadi dengan
kasus pembantaian terhadap para
ulama oleh Sultan Amangkurat II (
1613-1646), dalam pandangan Robert
Jay bisa dilihat sebagai bentuk
fenomena skismatik yang sangat
radikal.. Secara umum kekuatan
dua kelompok ini, terus berjalan
pada pascakolonialis dan masa-
masa pembentukan visi kenegara.
Keduanya mengkristal dalam wadah
yang disebut, "ortodoksi" yang
berakar dari para santri dan
kelompok "sinkretisme" yang
berakar dari kelompok abangan.

Ajid
View Public Profile
Send a private message to Ajid
Find More Posts by Ajid

13-01-2007 #3
Ajid
Anggota Lengkap

Join Date: 11-01-07
Age: 38
Posts: 52 Re: Beberapa Pendekatan
Studi Islam Di Indonesia

---------------------------

Berbeda dengan Jay, Clifford
Geertz bisa mengelaborasi
kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa
ternyata skismatik sebagai
fenomena pertarungan antara
Islam dan kekuatan lokal, pada
dimensi-dimensi tertentu
sebenarnya tidak bisa
menggambarkan secara utuh
kenyataan Islam di Jawa.
Ternyata masih ada kekuatan lain
selain abangan dalam kenyataan
sosial budaya masyarakat Jawa,
yakni kelompok apa yang disebut
"priyayi". Kelompok ini dalam
keseharian, memiliki sejumlah
kareakter yang berbeda seperti
apa yang biasa dilakukan oleh para
santri dan abangan. Sehingga ia
menambahkan lagi, ternyata ada
kekuatan-kekuatan lain di luar
Islam selain abanga, yakni priyayi.
Sehingga ia menyebutnya teori
aliran dalam keberagamaan Islam
di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia
dapatkan ketika meneliti secara
serius pada komunitas
perkampungan Mojokuto sebagai
mikrokosmik kehidupan sosial,
budaya dan agama masyarakat
Jawa. Secara jelas ia ungkapkan
ketiga aliran ini sebagai berikut:
"Abangan menekankan pada aspek-
aspek animistic dari seluruh
sinkretisme Jawa dan secara luas
berkaitan dengan unsur-unsur
petani di kalangan penduduk; santri
mewakili suatu penekanan
terhadap pelaksanaan aspek-aspek
Islam yang pada umumnya
berkaitan dengan unsur dagang -
juga unsur-unsur tertentu dalam
kelompok petani; priyayi
menekankan aspek-aspek hinduistik
dan berkaitan dengan unsur-unsur
birokrasi..."

Ketiga varian ini pada kegiatan
politik pascakolonial telah
merefleksikan aspirasi politiknya
pada pemilu tahun 1950-an pada
partai-partai yang beragam ;
abangan dan priyayi mayoritas
suara politiknya mereka salurkan
pada partai "komunis" dan
"nasionalis" yakni PKI (Partai
Komunis Indonesia) dan PNI (Partai
Nasionalis Indonesia), sedangkan
kelompok santri menyuarakan
aspirasinya pada Masyumi atau
Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori
Geertz ini, telah memberi
gambaran tentang adanya realitas
kelompok aliran dalam kehdipan
sosial, budaya dan politik serta
agama dalam masyarakat Jawa.
Dan pada masa kekuasaan Orde
Baru, realitas ketiga aliran ini
dipersepsikan sebagai sesuatu yang
permanen dalam bangunan politik di
Indonesia. Soeharto memberikan
kebijakan dengan membubarkan
partai-partai kemudian meleburnya
menjadi tiga kelompok wadah
poliitik; Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dengan simbol
Ka'bah dan nampaknya sebagai
wadah para santri; Golkar sebagai
kekuatan birokrasi pemerintahan
dan Partai demokrasi Indonesia
mewadahi kelompok nasionalis-
abangan.

