WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI MOECHTAR EL-NAOEMI, SILAHKAN ANDA MEMBACA-BACA ARTIKEL YANG ANDA SUKA, TAPI JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK ANDA/COMENT POSITIF YANG UNTUK KAMI SANGAT BERARTI . . . . THANKS YOUR VISITED SELAMAT MEMBACA ! ! ! !
English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

Selasa, 26 April 2011

KAJIAN METAFISIKA

Hakikat dan Hukum Eksistensi Metafisik




Di era modern ini, kecenderungan peradaban manusia mengalami pergeseran signifikan dari dimensi-dimensi metafisik-immaterial menuju medium yang berbasis rasional-material. Suatu gejala peradaban yang cenderung hanya meruang dalam batas-batas realitas fisik dan nyaris tidak memberikan ruang bagi hal-hal transendental yang berada di luar batas akal. Apa yang tidak bisa dipecahkan melalui rumus logika, tidak bisa diselesaikan dengan teori-teori ilmiah, dinilai suatu yang nisbi, tahayul dan absurd.
Dalam bidang kosmologi, dunia modern juga hanya menunjukkan pandangan pada satu dimensi kecil dari kosmos ini, yaitu dunia fisik. Kosmologi modern mungkin sukses mengungkap banyak fakta baru tentang alam fisik yang belum pernah diketahui oleh kosmolog abad pertengahan, dan barang kali telah memperluas batas alam semesta itu menjadi jauh di luar batas yang pernah mereka ketahui melalui semarak observasi dan riset yang digalakkan guna mengetahui kemungkinan adanya kehidupan di seberang bumi sana. Akan tetapi, semarak kosmologi modern sama sekali tidak hirau dengan eksistensi "maya" yang sebenarnya tidak jauh dari lingkungan "nyata" ini, serta lebih perlu mendapat perhatian serius karena memiliki relasi erat dengan kehidupan manusia. Yaitu alam gaib. Suatu dimensi kehidupan misterius yang hanya bisa disingkap melalui teks-teks aL-Qur'ân dan aL-Hadîts.
Oleh karena itu, jika dinilai dari sisi kualitatifnya, dimensi kosmos modern jauh lebih sempit dibandingkan kosmologi Islam yang menyelidiki sifat dan realitas alam non-fisik tanpa mengabaikan alam fisik dan memiliki wilayah penyelidikan rasional yang jauh lebih luas dibandingkan ranah kajian kosmologi modern. Tujuan tertinggi studi tentang kosmos ialah memvisualisasikan kosmos sebagai sebuah "ayat-ayat" yang dapat direnungkan untuk peningkatan spiritual, atau sebagai penjara yang harus dihindari oleh setiap jiwa manusia guna mendapatkan kebebasan hakiki bersama-Nya swt.
Tulisan berikut akan mengadakan eksplorasi (penjelajahan) ke dunia metafisik untuk menyibak tabir hakikat dan hukum eksistensi alam gaib. Fokus analisa akan diarahkan ke seputar dunia Malaikat dan Jin serta simplikasi-simplikasi transendental yang muncul dari kedua alam tersebut. Di akhir kajian, juga akan diangkat seputar hakikat mimpi, ilhâm, sihir, mantra dan jimat serta kedudukannya dalam yurisprudensi hukum Islam.

SKETSA KOSMOLOGI



Berdasarkan kosmologi tradisional, alam fisik yakni dunia atau alam kasat mata ini merupakan "kristalisasi" atau sebagai "proyeksi" dari alam gaib, yakni ether. Adapun ether merupakan proyeksi dari sesuatu yang tidak berbentuk (alam Malaikat), dan alam ini merupakan proyeksi dari "Yang Maha Wujud" atau Being. Gambaran proyeksi tersebut bisa diilustrasikan dengan sistematis melalui skema menurun dalam Lima Prinsip Kehadiran Ketuhanan yang disampaikan oleh Abû Thâlib aL-Makky sebagai berikut; Hahût (Esensi, atau Realitas Absolut); Lahût (Realitas Being, yakni Tuhan atau Realitas Tuhan); Jabarût (Alam Malaikat); Malakût (Alam Gaib) dan Nâsût (Alam Manusia).
Istilah pertama, yakni Hahût, berasal dari kata Huwa yang berarti "Dia". Sebuah nama Tuhan, yaitu nama Esensi (Adz-Dzât) yang mengandung pengertian "Ipseity". Ipseity merupakan pengertian Sesuatu yang darinya tidak dapat berkurang maupun bertambah; tidak bisa dibagi-bagi; tidak ada sesuatu apapun di luar-Nya. Ungkapan Ipseity ini tertuang di dalam aL-Qur'ân surat aL-Ikhlâs;

"Katakanlah: "Dia-lah Allâh, Yang Maha Esa. Allâh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada apapun yang setara dengan Dia".

Dalam interpretasi ayat pertama, Fakhr Ad-Dîn Ar-Râzy mengatakan bahwa tiga kata dalam ayat pertama (åæ Çááå ÃÍÏ) adalah simbol tiga strata keimanan. Kata åæ adalah strata keimanan tertinggi yang dimiliki oleh golongan Muqorrobûn. Kendati konotasi dlomîr ini adalah isyâroh mutlak, namun bagi golongan ini, åæ cukup untuk menunjukkan realitas Tuhan, karena di mata mereka realitas manifestasi (makhluk) adalah —semu bahkan— tiada. Untuk strata kedua ditempati oleh ashhâb al-yamîn. Di mata golongan ini, masih ada dualisme realitas. Mereka menyaksikan realitas Esensi sekaligus manifestasi, sehingga perlu kata Çááå untuk menegaskan siapakah hakikat åæ (Dia) itu. Strata ketiga adalah keyakinan ashhâb asy-syimâl. Dalam keyakinan golongan ini terdapat potensi menduakan Allâh (syirik), sehingga kata ÃÍÏ akan menghancurkan kesyirikan itu.
Sifat Absolut ini hanya layak dimiliki oleh Allâh swt. Hahût kerap disebut "Beyond Being", Satu Yang Satu. Dia adalah Yang Maha Mungkin, tidak dapat dipisah-pisahkan, Yang Tidak terbatas dan Yang Maha Satu (aL-Ahad). Lantaran Hahût adalah Absolut maka menimbulkan keniscayaan akan sesuatu yang berasal dari diri-Nya sendiri. Hal ini merupakan dasar suatu penciptaan, yakni sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang Absolut. Dalam hadits qudsi Allâh berfirman;

"Aku adalah kekayaan tersembunyi. Aku menginginkan untuk dikenali, oleh karena itu Aku menciptakan alam semesta ini."