1.Pendekatan Trikotomi. Teori ini
dikembangkan oleh Allan Samson.
Dia menulis pikirannya yang
tersebar ke dalam beberapa buku,
"Islam and Politics in Indonesia"
dalam R.William Liddle (ed). Political
Participation in Moedrn Indonesia,
New Haven Yale University Press,
1973;116-142. "Conceptions of
Politics, Power and Ideologi in
Contemporary Indonesia" dalam
Karl D. Jackson (ed) Political Power
and Communications in Indonesia,
Berkeley, University of California
Press, 1978; 196-226
Sebagaimana para teoritikus
terdahulu, Samson melihat
karakteritik Islam di Indonesia
tidak bisa dilihat secara tunggal.
Termasuk kategori "santri'-pun
haruslah dilihat sebagai sesuatu
yang kompleks, terutama dalam
mengekspresikan keagamaan dan
kemauan politiknya.
Dalam kenyataannya, kelompok
santri di Indonesia -yang
terwadahi dalam NU, Muhamadiyah
dan Masyumi- setidak-tidaknya
memilki karakter yang sangat
variatif; ada yang fundamentalis,
reformis dan akomodatif. Yang
dimaksud kelompok-kelompok
santri dalam pandangan Samson di
antaranya adalah mereka-mereka
yang tetap mempertahankan Islam
sebagai basis dan norma-norma
dalam berpolitiknya. Akan tetapi
perbedaan itu terasa akan nampak
dalam penyikapan mereka terhadap
keinginan, gagasan, ide dan
kemauan politiknya terutama
ketika menghadapi realitas yang
berbeda.. Kenyataan berpolitik
mereka tercermin dari karakter
masing-masing gerakan dan
startegi yang dilakukannya. Secara
jelas, warna-warna santri dalam
berpolitiknya bisa di kategirkan
sebagai berikut:
a.Fundamentalis. Adalah sekelompok
santri yang biasanya ingin
menempatkan agama dalam segala
aspek kehidupan, termasuk
bernegara. Kelompok ini diwakili
oleh sejumlah politisi semacam
M.Natsir. Mereka pada umumnya
tidak bisa melakukan tawar-
menawar dalam kehidupan politik.
Mereka lebih tegas memegang
prinsip dan cita-cita politiknya.
b.Reformis. Adalah mereka yang
ingin menempatkan secara rasional
posisi Islam dalam kehidupan
politik. Termasuk dalam
membangun relasi dan bagi
penerapan kepentingan Islam.
Mereka juga sebenarnya ingin
menempatkan Islam pada posisi
strategis di tengah-tengah
kekuatan lainnya. Kelompok ini
tercermin pada karakter Soekarno
dalam membangun kompromi
antara agama dan ideologi lainnya.
c. Akomodisionis adalah kelompok
santri juga namun mereka lebih
terbuka, sekalipun sepintas nampak
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Nampaknya, sikap politik dari
kelompok ini sebenarnya ada
sesuatu yang akan diraih jauh lebih
besar dalam merangkul dan
mengambil posisi penting lainnya.
Sehingga seolah-olah ada sesuatu
yang berani mereka korbankan.
Kelompok ini lebih tercermin
misalnya dalam gaya berpolitik di
kalangan orang-orang NU,
terutama ketika Soekarno
mengusulkan adanya penggabungan
kekuatan utama ideologi politik di
Indonesia, yakni Nasionalis, agama
dan Komunis. Hanya satu-satunya
kelompok santri yang bisa
menerima ideologi seperti ini.
Alasannya adalah, jika semua santri
meninggalkan kebijakan ini, siapa
lagi yang bisa mengendalikannya.
Kategori Allan Samson ini
sebenarnya tidak menunjukkan
sesuatu yang permanen dalam
politik Islam di Indonesia. Mereka
para fundamentalis ini bisa jadi
menjadi akomodatif dalam hal-hal
tertentu. Namun sebagai sebuah
tipologi gerakan bisa menunjukkan
sesuatu yang permanen, tetapi
subjek yang berada di dalamnya
bisa saja berubah-ubah..
Istilah-istilah fundamental,
reformis dan akomodatif bisa jadi
hanya sebagai sebuah metode
gerakan dan strategi politik. Bisa
jadi juga sebagai lobying atau jalan
berfikir bahkan alat negosiasi
dalam dunia politik.