Jembatan ontologi antara manifestasi (yakni tiga prinsip kehadiran yang terakhir; Jabarût, Malakût dan Nâsût) dengan Hahût adalah diferensiasi dan determinasi kehadiran terakhir dari kehadiran Tuhan yang kedua (Lahût).
Istilah kedua yakni Lahût, berasal dari kata aL-Ilâh "Ketuhanan". Kaitannya dengan keabsolutan Hahût, Kehadiran Ketuhanan yang kedua ini disebut "Absolut yang Relatif". Ia tampak absolut dari sisi pandang eksistensi, namun Ia tak berbeda dengan Yang Absolut. Sedangkan sifat relatif lantaran Ia dibatasi dengan berbagai kemungkinan lain. Kendati demikian, Lahût merupakan sifat Tuhan yang sempurna karena segala ciptaan di dalam-Nya, dari diferensiasi dari-Nya.
Sebuah polarisasi terjadi di dalam Being menuju kepada tindakan sejati (Jabarût atau daya) dan penerimaan sejati (substansi). Dari penyatuan antara daya (yakni tingkatan esensi yang berbeda dengan Hahût) dengan substansi (yakni eksistensi yang memunculkan tahapan kehadiran berikutnya) merupakan sebuah proses manifestasi. Terdapat banyak istilah yang digunakan untuk polaritas ini. aL-Qur'ân menggunakan aL-Qolam aL-A'lâ (Pena Tertinggi) untuk tindakan atau daya dan aL-Lauh aL-Mahfûzh untuk substansi universal. aL-Qolam (daya) dilihat dari sudut pandang tertentu merupakan al-aql al-awwal (intelek pertama), juga merupakan ar-rûh al-kully (jiwa universal) dan juga merupakan al-unshûr al-a'dham (elemen tertinggi). Istilah-istilah ini dipandang sebagai pembiasan dari Being menuju makrokosmos dan berakhir pada mikrokosmos atau manusia.
Lahût terkadang juga disebut sebagai alam al-izzah (alam keagungan) yang sebagai bagian dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah. Hahût dan Lahût keduanya merupakan sifat Ketuhanan yang mana kehadiran sesudahnya merupakan "penciptaan" (makhluk), yakni hijâb (tudung/maya). Jadi di dalam Lahût atau Being, sesuatu yang dicipta dan yang tidak dicipta bersatu.
Istilah ketiga, yakni Jabarût adalah alam kekuasaan atau daya. Alam Jabarût juga merupakan realitas yang dinamakan "singgasana" (aL-Arsy). Hal ini merupakan bagian supraformal atau manifestasi kemalaikatan yang diliputi dan terdiri dari ciptaan formal. Ia telah menjadi bagian ciptaan, namun masih belum menggambarkan alam nyata.
Istilah keempat adalah Malakût, yakni alam kegaiban atau alam animis yang di dalam Vedanta disebut sukma sarira. Ia merupakan alam bangsa Jin yang sebagian menjelma dari intelek (al-aql), sehingga mereka berpotensi mencapai pengetahuan Tuhan.
Prinsip kehadiran Ketuhanan yang kelima adalah Nâsût, yakni alam dunia ini. Alam yang dihuni manusia dan seluruh lingkungan "nyata"-nya yang merupakan alam kasat mata atau alam badaniah.
Manifestasi atau eksistensi, meliputi tiga prinsip kehadiran yang terakhir (Jabarût, Malakût dan Nâsût). Manifestasi ini oleh beberapa metafisikawan dirumuskan menjadi lima unsur, yaitu waktu, ruang, bentuk, jumlah dan materi. Sejumlah prinsip kehadiran juga disebut dengan istilah yang ragam. Gabungan antara Hahût dengan Lahût kadang disebut alam ghoib al-muthlaqoh (alam gaib absolut). Gabungan Jabarût dan Malakût juga disebut hadlrot al-ghoib al-mudlâf (kehadiran asal yang gaib). Alam Malakût juga kerap disebut alam mitsâl (dunia simbol). Sedang alam dunia ini disebut hadlrot asy-syahâdah al-muthlaqoh (kehadiran manifestasi secara total).
Alam (manifestasi) adalah segala yang wujud selain Allâh, wujud ini bersifat relatif dan serba mungkin karena yang bersifat wajib wujud hanya sang Pencipta. Wujud alam dikategorikan menjadi tiga bagian. Pertama, eksistensi yang berada dalam batas-batas ruang tertentu (mutahayyizah). Kedua, sifat eksistensi yang berada dalam batas-batas ruang tertentu, dan ketiga, bukan eksistensi dan bukan sifat yang berada dalam batas-batas ruang (ghoir mutahayyizah).
Untuk yang pertama (mutahayyizah) apabila menerima dipecah dan dibagi disebut materi (al-jism), dan bila tidak bisa dipecah lagi disebut atom (jauhar). Materi (al-jism) terdiri dari kelompok atas (al-ulwiyyah) dan kelompok bawah (as-sufliyyah). Kelompok atas meliputi planet-planet antariksa, aL-Arsy, aL-Kursi, Sidrah aL-Muntahâ, aL-Lauh aL-Mahfûdh, aL-Qolam dan aL-Jannah. Sedangkan kelompok bawah terdiri dari basîthah (sederhana) dan murokkabah (paduan). Basîthah meliputi empat elemen, yakni, lapisan bumi, lapisan air, lapisan udara dan lapisan api. Sedangkan murokkabah meliputi flora, fauna dan tambang.
Adapun yang kedua, yakni sifat eksistensi yang mutahayyizah (meruang) adalah al-a'rôdl (gejala) yang jumlahnya hampir mencapai empat puluh jenis. Dan yang terakhir, yakni bukan eksistensi mutahayyizah dan bukan sifat mutahayyizah adalah arwah. Arwah dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni arwah kelompok atas (al-ulwiyyah) dan arwah kelompok bawah (as-sufliyyah). Arwah kelompok atas terdiri dari arwah yang berkaitan dengan planet-planet angkasa dan arwah yang tidak terkait yang suci dan agung. Sedangkan arwah kelompok bawah meliputi arwâh khoiroh (ruh-ruh baik) yang terdiri dari jin-jin shaleh dan arwah syariroh (ruh-ruh jahat) yang terdiri dari syaitan.

ALAM MALAIKAT



Hampir seluruh ajaran agama memiliki doktrin bahwa di mayapada ini ada empat golongan yang mendapatkan beban taklif Tuhan, yakni Malaikat, manusia, jin dan syaitan. Model taklif yang dibebankan kepada mereka, menurut Ibn Jamâ'ah terbagi menjadi tiga. Pertama, ditaklif sejak awal fitrah yaitu Malaikat, Adam dan Hawa'. Kedua, ditaklif tidak dari awal fitrah yaitu anak turun Adam. Dan ketiga, dicabutnya taklif yaitu dari bangsa Jin. Dari keempat golongan yang mendapatkan beban taklif tersebut ada tiga yang masih menjadi misteri dalam studi metafisika, yakni Malaikat, jin dan syaitan. Berikut ulasanya.

a. Hakikat Malaikat



Kata "Malâikat" adalah bentuk jamak dari "malak" yang telah mengalami proses perubahan dari bentuk asal "mal'ak" (menyampaikan ajaran). Studi para metafisikawan seputar hakikat Malaikat masih berujung pada kesimpulan yang ragam. Motif awal yang melatari perbedaan konklusi ini memang beranjak dari teori dan gaya analisis yang variatif. Ada yang hanya mengandalkan potensi intelek murni (al-aql) seperti yang dilakukan kalangan rasionalis, ada yang mengacu pada doktrin kepercayaan tertentu dan ada yang sepenuhnya menyandarkan pada teks-teks qur'âni.
Dari beberapa kontroversi pengetahuan tentang hakikat Malaikat, setidaknya dapat diabstraksikan menjadi dua disparasi ekstrim. Pertama, Malaikat adalah suatu eksistensi berupa materi (al-jism) yang berada dalam batas-batas ruang tertentu (mutahayyizah). Kedua, Malaikat adalah eksistensi immaterial (jauhar) bebas ruang (ghoir mutahayyizah). Versi pertama yang mengatakan Malaikat adalah eksistensi yang meruang, terpecah lagi ke dalam beberapa pendapat;
a.Malaikat adalah suatu eksistensi dari realitas bintang-bintang dan planet antariksa yang dapat memberi keberuntungan dan kesialan. Pendapat ini dipegang oleh kalangan Watsani. Mereka meyakini bahwa planet-planet angkasa adalah eksistensi yang hidup dan memiliki intelek (nâthiq) sebagai dewa-dewa (Malaikat). Dewa-dewa yang memberi kebaikan dan kemaslahatan mereka namakan sebagai Malaikat rahmat. Sedangkan dewa-dewa pembawa petaka dan sial mereka sebut Malaikat azab.
b.Malaikat adalah "spesies" dari unsur cahaya. Doktrin Zoroaster (Majûsi) dan Tsanawi menyatakan bahwa alam ini tercipta dari dua aspek asal berupa cahaya dan kegelapan. Hakikat kedua aspek tersebut adalah jauhar lembut yang memiliki power (qudroh). Cahaya dan kegelapan adalah dua kekuatan yang berlawanan bentuk dan jiwa, berlawanan kreasi dan fungsi. Cahaya adalah simbol keutamaan, kemuliaan, kebahagiaan dan segala kebaikan. Sedangkan kegelapan adalah lawan dari itu semua. Dari aspek cahaya terlahir dewa-dewa pengasih, bukan dari proses perkawinan melainkan kelahiran metavoris layaknya hikmah dari seorang hakim dan layaknya terang dari bias sinar. Demikian juga dari aspek kegelapan terlahir secara metavoris dewa-dewa angkara murka. Garis gen dari aspek cahaya inilah yang menurut doktrin ini disebut sebagai Malaikat. Sedangkan garis keturunan dari aspek kegelapan disebut sebagai syaitan.
c.Malaikat adalah eksistensi berupa bentuk material (ajsâm) lembut sejenis hawa yang berada di langit dan tidak kasat mata, namun memiliki potensi menjelma dalam wujud fisik yang kasat mata. Pengetahuan inilah yang menjadi kepercayaan mayoritas umat Islam.
Sedangkan versi kedua yang menyatakan bahwa Malaikat adalah eksistensi immaterial yang bebas ruang (ghoir mutahayyizah), masih terpecah lagi menjadi dua pandangan;
a.Malaikat adalah jiwa-jiwa (al-anfûs) yang di luar fisik badaniah. Jika jiwa-jiwa itu bersih dan bening maka dikatakan sebagai Malaikat, sebaliknya jika menjijikkan dan keruh disebut sebagai syaitan. Pengetahuan demikian merupakan keyakinan salah satu sekte dari Nasrani.
b.Kalangan rasionalis menyatakan bahwa Malaikat adalah jawâhir independen dan tidak berada dalam suatu ruang, berbeda dengan jiwa-jiwa dan intelek manusia namun memiliki power dan intelektualitas lebih sempurna. Personifikasi Malaikat dengan jiwa manusia ibarat matahari dengan sinarnya. Malaikat menurut versi ini dikelompokkan menjadi dua. Pertama, Malaikat yang dikaitkan dengan planet-planet antariksa sebagaimana keterkaitan jiwa intelek manusia dengan fisik badaniahnya. Kedua, Malaikat yang total eksistensinya habis tercurah untuk ibadah semata. Malaikat yang kedua ini jika dikaitkan dengan Malaikat kelompok pertama, ibarat kaitan Malaikat kelompok pertama dengan jiwa intelek manusia. Dari kalangan rasionalis juga ada yang menyatakan bahwa Malaikat adalah penjaga alam bawah (bumi). Jika penjaga itu baik maka disebut Malaikat dan bila jahat disebut syaitan.