5. Pendekatan Islam Kultural. Teori
ini dikembangkan oleh Donald K.
Emmerson. Teorinya terdapat
dalam beberapa tulisanya di
antaranya, "Islam in Modern
Indonesia; Political Impasse,
Cultural Opportunity" dalam Phillip
H Stoddard (et.al) Change and the
Muslim World, Syracuse University
Press, 1981; 159-168. "Isl;am and
Regime in Indonesia; Who 's
Coopting Whom? Makalah dalam
pertemuan tahunan Ahli-ahli politik
Amerika, 31 Agustus 1989.
Secara umum orang melihat Islam
di Indonesia sebagai sesuatu yang
"terkalahkan". Emmerson
menyatakan sebaliknya. Betulkah
Islam terkalahkan? Apa ukuran
kekalahannya? Apa betul memang
terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru
pada skala kebudayaan memiliki
kemenangan yang begitu hebat di
Indonesia. Terutama pada periode
Orde Baru, sekalipun secara politis
Islam memang tertekan, namun
dalam pengembangan kebudayaan
secara makro justru bisa masuk
dal;am semua lini.. Ketika Islam
terpojokkan, ia kemudian mengubah
strategi dan kemampuannya
dengan membentuk "diversifikasi"
yakni melakukan penyebaran
kekuatan ke setiap posisi pranata
sosial, termasuk ekonomi,
pendidikan dan agama. serta seni
dan kebuadayaannya. Sejak tahun
1970-an gerakan kepesantrenan
dan kemadrasahan baik yang
dilakukan oleh kelompok NU atau
Muhammadiyah serta para
cendekiawan memasuki pos-pos
pemerintahan. Gagasan Nurcholis
Majid, "Islam yes, politics no"
merupakan titik klimaks dari
manufer Islam dalam memasuki
berbagai kekutan pranata sosial
dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti
munculnya sejumlah buku-buku
terjemahan maupun tulisan-tulisan
yang kreatif yang bisa membangun
persepsi Islam Indonesia lebih
hidup dan dinamis bermunculan
secara fenomenal. Mizan sebagai
pelopor gerakan penerbitan buku-
buku seri cendikia muslim, hampir
selalu menaikkan oplah cetaknya,
karena permintaan pasar
pembacanya, termasuk juga
bermunculannya berbagai jenis
diskusi yang dilakukan para kaum
muda di selauruh perguruan tinggi
Islam. Ini terjadi terutama pada
tahun-tahun akhir 1980-an.
Kemenangan lainnya adalah Islam
bisa masuk ke Istana
Pemerintahan Orde Baru, dimana
K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr.
Quraish Shihab telah diangkat
secara langsung menjadi guru ngaji
keluarga Soeharto sebagai presiden
RI yang cukup kuat saat itu. Hal
ini kemudian diikuti oleh sejumlah
kyai dan ulama untuk mulai bisa
memasuki berbagai kepentingan
pemerintahan, terutama untuk
mensosialisasi kebijakan
pemerintahan seperti program
Keluarga Berencana (K, Puskesmas,
transmigrasi dan pembangunan
sosial lainnya. Kelanjutan dari ini,
akhirnya para ulama ditarik untuk
masuk pada kekuatan politik
pemerintah, Golkar. Pada periode
ini berbagai forum ulama
dimanfaatkan untuk kepentingan
politik. Pada akhirnya, Islam diajak
kembali dalam dunia politik praktis.
Kelanjutan pada periode ini
Soeharto sebagai penguasa tunggal
akhirnya sangat dekat dengan
Islam. Ia mengakui dan merestui
bahkan ikut membidani lahirnya
Bank Mua'amalat yang
berlandaskan syari'at Islam, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), bahkan ia seolah merestui
sejumlah "ABRI Hijau" yang
berkarakter santri dan sebagainya.
Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi -
yang nota bene sebagai simbol
kelompok cendekiawan muslim atau
santri- selaku wakilnya untuk
menjadi presiden, menggantikan dia
karena berbagai desakan
reformasi. Semua fenomena ini
menunjukkan secara alamiyah
Islam telah menunjukkan
kemengannya dalam realitas politik,
sosial dan budaya.