Penciptaan Malaikat dalam Islam diyakini berasal dari aspek cahaya. Keyakinan ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Muslim yang secara eksplisit menjelaskan aspek asal penciptaan itu;
"Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepadamu".

Kaitannya dengan hadits ini, ada satu versi yang mengatakan bahwa baik Malaikat, Jin dan manusia masing-masing diciptakan dari perpaduan empat aspek asal, yakni tanah, air, api dan udara. Hanya saja unsur api lebih dominan dalam penciptaan Jin, dan hawa (cahaya) lebih dominan dalam penciptaan Malaikat. Lantaran sifat lembut yang dimiliki api dan hawa itulah keduanya (Malaikat dan jin) terlahir menjadi makhluk maya yang tidak kasat mata.
Ketiga aspek asal penciptaan dalam hadits di atas (cahaya, api dan tanah) melahirkan tiga model eksistensi dan bersesuaian dengan tiga gunas (sifat-sifat fundamental). Ketiga sifat ini merupakan ciri khas segala sesuatu yang eksis. Unsur tanah dalam penciptaan manusia bersesuaian dengan aspek terendah yang mengarah pada bentuk inferior, yang dalam istilah Sanskrit disebut tamas (tarikan, kegelapan atau disintegrasi). Api merupakan sifat penjelajah, yang dalam istilah Sanskrit disebut rajas (gerak atau ritme). Adapun unsur cahaya dalam penciptaan Malaikat merupakan sifat penyatu atau aspek tertinggi.
Persentase Malaikat dalam populasi penciptaan menduduki level tertinggi dari jumlah populasi setiap makhluk. Ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa prosentase manusia hanyalah sepuluh persen dari total jumlah Jin, prosentase Jin dan manusia adalah sepuluh persen dari total binatang darat, gabungan dari ketiganya adalah sepuluh persen dari jumlah burung, jumlah semuanya adalah sepuluh persen dari total binatang laut, total semuanya adalah sepuluh persen dari jumlah Malaikat yang aktif di bumi, jumlah keseluruhannya adalah sepuluh persen dari Malaikat penghuni langit dunia, total semuanya adalah sepuluh persen dari Malaikat penghuni langit ketiga, demikian kelipatan seterusnya hingga Malaikat penghuni langit ketujuh. Jumlah total semua itu adalah hampir sama dengan jumlah Malaikat yang berada di Kursi, dan hasil penjumlahan dari keseluruhan itu adalah sepuluh persen dari jumlah Malaikat yang berada di satu tenda dari enam ratus ribu tenda Arsy. Panjang, lebar dan tinggi setiap tenda itu jika dibandingkan dengan bumi, langit dan ruang atau jarak di antara keduanya hanyalah ukuran yang teramat kecil untuk dibandingkan. Tidak ada tempat setapak pun kecuali di sana ada Malaikat yang sujud, ruku', berdiri membaca tasbih menyucikan Allâh. Dan jumlah total dari semua itu jika dibandingkan dengan jumlah Malaikat yang berkeliling di sekitar Arsy mirip setetes air di tengah samudera, tidak ada yang tahu persis jumlahnya selain Allâh swt. dan total jumlah ini masih terlalu kecil jika disamakan dengan Malaikat yang berada di Lauh aL-Mahfûdh yakni Malaikat pasukan Isrôfîl serta pasukan Jibrîl.
Malaikat adalah makhluk yang tidak memerlukan sarana pendukung fisik, seperti makan, minum, atau tidur serta kebutuhan lain dari hasrat-hasrat biologis. Ia merupakan makhluk yang tidak memiliki jenis kelamin, baik laki-laki ataupun wanita, oleh karena itu bangsa Malaikat tidak beranak-pinak. Kaitannya dengan ini, seorang ahli hadits, Ibn Mâjah melukiskan identitas tentang Malaikat sebagai berikut; "Haruslah diyakini bahwa Malaikat merupakan substansi yang sederhana, diciptakan dari cahaya, dianugerahi kehidupan, lisan dan pikiran. Karena itu, perbedaan mereka dengan Jin dan syaitan adalah sebagai perbedaan spesies. Ketahuilah, bahwa Malaikat terbebas dari dorongan nafsu jasmaniah dan nafsu amarah. Mereka tidak pernah mengingkari Tuhan terhadap apa yang diperintahkan kepadanya. Makanan mereka adalah perayaan keagungannya, minuman mereka adalah pengakuan segala Kesucian Tuhan, sedang percakapan mereka adalah pengingatan Tuhan. Pemilik segala Nama Keagungan. Kesenangan mereka adalah peribadatannya, dan mereka diciptakan dengan bentuk yang istimewa dan dengan kekuatan istimewa".

b. Keimanan dan Kema'shuman Malaikat



Ada dua pendapat kontroversial seputar apakah keimanan Malaikat bersifat fatalisme (majbûr) yang berarti niscaya dan tidak mungkin kafir, atau keimanan Malaikat bersifat ikhtiyâriyah yang berarti tidak menutup kemungkinan Malaikat melakukan hal-hal terlarang. Mayoritas kalangan rasionalis dan penganut paham fatalisme (Jabariyyah) mengatakan bahwa keimanan Malaikat bersifat terpaksa. Menurut pandangan ini, adalah mustahil kemaksiatan muncul dari sikap Malaikat. Sedangkan menurut Mu'tazilah dan fuqohâ, Malaikat diberi dua kemampuan untuk taat atau maksiat (mukhtâr atau terkendali). Pendapat yang kedua ini didasarkan pada ayat; "Sesungguhnya Malaikat-Malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allâh" (aL-A'râf : 206), yang memuat pujian bahwa Malaikat tidak sombong. Dari ayat ini, pujian "tidaklah merasa enggan” menurut Mu'tazilah hanya akan logis jika diberikan kepada pihak yang juga mampu merasa enggan. Sebab mustahil seseorang dipuji karena aksi di luar kemampuannya.
Rasionalisasi Mu'tazilah ini dimentahkan oleh Fakhr Ar-Râzy yang mengatakan bahwa suatu yang di luar kendali bukan berarti tidak patut dipuji. Ia membuat analogi dengan "kewajiban" Allâh memberi pahala (wajib dalam arti jika tidak memberi adakalanya karena faktor lupa atau butuh yang keduanya mustahil bagi Allâh. Apa yang mengantarkan kepada hal yang mustahil berarti juga mustahil). Kalau Allâh "wajib" memberi pahala, berarti mustahil Allâh tidak memberi pahala. Kendati Allâh wajib demikian, namun fi'lu Allâh tersebut tetap terpuji. Inilah yang dimaksud Fakhr Ar-Râzy bahwa keterpaksaan tidak menghalangi pujian.
Tampaknya statemen Ar-Râzy ini mencoba menggabungkan antara pandangan kalangan fatalisme yang mengatakan bahwa keimanan Malaikat bersifat majbûr dengan pandangan umum Ahli Sunah yang mengatakan bahwa keimanan Malaikat bersifat mukhtâr namun ma'shûm. Artinya, pada dasarnya Malaikat diberi dua kemampuan taat dan maksiat, namun mereka telah mendapat penjagaan dari hal-hal yang dilarang. Dari sini kiranya bisa dikatakan, bahwa disparasi dua pandangan itu (majbûr dan ma'shûm) hanya terjadi dalam hipotesis dan bukan dalam sintesis.
Ada beberapa ayat yang dipakai tendensi versi yang mengatakan bahwa Malaikat terlindung dari kemaksiatan, yaitu surat At-Tahrîm : 6, An-Nahl : 50 dan aL-Anbiyâ' : 26-27. Sedangkan versi yang mengatakan bahwa Malaikat tidak mendapat penjagaan dari kemaksiatan memiliki argumen interpretatif dari ayat-ayat berikut;

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalîfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [30] Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" [31] Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [32] Allâh berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allâh berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" [33]. (aL-Baqarah : 30-33)

Menurut versi ini, ucapan Malaikat dalam ayat tersebut merefleksikan beberapa bentuk kesalahan, di antaranya;
- Kesan menggugat kehendak Tuhan, dan itu merupakan kesalahan besar untuk makhluk.
- Menyinggung anak turun Adam sebagai perusak di muka bumi, dan hal itu merupakan bentuk dari ghîbah yang dilarang.
- Dan setelah Malaikat menggunjing anak turun Adam sebagai perusak dan pembunuh, lalu mereka memuji diri sendiri dengan ucapan; "kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau" yang mencerminkan sikap ujub atau bangga diri.
- Ucapan Malaikat; "tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami" adalah ucapan yang sarat dengan nada mencari-cari alasan dari kesalahan yang telah mereka lakukan.
- Firman Allâh "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" menunjukkan bahwa Malaikat telah berdusta dengan perkataannya.
- Firman Allâh surat aL-Baqarah : 33 menunjukkan keraguan Malaikat akan pengetahuan Allâh terhadap segala sesuatu.
-Pengetahuan Malaikat pada kerusakan dan pembunuhan yang dilakukan anak turun Adam murni didasarkan pada pemikiran asumtif (istimbâth), sedangkan vonis negatif (al-qodh) pada orang lain hanya berdasar pada dugaan semata adalah larangan. Firman Allâh; "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya". (aL-Isrâ' : 36).
- Asal-usul Iblîs adalah dari golongan Malaikat Muqorrobûn, lalu mereka kafir dan maksiat kepada Allâh.
- "Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat" (QS. aL-Muddatstsir : 31) dari ayat ini mereka interpretasikan bahwa Malaikat juga disiksa. Karena menurut versi ini, tidak ada penghuni neraka selain mendapat siksa.
- Kisah Harût dan Marût yang disiksa karena melakukan kemaksiatan.
Beberapa poin di atas adalah argumen yang diangkat oleh versi yang mengatakan bahwa Malaikat tidak terjaga dari kemaksiatan. Namun, seluruh argumen interpretatif tersebut dibantah telak oleh statemen Fakhr Ar-Râzy dalam tafsirnya, kutipan ringkasnya sebagai berikut;
- Maksud pertanyaan Malaikat dalam surat aL-Baqarah : 30 tersebut bukanlah ekspresi gugatan dan penentangan terhadap kehendak Tuhan. Tetapi maksudnya adalah;
»Ketakjuban Malaikat akan kesempurnaan pengetahuan Allâh dan keluasan hikmah-Nya yang tidak terjangkau oleh logika siapapun. Hal ini logis, seperti seseorang yang mengakui kehebatan orang lain, ketika orang lain itu hendak unjuk kebolehan melakukan sesuatu yang dahsyat, maka seseorang tersebut akan berkata; "apa kamu akan melakukan hal "segila” itu? Pertanyaan semacam ini jelas bukanlah sebuah gugatan, melainkan murni kekaguman.
»Mengutarakan ketidaktahuan untuk mendapatkan jawaban bukanlah suatu kesalahan. Dan inilah yang disampaikan Malaikat dalam ayat tersebut.
»Pertanyaan Malaikat itu didasari rasa cinta yang mendalam kepada Allâh. Karena hamba yang memiliki ketulusan cinta ia tidak akan pernah rela jika ada pihak yang akan mendurhakai kekasihnya.
»Kerusakan bumi akibat ulah anak turun Adam adalah resiko dari kebaikan yang ada di dalamnya. Persentase kebaikan penciptaan bani Adam di muka bumi masih lebih dominan dibanding kerusakan yang diakibatkannya. Mengabaikan kebaikan yang lebih dominan hanya demi menghindari kerusakan yang tidak seberapa adalah kesalahan yang fatal. Sehingga secara teori hikmah, menuntut anak turun Adam diciptakan. Lantaran yang ada dalam pengetahuan Malaikat hanya resiko kerusakan bumi yang kecil itu, sementara Malaikat yakin bahwa Allâh tidak akan menciptakan kecuali ada hikmahnya. Maka hikmah di balik kerusakan dan pembunuhan anak turun Adam itulah yang ditanyakan, sehingga Allâh berfirman; "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
- Tuduhan Malaikat telah menggunjing anak turun Adam adalah penilaian yang sangat tidak etis. Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi obyek misteri bagi Malaikat adalah masalah kerusakan dan pembunuhan yang dilakukan anak turun Adam, sehingga itu yang musti diajukan. Bukan masalah keimanan dan ibadah anak turun Adam, karena hal itu memang di luar objek tanda tanya (isykâl) Malaikat.
- Tuduhan Malaikat ujub dengan dirinya sendiri perlu diluruskan, karena tidak selamanya memuji diri sendiri itu tercela. Allâh berfirman; "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)". Di samping itu kata-kata Malaikat tersebut bukan bermaksud memuji diri sendiri, tetapi justeru untuk menegaskan bahwa pertanyaan Malaikat itu bukanlah dimaksudkan untuk menegur kehendak Allâh, karena Malaikat selalu memahasucikan, memuji dan mengakui akan hikmah serta sifat Ketuhanan Allâh. Jadi kata-kata Malaikat itu dimaksudkan untuk memohon kejelasan hikmah di balik penciptaan Adam lebih mendetail.
- Memang lebih utama kiranya Malaikat tidak mengajukan pertanyaan, namun apabila Malaikat bertanya, bukan berarti itu suatu kesalahan melainkan sekedar tidak utama. Jadi kata-kata Malaikat; "tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami" kalau dipaksakan sebagai mencari-cari alasan, maka mencari alasan karena melakukan suatu yang tidak utama dan bukan mencari alasan karena melakukan kesalahan.
- Klaim pengetahuan Malaikat tentang anak turun Adam yang akan berbuat kerusakan dan pembunuhan murni berdasarkan pemikiran asumtif, perlu ditinjau ulang. Sebab ulama masih silang pendapat seputar ini. Ada yang mengatakan pengetahuan mereka hanya sebatas asumsi karena Malaikat mengetahui bahwa Adam tercipta dari empat aspek asal yang disertai syahwat dan emosi. Di mana dari syahwat akan timbul kerusakan dan dari emosi akan timbul pembunuhan. Dan ada yang mengatakan asumsi Malaikat itu karena mereka menganalogikan anak turun Adam dengan Jin yang pernah menjadi penghuni bumi dan melakukan kerusakan. Sedangkan versi lain mengatakan bahwa pengetahuan Malaikat tersebut berdasarkan keyakinan. Ada beberapa statemen ulama yang mengarah pada versi kedua ini;
»Keyakinan pengetahuan Malaikat itu karena ketika Allâh berfirman; "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi", Malaikat bertanya; "seperti apakah khalifah itu?" Allâh menjawab; "mereka adalah generasi yang akan melakukan kerusakan dan pembunuhan di muka bumi". Ketika itulah Malaikat tahu dan yakin bagaimana perilaku anak turun Adam sehingga bertanya; "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?".
»Keyakinan pengetahuan Malaikat itu karena sebelumnya telah diberi tahu Allâh jika di bumi diciptakan makhluk, maka akan terjadi kerusakan dan pembunuhan.
»Ketika Allâh menciptakan api, Malaikat merasakan ketakutan luar biasa lalu bertanya; "Tuhan, untuk siapakah api ini diciptakan?" Allâh menjawab; "Untuk hamba-hamba-Ku yang durhaka". Padahal saat itu belum diciptakan makhluk selain Malaikat, demikian juga di bumi. Dari sini Malaikat yakin ketika Allâh hendak menjadikan khalifah di muka bumi, maka kerusakan dan pembunuhan akan muncul dari mereka.
»Keyakinan Malaikat itu karena mereka telah melihat aL-Qolam menulis di atas Lauh segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat.
»Keyakinan Malaikat itu karena jika makna khalifah dalam firman Allâh itu adalah wakil Tuhan di bumi dalam hukum dan ketetapan, sedangkan fungsional seorang hakim dan qadli adalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, berarti firman Allâh akan wujudnya khalifah (anak turun Adam) secara tidak langsung juga berita akan terjadinya kerusakan dan pembunuhan.
- Allâh telah menegaskan perbedaan sifat antara Malaikat dan Iblîs. Firman Allâh untuk sifat Malaikat; "sedang mereka (Malaikat) tidak menyombongkan diri" (An-Nahl : 49). Sedangkan untuk sifat Iblîs; "Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". (QS. Shâd : 75 ). Perbedaan sifat yang kontras ini kiranya cukup untuk mengatakan bahwa keduanya bukan dari satu jenis yang sama.
- Malaikat dalam surat aL-Muddatstsir : 31 tidak bisa diinterpretasikan bahwa Malaikat disiksa, melainkan Malaikat penjaga neraka yang menjalankan tugas dari Allâh.
- Sedangkan kisah Harût dan Marût adalah kisah yang tidak bisa diterima logika dari berbagai segi;
»Pertama, dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Allâh berkata pada Harût dan Marût; "Andaikan Aku membebani kalian dengan beban yang Aku berikan kepada anak turun Adam berupa syahwat, niscaya kalian juga akan melakukan maksiat kepada-Ku". Keduanya menjawab; "ya Robbi, jika Engkau menguji kami, kami tidak akan melakukan kemaksiatan itu. Maka Ujilah kami". Ini jelas suatu kebohongan dan pembodohan terhadap Allâh. Allâh diragukan ke-Mahatahuan-Nya akan segala sesuatu, dan sikap demikian tidak diragukan menyebabkan kufur.
»Kedua, Harût dan Marût mendapatkan tawaran dari Tuhan antara siksa dunia dan akhirat. Hal ini aneh, tawaran yang semestinya dari Allâh adalah opsi antara azab atau taubat. Bukankah dua pilihan itu yang ditawarkan bagi orang yang musyrik sepanjang hidup dan bahkan membunuh para nabi?
»Ketiga, Harût dan Marût mengajarkan ilmu sihir, padahal keduanya sedang menjalani hukuman akibat maksiat.
»Keempat, sulit dilogikan, bagaimana mungkin wanita tuna susila yang berlumuran maksiat bisa naik ke langit dan bahkan dijadikan Allâh sebagai Dewi Kecantikan (Az-Zuhroh/Venus) yang sangat agung. Maka jelaslah legenda Harût dan Marût sama sekali tidak memiliki validitas sumber yang akurat.