Komentar dan Kesimpulan
Dari kelima teori di atas,
sebenarnya secara tegas bisa
dinyatakan sebagai berikut :
1.Dekonfessionalisasi menjelaskan
Islam kalah, tapi ada negosiasi
akibat kekalahnnya
2.Domistikasi menjelaskan
fenomena Islam kalah dengan
kekuatan lokal
3.Skismatik menjelaskan Islam
berlawanan dengan kekuatan lokal
4.Trikotomi menjelaskan kehidupan
sosial masyarakat Islam cukup
kompleks dan pluralistic
5.Diversifikasi menjelaskan Islam
sebagai kekuatan budaya yang
berhasil dalam menaklukkan
kekuatan politik apapun.

Secara ilmiyah sebenarnya
kesemua pendekatan, perspektif
atau teori sosial politik dan
budaya di atas, dalam melihat
Islam di Indonesia sangat
dimungkinkan kebenarannya. Artinya
dari masing-masing perspektif
teori telah memiliki argumentasi
faktanya sendiri-sendiri, bahkan
cara-cara melakukan pembacaan
(the explanation) terhadap apa
yang ditemukannya di lapangan.
Bahkan sudah semestinya untuk
melihat Islam di Indonesia secara
objektif, kelima teori di atas perlu
digabungkan secara sistemik dalam
penggunaannya. Karena masing-
masing fakta sosial mungkin akan
cocok jika didekati oleh teori
tertentu, dan fakta sosial lainnya
cocok dengan teori yang lain
berikutnya.
Secara kategoris, semua temuan
teori/pendekatan sosial, budaya,
agama dan politik tentang Islam di
Indonesia di atas, ada yang
bersifat permanen seperti halnya
mengenai bentuk-bentuk
"pengkategorisasian" atau
"tipologisasi" yang mereka buat,
dan ada pula yang tidak bersifat
permanen dan tidak berl;aku untuk
setiap periode. Pada umumnya
fakta-fakta sosial yang lebih
bersifat tentatif dan tidak
permanen adalah menyangkut
biasanya tokoh, kelompok, visi, dan
strategi setiap kelompok yang
mereka kaji atau fenomena lainnya
yang lebih ekspresif dalam lingkup
lokalitasnya. Mengapa, karena
fakta-fakta sosial seperti itu
sangat dinamik tergantung situasi
dan kondisi yang meliputinya, untuk
situasi dan kondisi tertentu
mungkin tidak akan ditemukan di
tempat atau peiode lain.
Sebenarnya dari kelima teori di
atas sebagian ada yang masih
dianggap cukup relevan dengan
situasi sekarang, bahkan untuk
menggambarkan keadaan
perpolitikan Islam di Indonesia
saat ini. Misalnya pengelompokkan
ekspresi keagamaan dalam
berpolitik seperti halnya ada
kelompok fundamentalis, reformis
dan akomodisionis, seperti yang
telah dijelaskan oleh Allan Samson.
Kelompok fundamentalis terkadang
mengembang menjadi kelompok
radikalis, akibat saluran-saluran
poliitiknya tersumbat. Gerakan
kelompok Mujahidin, Front Pembela
Islam (FPI), Hizbu Tahrir Indonesia
(HTI), Front Pembela Umat Islam
(FPUI), secara elaboratif
sebenarnra nampak masih
mencerminkan pada pola-pola
ekspresi kelompok fundamentalis,
yang dalam strateginya nampaknya
tidak ada celah untuk meneriwa
tawaran apapun, kecuali keinginan
politiknya harus diterima. Oleh
orang lain Kelompok ini pernah
muncul pada awal-awal tahun 1950-
an yang tercermin seperti dalam
bentuk Darul Islam (DI), maupun
Masyumi dalam partai politiknya.