Masih dalam limit bantahan terhadap versi yang menyatakan bahwa Malaikat tidak terjaga dari kemaksiatan, Sayyid Alwy As-Segaf memiliki terobosan yang terbilang cukup unik dalam menengarai legenda Harût dan Marût. Kendati sedikit bersebrangan dengan Fakhr Ad-Dîn Ar-Râzy, namun pada ujungnya keduanya berjumpa dalam kesimpulan yang sama. Yakni Malaikat mendapat penjagaan dari kemaksiatan.
Menurut Sayyid Alwy, legenda itu memang memilki validitas sumber hadits. Dan kisah wanita yang disalin menjadi bintang Az-Zuhroh merupakan kejadian transendental (khôriq al-âdah). Peristiwa yang dialami Harût dan Marût dimaksudkan untuk menjadi bahan pelajaran bagi Malaikat lain agar tidak lagi turut intervensi terhadap kehendak Allâh yang di luar batas pengetahuan mereka. Lantaran hikmah inilah menurut Sayyid Alwy legenda itu tidak menghapus kema'shuman Malaikat. Namun menurut aL-Baedlôwy, kisah ini bersumber dari legenda Yahudi. Demikianlah, kendati carut-marut persepsi seputar Harût dan Marût ini, namun semuanya sepakat bahwa kisah tersebut tidak menghilangkan kema'shuman Malaikat.

c. Penjelmaan Malaikat



Kehadiran Malaikat ke alam Nâsût dalam wujud kasat mata dipastikan telah melalui transfigurasi (penjelmaan) dari bentuk aslinya. Hal ini sesuai dengan firman Allâh;
"Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) Malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki". (QS. aL-An'âm : 9)

Terkait dengan ayat ini, Fakhr Ar-Râzy menyebutkan beberapa alasan (baca : hikmah) penjelmaan Malaikat dengan wujud yang bukan sesungguhnya. Di antaranya ialah karena faktor mata manusia yang tidak cukup memiliki kemampuan untuk melihat wujud asli Malaikat. Manusia yang melihat wujud asli Malaikat menurut Fakhr Ar-Râzy nyawanya praktis melayang karena keguncangan hebat yang dirasakan. Statemen ini tampaknya mengacu pada peristiwa dahsyat yang dialami Rasûlullâh saw. sesaat setelah menyaksikan langsung wujud Malaikat Jibrîl. Di samping itu, dalam sebuah hadits riwayat Hakîm, Nabi pernah bersabda kepada Ibn Abbâs; "Tidak ada makhluk yang melihat Malaikat kecuali ia akan buta selain seorang nabi........".
Kemampuan penjelmaan alih wujud ini, ada yang mengatakan memang murni dari potensi alami yang dimilikinya tanpa perantara apapun dan bisa dikendalikan melalui aspek kehendak pribadi (irôdah). Versi lain mengatakan kemampuan menjelma ini melalui perantara berupa mantra khusus yang diajarkan Tuhan. Dengan merapal mantra itulah Malaikat dapat menjelma dari alam supraformal menjadi bentuk fisik yang kasat mata.
Dalam spekulasi di luar aL-Qur'ân, ada sebagian ulama yang mencoba melogikakan proses transfigurasi Malaikat dari alam Jabarût menuju alam Nâsût ini. Terkait dengan peristiwa pertemuan Rasûlullâh saw. dengan Malaikat Jibrîl dalam wujud seorang laki-laki, Imâm Haromain menyatakan bahwa Allâh telah menyirnakan sebagian wujud asli Jibrîl dan kemudian dikembalikan ke bentuk asalnya semula. Syeikh Izzu Ad-Dîn Ibn Abdissalam menulis beberapa misteri seputar penjelmaan Malaikat sebagai berikut; Jika Jibrîl menjelma dalam wujud dâhiyah (yang membentangkan sayapnya), lalu di manakah keberadaan ruhnya? Apa bersemayam dalam wujud ini atau dalam wujud aslinya yang memiliki enam ratus sayap? Jika dalam wujud aslinya, berarti yang kasat mata itu bukanlah ruh dan wujud Jibrîl, dan jika berada pada wujud yang kasat mata itu, lantas apakah jasad aslinya mati sebagaimana jasad yang ditinggal ruhnya?
Tabir misteri itu disingkap oleh As-Suyûthy; adalah suatu yang masih rasional jika pisahnya ruh dari jasad tidak mengharuskan kematian, karena peristiwa kematian jasad akibat lepasnya ruh, secara rasio bukanlah suatu keniscayaan melainkan hanya sebatas kebiasaan. Sehingga hal yang logis, bila jasad yang ditinggal ruhnya masih bisa hidup dan aktif layaknya masih ada ruh. Abdissalam membuat personifikasi perpindahan ruh ke jasad kedua ini mirip dengan fenomena peralihan arwah para syuhadâ ke dalam perut burung-burung hijau di surga.
Sedangkan wacana para mistikus (sufi) menetapkan keberadaan alam mitsâl. Yaitu suatu dimensi di antara alam jasmani dan alam ruhani. Alam ini cenderung lebih kasar dibanding alam gaib dan cenderung lebih halus dibanding alam nyata. Dalam dimensi alam mitsâl inilah menurut kalangan mistikus peristiwa-peristiwa penjelmaan dari alam gaib berlangsung.

d.Nama dan Tugas-Tugas Malaikat



Dalam doktrin Islam, eksistensi Malaikat menjadi salah satu rukun keimanan umat Islam. Ia dikenal sebagai makhluk angkasa penghuni alam supraformal yang disebut alam Jabarût. Dalam pandangan umum umat Islam, keberadaan Malaikat secara garis besar dikelompokkan menjadi dua. Satu kelompok terdiri dari Malaikat yang segenap hayatnya habis untuk ibadah kepada Allâh. Kelompok inilah yang disebut dengan Malaikat Muqorrobûn. Kelompok kedua adalah Malaikat yang bertugas sebagai "fungsionari" Tuhan dalam mengatur stabilitas kehidupan alam dunia. Di antara mereka ada yang aktif di bumi dan ada yang aktif di langit. Malaikat-Malaikat "fungsionari" Tuhan ini merupakan bawahan yang dikepalai oleh empat pimpinan Malaikat; Jibrîl, Mîkâ'îl, Izrô'îl dan Isrôfîl. Keempat Malaikat inilah makhluk yang paling awal dicipta Allâh, paling akhir dimatikan dan pertama kali dibangkitkan kembali dari kematian.
Dalam surat aL-Muddatstsir : 31 Allâh berfirman; "Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri". Dari ayat ini kiranya dapat dimengerti betapa tidak memadai logika manusia untuk menghitung jumlah Malaikat Allâh serta mengekspos secara persis wadhîfah kesemuanya. Kendati demikian, ayat-ayat qur'âni dan sabda nabi, kiranya telah membantu nalar untuk sedikit banyak mengenal identitas makhluk agung ini. Setidaknya ada sepuluh nama serta tugas masing-masing yang dapat dikenali melalui pendekatan firman dan sabda;

1.Jibrîl
Untuk Jibrîl, dalam surat At-Takwîr : 19-21 Allâh menyebut tujuh predikat kedudukan yang dimilikinya. Yakni, Jibrîl sebagai utusan (rasûl) di antara para Malaikat, sebagai Malaikat yang memiliki kedudukan mulia (al-karîm), sebagai makhluk kuat yang mampu menandingi kekuatan syaitan yang hendak merusak aL-Qur'ân, memiliki keberadaan derajat agung di sisi Allâh, memiliki tempat istimewa dan luhur (al-makîn), sebagai figur yang ditaati (muthô'/pemimpin) di antara para Malaikat Muqorrobûn dan sebagai sosok terpercaya (al-amîn) dalam tugas sebagai mediator (penyampai wahyu) antara Allâh dan nabi/rasul-Nya.

2.Mîkâ'îl
Di samping Mîkâ'îl sebagai salah satu dari pembesar Malaikat, ia juga memiliki tugas sebagai pengatur rezeki seluruh makhluk yang meliputi pengaturan curah hujan dan tumbuh-tumbuhan. Ia juga berkedudukan sebagai patih Rasûlullâh saw. dari penghuni langit. Dalam sebuah hadits nabi bersabda; "sesungguhnya aku memiliki dua patih dari golongan langit dan dua patih dari penghuni bumi. Dua patihku dari ahli langit itu adalah Jibrîl dan Mîkâ'îl, sedangkan dua patihku dari ahli bumi itu adalah Abû Bakar dan Umar". (HR. At-Turmudzy). Lantaran sebagai patih Nabi inilah ketika peristiwa perang Uhud keduanya turut berperang di samping beliau yang dilukiskan oleh Sa'd bin Abî Waqash sebagai dua laki-laki berpakaian putih bersih yang berperang pilih tanding di kanan-kiri Nabi.

3.Isrôfîl
Ia termasuk dalam barisan pembesar Malaikat yang diberi tugas meniup sangkakala kematian dan kebangkitan. Terjadi perbedaan pendapat seputar berapa kali Isrôfîl meniup terompet tersebut. Satu versi mengatakan dua kali, tiupan pertama mengakibatkan kematian global dan berakhirnya kehidupan. Tiupan kedua adalah awal kebangkitan masal dari kematian global. Versi lain mengatakan tiga kali peniupan. Pertama adalah tiupan yang mengakibatkan keterkejutan dahsyat yang dirasakan seluruh makhluk. Kedua adalah tiupan kematian global dan terakhir adalah tiupan kebangkitan masal. Pada tiupan kematian global ini tidak ada kehidupan yang tersisa selain yang mendapat pengecualian Allâh. Ahli ta'wil masih beda pandangan terkait siapa pihak yang dikecualikan ini. Versi pertama mengatakan mereka adalah Jibrîl, Mîkâ'îl, Isrôfîl dan Izrô'îl. Versi kedua mengatakan mereka adalah para syuhadâ dan versi ketiga menyatakan yang dilindungi dari keterkejutan (tiupan pertama) adalah para syuhadâ dan yang dikecualikan dari kematian (tiupan kedua) adalah Jibrîl, Izrô'îl dan Malaikat penyangga Arsy.

4.Izrô'îl
Ia adalah pemimpin dari para Malaikat pencabut nyawa seluruh makhluk hidup. Dalam surat aL-An'âm : 93 digambarkan bagaimana sadisnya Izrô'îl mencabut nyawa orang-orang kafir. Sedangkan terhadap orang-orang beriman dalam An-Nahl : 32 disebutkan ia terlebih dulu mengucapkan salam, sangat pelan-pelan dan membahagiakannya dengan surga. Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa Nabi saw. melihat Malaikat maut di sisi kepala seorang sahabat Anshâr. Beliau berkata kepada Malaikat maut; "pelan-pelan terhadap sahabatku ini, dia seorang mukmin'. Malaikat maut menjawab; "Ya Muhammad, aku melakukannya kepada setiap mukmin dengan lembut".

5.Roqîb dan Atîd
Keduanya adalah Malaikat yang ditugaskan mencatat segala amal perbuatan hamba Allâh yang mukallaf, karena tugas inilah keduanya tidak pernah meninggalkan keberadaan hamba mukallaf. Roqîb dan Atîd diberi kemampuan mengetahui apa yang terlintas dalam hati manusia. Oleh karena itu Allâh berfirman kepada keduanya; "Bila hamba-Ku hendak melakukan keburukan, janganlah kalian catat sebagai dosa sebelum ia melakukan, dan bila melakukan maka catatlah setara dengan keburukannya itu. Bila ia mengurungkan niatnya karena Aku, maka catatlah sebagai satu kebaikan. Apabila hamba-Ku hendak melakukan kebaikan, maka catatlah sebagai satu kebaikan meski tidak melakukannya, dan bila melakukannya catatlah sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan". (HR. aL-Bukhâry).

6.Munkar dan Nakîr
Keduanya adalah hamba Allâh yang ditugaskan untuk memberi pertanyaan kubur seputar apa yang diyakini semasa hidup dan memberi siksa kubur bagi yang tidak bisa menjawab. Munkar dan Nakîr dilukiskan oleh Nabi sebagai dua sosok yang sangat menyeramkan. Sorot kedua matanya seperti kilat, suaranya seperti halilintar, memiliki taring, membawa tongkat dari besi yang sekali hantam manusia nyaris menjadi abu dan Allâh telah mencabut rasa belas kasihan dari keduanya.

7.Ridlwân
Ia dipasrahi oleh Allâh berada di gerbang surga untuk menyambut kehadiran hamba-hamba Allâh yang beriman memasuki surga dengan ucapan salam dan penuh penghormatan. Hal ini dijelaskan Allâh dalam surat Az-Zumar : 73. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh saw. Bersabda; "Aku berada di pintu surga dan hendak membukanya, lalu penjaga berkata; "siapa?" Aku menjawab; "Muhammad". Penjaga itu lalu berkata; "untukmu aku diutus agar tidak membukanya kepada seorang pun sebelum engkau". (HR. Muslim).

8.Mâlik
Ia dipilih Allâh sebagai pemimpin Malaikat Zabâniyyah. Yakni Malaikat yang bertugas sebagai penjaga neraka. Dalam surat At-Tahrîm : 6, Ia dilukiskan sebagai sosok yang sangat kuat, keras dan kasar serta patuh terhadap segala yang diperintah oleh Allâh.

Demikianlah nama-nama dan tugas-tugas Malaikat yang dapat dikenali, di luar itu masih banyak Malaikat dengan tugas-tugas kompleks seperti Malaikat penyangga Arsy, Malaikat aL-A'lâ, Malaikat Muqorrobûn, Malaikat yang ditugaskan membentuk janin dan meniupkan ruh, Malaikat yang mengatur alam, Malaikat penjaga manusia dan lain-lain yang hanya Allâh swt. yang mengetahui. Semuanya adalah hamba-hamba Allâh yang agung dan mulia, tidak memiliki nafsu dan patuh terhadap segala perintah Allâh.

ALAM JIN



Ketika kata "jin" disebut, bayangan yang spontan muncul dalam imaji, umumnya adalah sosok makhluk angker, jahat dan menyeramkan, makhluk penghuni tempat-tempat sunyi, menakutkan dan kerap dipersepsikan sebagai hantu, siluman, ruh gentayangan, jadi-jadian, pesugihan, khodam dan lain-lain dari fenomena dunia misteri yang cenderung dinilai suatu yang mengerikan. Namun benarkah sepenuhnya demikian? Lantas siapakah hakikat mereka, dari mana dan apa kepentingan logis dari semua itu? Misteri tanda tanya ini akan terjawab melalui kajian berikut. Insyâ Allâh.

a.Hakikat Jin



Secara literal, kata "jin" adalah lawan kata "insane". Kata "al-jin" adalah bentuk jama' dari "al-jân" yang berarti "tertutup" atau "terhalang". Lantaran keberadaan Jin yang tidak kasat mata inilah mereka disebut Jin. Kata "janîn" yang dipakai menyebut kandungan juga berasal dari akar kata "jin", demikian juga kata "junûn" yang dipakai untuk menyebut orang gila. Bahkan kata "jin" pada masa pra-Islam juga untuk menyebut Malaikat. Semua ini karena mengacu kepada keberadaan kandungan yang tidak tampak, akal orang gila yang tertutup dan Malaikat yang tidak terlihat.
Jin adalah makhluk penghuni alam Malakût yang diciptakan dari aspek api. Hal ini didasarkan pada firman Allâh;
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas". (QS. aL-Hijr : 27)