Illustrasi Empirik Situasi Sosial,
Agama dan Politik Islam di
Indonesia Saat ini
Mengamati situasi sekarang
terutama pasca jatuhnya Orde
Baru, telah melahirkan euphoria
politik yang berlebihan dari umat
Islam. Sejumlah partai atas atas
nama Islam lahir dengan tidak
mengedepankan perhitungan visi
dan misi yang rasional. Gerakan
mereka muncul hanya dengan
modal kepercayaan yang berlebihan
bahkan terkesan sangat emosional.
Mereka seringkali menggunakan
simpul-simpul agama, dan itupun
sangat parsial seperti halnya
partai Abul Yatama, Partai
Nahdlatul Ummat (PNU) dan
sebagainya. Apalagi dalam praktek-
praktek penarikan simpati massa,
merupakan fenomena yang unik
yang belum ada penjelasannya
secara konstruktif. Mungkin ini
bila diamati secara serius, akan
melahirkan teori atau pendekatan
baru dalam studi Islam di Indonesia.

Ajid
View Public Profile
Send a private message to Ajid
Find More Posts by Ajid

13-01-2007 #4
Ajid
Anggota Lengkap

Join Date: 11-01-07
Age: 38
Posts: 52 Re: Beberapa Pendekatan
Studi Islam Di Indonesia
Untuk daerah-daerah tertentu
dimana perda-perda dalam
pelaksanaan syari'at Islam sangat
bersemangat, juga masih
menyisakan maslah dan
memerlukan kajian serius. Mengapa
wailayah-wilayah tertentu seperti
halnya Cianjur, Bulakamba,
Pamekasan, Garut, Tasikmalaya,
Tangerang dan sebagainya begitu
bersemangat dalam melakukan
sosialisasi pelaksanaan syari'at
Islam. Apakah karena wilayah ini
sebagai basis santri yang solid?
Bagaimana apakah ada kaitannya
dengan kemenangan partai politik
tertentu? Atau karena personal
legislatifnya yang begitu antusias
atau sebaliknya karena
masyarakatnya? Bagaimana mereka
merumuskan perundang-undanagn
yang berbasis syari'ah itu?
Bagaimana mereka mensinergikan
kekuatan syari'at Islam dengan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai
konstitusi negara? Semua teori di
atas secara makro nampaknya
masih bisa untuk melihat fenomen-
fenomena ini, sekalipun dalam hal-
hal tertentu kelima teori ini tidak
sepenuhnya bisa memberikan
jawaban secara tuntas. Mungkin
dengan mengelaborasi kelima teori
di atas dan sekaligus dengan
melakukan pengamatan terlibat
(participant observer) ke semua
titik-titik persoalan dan
masalahnya, dan tentunya setiap
daerah tidak akan sama
Pertanyaan-pertanyaan
metodologis tadi, memberi banyak
inspirasi pada kita untuk terus
mencari terang apa persoalan
yang sebenarnya ada di tengah-
tengah masyarakat kita?. Apakah
selama ini peran pemerintahan
belum maksimal dalam melayani
masyarakatnya, sehingga mereka
ingin mencoba menggunakan
syari'at Islam? Atau karena
faktor-faktor keyakinan saja?
Atau karena euphoria saja?
Gejala radikalisme Islam di
Indoiensia yang ditandai dengan
lahirnya sejumlah aksi teroris yang
melakukan pengeboman di sana sini,
apakah ini betul ada kaitannya
dengan pemahaman terhadap
doktrin agama, atau karena situasi
sosial ekonomi yang begitu
menghimpitnya? Bahkan mungkin
karena adanya jaringan dengan
pihak-pihak asing? Pertanyaan
berikutnya Apakah gejala
radikalisme saat ini di Indonesia
akan bersifat permanen?
Kelima teori/pendekatan di atas
nampaknya belum bisa memberikan
jawabannya secara utuh. Namun
secara sosiologis dan psikologis,
situasi sekarang ini nampaknya
sebagai bentuk respon yang
"tentatif" akibat dari situasi
sebelumnya, dimana pengaruh Orde
Baru yang begitu kuat, tegas dan
refressif serta dominan dalam
memegang kekuasaan di semua lini,