Penciptaan Jin dari aspek api ini bukanlah suatu yang irasional, sebab jika didekati melalui bidang medis bahwa kehidupan ini tidak akan berlangsung tanpa ada unsur daya panas (al-harôroh al-ghorîziyyah), bahkan menurut riset medis, dari seluruh organ tubuh, bagian yang memiliki temperatur panas tertinggi adalah bagian hati yang merupakan pusat ruh. Hal ini menjadi bukti empiris bahwa unsur api patut menjadi salah satu aspek asal penciptaan, yakni jin.
Bangsa Jin juga mengenal kematian dan batas ajal, namun kehidupan jin relatif lebih panjang dibanding kehidupan manusia. Ia mampu hidup mencapai ribuan tahun dan tidak mengenal serangan penyakit-penyakit yang biasa menyerang fisik manusia. Kondisi ini memang sesuai dengan karakteristik jasadnya yang tidak mengandung unsur air dari bahan makanan yang dikonsumsi. Sedangkan fisik manusia cenderung lebih rentan terhadap penyakit dan tidak tahan lama karena faktor zat cair dari makanan yang dikonsumsinya.
Wacana ilmiah selanjutnya adalah terjadinya kontroversi pemikiran dalam meyakini wujudnya Jin. Versi yang meyakini wujudnya Jin terpecah menjadi dua pandangan. Pertama, bahwa hakikat Jin adalah eksistensi material (ajsam) sejenis hawa yang memiliki intelek dan power serta memiliki potensi menjelma dalam wujud fisik. Kedua, Jin adalah eksistensi immaterial (jauhar) atau wujud tanpa bentuk yang berada di luar batas-batas ruang tertentu (ghoir mutahayyizah). Ada satu versi pemikiran yang praktis menafikan wujudnya Jin dalam mayapada ini. Orientasi pemikiran ini merumuskan kesimpulan berdasar pada premis-premis yang berbasis logika sebagai berikut;
- Apabila Jin benar-benar ada, maka hanya ada dua peluang wujud, yakni wujud dengan fisik kasar atau wujud dengan bentuk yang lembut atau halus. Apabila berupa wujud pertama, mata telanjang pasti bisa melihatnya, dan bila dengan bentuk kedua, pasti akan berantakan dan lebur ketika diterjang angin atau benda keras serta mustahil memiliki kekuatan luar biasa. Dua hal tersebut adalah keadaan yang tidak ada dalam realitas yang berarti menghilangkan dua peluang wujud Jin dan berarti menafikan Jin itu sendiri.
- Apabila eksistensi Jin juga hadir berdampingan dengan alam manusia ini, maka dalam hitungan waktu yang lama akan tercipta relasi lintas alam yang adakalanya berupa persahabatan atau permusuhan. Apabila relasi pertama maka pasti bisa dilihat hasil konkret yang positif dari hubungan itu, dan jika relasi kedua pasti akan bisa diketahui ekses negatif darinya. Namun fakta keduanya tidak pernah ditemukan dalam realitas.
- Metode untuk mencapai pengetahuan terhadap segala sesuatu adakalanya melalui indera, berita atau dengan nalar. Dengan indera, jelas tidak ada aksi Jin yang bisa direspon, tidak ada wujud yang bisa dilihat dan tidak ada suara yang bisa didengar, yang berarti wujud Jin adalah mustahil. Pengakuan melihat Jin hanya mungkin dilontarkan oleh dua pihak, pertama orang gila, akibat halusinasi yang dialami ia katakan melihat dan mendengar Jin. Kedua, orang-orang khurafat yang mengada-ngada. Apabila pengetahuan terhadap wujud Jin didasarkan pada berita-berita yang dibawa rasul dan nabi, maka hal itu akan merobohkan sifat kenabian dan kerasulan itu sendiri. Sebab boleh jadi keajaiban yang dimiliki para nabi dan rasul melibatkan pihak Jin. Satu untuk analogi adalah; kalau kita menerima statemen bahwa Jin bisa merasuk ke dalam tubuh manusia, lalu apa salahnya jika mukjizat onta yang berbicara dengan Rasul adalah Jin yang merasuk ke dalam tubuhnya? Kalau hal ini (mukjizat melibatkan Jin) mustahil, maka yang mengantarkan ke hal itu (wujudnya Jin) semestinya juga mustahil. Dan apabila pengetahuan itu didasarkan pada nalar, maka logika jelas tidak menerima kehadiran wujud Jin. Maka, tiga metode pengetahuan praktis tidak bisa mengantarkan pada pengetahuan terhadap wujudnya Jin.

Jika dicermati, seluruh konklusi dari premis-premis yang berbasis logika ini hanya mengarah pada satu pandangan yang mengatakan bahwa Jin adalah eksistensi material (ajsam) dan praktis tidak menyentuh pandangan yang mengatakan bahwa Jin adalah eksistensi immaterial (jauhar). Kendati demikian, baik versi yang mengatakan bahwa Malaikat adalah eksistensi material ataupun yang mengatakan immaterial, keduanya sama-sama memiliki statemen yang merobohkan logika versi yang mengingkari wujudnya Jin;

1.Statemen Versi Bahwa Jin Adalah Immaterial


Pandangan versi ini secara integral sepakat bahwa Jin adalah eksistensi (jauhar) immaterial atau wujud tanpa bentuk yang berada di luar batas-batas ruang tertentu (ghoir mutahayyizah). Namun dalam wilayah yang lebih spesifik pandangan ini terpecah menjadi tiga versi;
- Jin adalah jiwa intelek manusia yang berada di luar jasad fisik. Jiwa ini ada yang baik yang disebut sebagai Malaikat bumi dan ada yang jahat yang disebut sebagai syaitan bumi. Apabila terdapat badan dan jiwa yang identik dan bersesuaian dengan badan dan jiwa intelek ini, maka akan terjadi semacam relasi atau kontak lintas jiwa di mana jiwa intelek yang berada di luar jasad fisik akan aktif memberi sugesti terhadap jiwa dalam jasad fisik. Apabila relasi itu terjadi antara dua jiwa yang baik, maka sugesti itu disebut ilhâm, dan apabila terjadi antara dua jiwa yang jahat, maka sugesti itu disebut was-was (bisikan syaitan).
- Jin adalah eksistensi (jauhar) tanpa bentuk dan tanpa keterikatan dengan apapun serta berbeda dengan jiwa-jiwa intelek manusia. Jauhar itu berpadu dengan nau'. Apabila paduan ini dengan nau' yang bersih dari aspek cahaya, maka ia disebut Malaikat bumi yang merupakan jin-jin shaleh. Sedangkan bila dari paduan nau' yang buruk dan jahat maka disebut syaitan. Karena kesesuaian jenis adalah faktor dasar penyatuan, maka jiwa manusia yang baik akan bersatu dengan nau' yang bersih dan akan memberi sugesti jiwa manusia pada kebajikan. Demikian juga sebaliknya, jiwa manusia yang buruk akan bersatu dengan nau' yang jahat dan akan memberi sugesti jiwa manusia pada keburukan.
- Jin adalah ruh-ruh angkasa yang memiliki kekuatan luar biasa. Layaknya setiap ruh manusia memiliki badan, demikian halnya dengan ruh-ruh angkasa memiliki badan, yakni berupa planet-planet antariksa. Layaknya ruh manusia yang berpusat pada hati lalu menyebar ke seluruh badan, demikian halnya dengan ruh-ruh angkasa, berpusat pada planet-planet lalu menyebar ke seluruh planet bahkan menyebar ke seluruh penjuru alam. Layaknya ruh yang berpusat di hati dan otak manusia melahirkan anak-anak ruh yang menjalar ke seluruh urat dan syaraf sehingga menghasilkan potensi kehidupan pada seluruh organ dan anggota tubuh, maka demikian halnya dengan ruh-ruh angkasa yang berpusat pada planet-planet akan memancarkan garis-garis yang menyebar ke segala arah dan akan terhubung dengan seluruh bagian alam sehingga daya planet-planet akan tersalur melalui garis-garis itu ke seluruh bagian alam. Layaknya ruh manusia yang menyebar ke seluruh badan melalui hati dan otak bisa menghasilkan reaksi daya dan potensi yang kompleks, seperti daya sensitifitas inderawi, potensi berkembang dan lain-lain, dan daya atau potensi ini bisa dikatakan sebagai produk dari ruh sentral yang mengatur jasad, maka demikian halnya ruh-ruh angkasa melalui garis-garis yang menyebar ke segala arah dan terhubung dengan seluruh bagian alam, akan melahirkan anak ruh atau jiwa individu, misalnya jiwa Umar. Maka jiwa individu ini bisa disebut produk/anak dari ruh sentral atau ruh angkasa. Lantaran antar ruh-ruh angkasa memiliki perbedaan bentuk dan hakikat satu sama lain, maka perbedaan demikian juga diwarisi oleh anak-anak ruh yang dilahirkan. Anak ruh/jiwa individu yang terlahir dari ruh planet Merkurius berbeda watak dengan jiwa individu yang terlahir dari ruh planet Jupiter. Kaitan ruh angkasa dengan jiwa individu, ibarat orang tua dan anak. Oleh karena itu, ruh-ruh angkasa terlibat aktif dalam memberikan sugesti demi kemaslahatan jiwa-jiwa individu melalui mimpi dalam keadaan tidur dan melalui ilham dalam keadaan sadar. Apabila jiwa-jiwa individu kebetulan menerima daya dan memiliki hubungan yang kuat dengan ruh-ruh angkasa yang merupakan ruh sentralnya, maka jiwa individu akan memiliki keajaiban dan kekuatan luar biasa (khôriq li al-âdah). Inilah natijah inti atau esensi dari pandangan yang meyakini wujudnya Jin berupa eksistensi immaterial (jauhar) atau wujud tanpa bentuk yang bebas ruang (ghoir mutahayyizah).