tiba-tiba dikejutkan oleh arus
reformasi yang mendobraknya
secara radikal. Sehingga,
sebenarnya reformasi tahun 1987-
an itu kurang tepat untuk disebut
"reformasi," tapi lebih tepat
sebagai suatu bentuk revolusi
sosial dan politik yang sangat
"fundamental". Sehingga semua
kelompok sosial yang terpingirkan,
sebelumnya -seperti halnya
mantan G 30 S PKI, kelompok
fundamental Islam dan yang
lainnya, merasa mendapat angin
segar untuk bisa bebas bersuara
dan mencoba mengekspresikannnya
dalam jalur-jalur dan potensi yang
dimilikinya.. Termasuk kelompok-
kelompok radikal fundamental yang
sebelumnya tidak mendapat
kebebasan pada masa itu, kini bisa
meng-ekspresikannya paling tidak
dengan "bom" yang dimilikinya, agar
ia bisa menunjukkan dan
bernegosiasi sebagai kekuatan
politik (bargaining position), bahwa
dirinya juga sebagai bagian dari
"Islam" yang patut diperhitungkan
(waow keren...)
Radikalisme Islam di Indonesia,
secara historis nampaknya tidak
akan bersifat permanen, mengapa?
Karena catatan sejarah di
Indonesia tidak memberikan
legitimasi ke arah ini. Radikalisme
di Indonesia itu muncul biasanya
dikarenakan ketika sistem
keamanan, kewibawaan politik dan
saluran aspirasi politik tidak bisa
berjalan dan teratasi dengan baik.
Seperti ketika masa-masa politik
mengambang zaman Soekarno, tiba-
tiba Darul lslam muncul sebagai
kekuatan baru yang radikal, namun
setelah pemerintahan kuat,
mereka bisa ditumpas dan hilang
dengan sendirinya..
Membaca radikalisme kelompok-
kelompok muslim di Indonesia saat
ini, haruslah dilihat secara
komprehensif. Apakah memang
karena faktor pemahaman agama
semata? Atau aspek-aspek politik,
atau bahkan karena aspek-aspek
psikologis dan ekonomis yang
sangat mendorong terjadinya
perilaku demikian?. Hanya, secara
kebetulan mereka termasuk pada
kategori muslim, itulah
persoalannya. Radikalisme di
Indonesia berbeda halnya dengan
radikalisme di Palestina,
Afghanistan, Irak sekarang atau
negara-negara muslim lainnya.
Semua negara yang disebutkan
tadi telah membentuk radikalisme
secara permanen, karena semua
kondisi dan situasinya memang
secara persis permanen pula.
Semua tantangan memang
mendorong untuk menciptakan
terjadinya sikap dan prilaku radikal
umat Islam, terutama terhadap
musuh-musuhnya.
Jadi, radikalisme itu muncul
biasanya sejalan dengan persoalan
dan permasalah yang ada di
sekelilingnya. Di Indonesia mungkin
hanya bersifat tentatif saja,
selama sistem pemerintahan belum
mapan dan solid. Atau mungkin
hanya sekedar uji coba terhadap
reaksi global masyarakat dunia
yang korup dan curang. Yang jelas,
kesemuanya akan berhenti dengan
sendirinya. Semoga***. Wallahu
A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
~@~Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda~@~Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja~@~Seseorang yang oprimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan~@~Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna~@~Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain~@~Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah~@~Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda~@~Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan~@~Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas~@~Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun~@~Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri~@~Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan lebih cermat~@~