2. Statemen Versi Bahwa Jin Adalah Material


Pandangan versi ini membantah logika versi yang mengingkari Jin; bahwa tidak setiap materi yang halus dan lembut pasti lebur berantakan ketika diterjang angin atau benda kasar, karena meski materi yang kasar berbeda dengan materi yang lembut dalam segi bentuk, namun tidak mustahil keduanya memiliki kesesuaian dalam segi sifat-sifat tertentu. Sehingga dari sini, tidak menutup kemungkinan materi-materi yang bersifat lembut juga memiliki eksistensial sebagai makhluk hidup yang memiliki intelek dan power layaknya makhluk kasar, bahkan boleh jadi lebih dari itu. Bukankah api percikan petir yang nota bene halus dan lembut bisa meretakkan kayu dan menembus besi serta tidak kehilangan sifat aslinya? Semua hal ini serba mungkin dan tidak terdapat satu pun dalil yang membatalkannya. Demikian juga terciptanya relasi lintas alam (persahabatan/permusuhan) bukanlah suatu keniscayaan dari pergaulan dalam durasi waktu yang lama.

b.Golongan Bangsa Jin


Bangsa jin terdiri dari tiga golongan yaitu jin yang sejenis udara yang memiliki sayap, jin sejenis ular dan jin yang suka menetap dan suka berpindah-pindah. Menurut satu versi, jin dari golongan udara tidak membutuhkan makan dan minum, tidak beranak-pinak dan tidak mati dan inilah yang disebut dengan istilah jin khôlish. Sedangkan dari golongan lain membutuhkan makan-minum, nikah, beranak-pinak dan mati mirip manusia. Di antara golongan ini adalah jin yang sering beraksi menjadi hantu. Ulama berselisih pendapat dalam menengarai antara hubungan jin dan syaitan. Satu versi menyatakan jin dan syaitan merupakan satu jenis sedangkan versi lain mengatakan bahwa syaitan adalah jenis lain dari jin. Ada lagi versi yang menyatakan bahwa jin adalah golongan yang beriman dan baik, sedangkan syaitan adalah golongan yang jahat. Menurut Abû Amr bin Abd aL-Bar, dalam perspektif ahli kalam ada beberapa istilah spesifik yang digunakan untuk menyebut kelompok bangsa jin. Penyebutan untuk jin yang tinggal bersama manusia memakai istilah Amir, jin pengganggu anak-anak kecil disebut Arwâh, jin yang jahat dan bertekad menyesatkan manusia disebut Syaitan dan jin ini ada yang lebih kuat yang disebut Ifrît, seatasnya lagi disebut Mârid dan yang paling besar disebut Iblîs.
Kaitannya dengan Malaikat, ada yang memahami bahwa jin dan Malaikat adalah jenis yang tunggal. Tendensi pemahaman ini setidaknya didasarkan pada dua argumen. Pertama, mengacu pada arti literal kata "jin" yang bermakna tertutup atau terhalang. Keadaan Malaikat yang tidak bisa dilihat mata memasukkan mereka ke dalam cakupan kata "jin". Kedua, Iblîs yang dikecualikan dari Malaikat ketika diperintah sujud kepada Adam dalam aL-Hijr : 29-31 mengindikasikan keduanya berasal dari jenis yang sama (istitsnâ' muttashîl). Adapun versi yang menyatakan bahwa Malaikat dan jin adalah dua jenis yang berlainan bertendensi pada aL-Kahfi : 50 dan As-Saba' : 40-41.

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat; "sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblîs. Dia adalah dari golongan jin". (QS. aL-Kahfi : 50)

Di luar itu, ada riwayat lain yang menyatakan bahwa jin pada awalnya termasuk dari golongan Malaikat bahkan termasuk pembesar Malaikat yang dikenal dalam bahasa Suryaniyyah dengan nama 'Azâzil dan dalam bahasa Arab dengan nama aL-Hârits. Namun karena faktor kesombongan dan kemaksiatannya ia dilaknat Allâh menjadi Iblîs dan syaitan, dan Iblîs inilah yang menjadi nenek moyang dari seluruh bangsa jin seperti Adam menjadi nenek moyang bangsa manusia.

c.Penjelmaan dan Penampakan Jin



Fenomena penjelmaan bangsa jin dalam wujud kasat mata baik yang mengambil bentuk transfigurasi wajar seperti bentuk manusia, binatang dan lain-lain, atau yang mengambil bentuk transfigurasi ganjil yang cenderung menakutkan seperti sosok hantu, bukanlah fenomena klasik. Kendati fenomena demikian dewasa ini relatif kurang "aktual”, namun di belahan daerah-daerah tertentu masih biasa kita dengar fenomena itu muncul, dan bahkan fenomena ini selamanya akan tetap menjadi bagian dari realitas alam karena hal itu memang potensi yang dimiliki bangsa jin menampakkan diri di alam nyata dengan ragam ekspresi dan misi. Wacana ilmiah yang mengemuka dalam mengkaji fenomena penjelmaan dan penampakan ini lebih bersinggungan dengan sisi hakikat penjelmaan secara teoretis.
Menurut Qodli Abû Ya'lâ aL-Hanbaly, bangsa jin tidak memiliki potensi bawaan untuk merubah wujud aslinya ke wujud kedua melainkan dengan menggunakan alat bantu berupa mantra-mantra atau gerakan-gerakan khusus. Menurutnya, perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain pasti melalui peleburan total konstruksi bentuk awal, dan hal itu mustahil akan tetap bisa eksis. Pola pikir demikian menyimpulkan bahwa fenomena penampakan jin bukanlah pergantian dari wujud asli, melainkan hanya sebatas wujud atau bentuk imitatif (baca : palsu) yang sengaja diciptakan jin dengan motif sihir. Hal ini diperkuat dengan statemen Umar ketika diajukan masalah seputar hantu, ia mengatakan;
"Seseorang tidak akan mampu merubah bentuknya yang telah diciptakan Allâh, tetapi mereka memiliki sihir seperti sihir kalian".

Dalam satu kesempatan Nabi juga bersabda;
"Tidak ada istilah hantu, melainkan sihir jin".

Sedangkan wacana lain menilai bahwa jin memang diberi kemampuan alami untuk melakukan transfigurasi ke bentuk lain. Kemampuan transfigurasi ini memang didukung dari karakteristik konstruksi wujudnya yang relatif lembut dan halus, sehingga leluasa melakukan perubahan-perubahan konstruksi bentuk asal ke ragam bentuk dan rupa lain sesuai kehendak tanpa mengalami kendala dan kerusakan fungsi. Hal ini sangat kontras sekali dengan karakteristik konstruksi bentuk manusia yang memang tercipta dari aspek tanah, di mana unsur tanah bersifat tetap dan vakum. Oleh karena itu karakteristik bentuk fisik manusia tidak mendukung untuk melakukan transfigurasi ke bentuk lain.
Kaitannya dengan penampakan, fenomena yang paling senter dewasa ini adalah masalah mendatangkan ruh orang yang telah meninggal dunia yang bisa diajak komunikasi interaktif, dan juga isu penampakan-penampakan yang dipersepsikan berasal dari ruh gentayangan orang mati tidak wajar dan lain sebagainya. Dalam perspektif Islam benarkah fenomena dan persepsi demikian muncul dari arwah orang-orang yang telah mati?
Keberadaan persis arwah manusia setelah lepas dari jasad hanya Allâh yang tahu, namun dalam sebuah riwayat, Rasûlullâh saw. menjelaskan keberadaan ruh-ruh setelah lepas dari jasad. Arwah yang lepas dari jasad dikelompokkan menjadi lima;
-M Arwah para Anbiyâ yang berada di surga dan menikmati kenikmatannya.
- Arwah syuhadâ berada di dalam perut burung-burung hijau yang berterbangan di atas sungai-sungai surga dan makan buah-buahan surga dan minum airnya.
- Arwah orang-orang beriman yang taat berada di pertamanan surga, tidak makan tidak minum dan hanya menikmati panorama keindahan taman surga.
- Arwah orang-orang beriman yang durhaka berada di antara langit dan bumi.
- Arwah orang-orang kafir berada di Sijjîn yang terletak di dasar bumi ketujuh dan mendapatkan penderitaan azab dan siksa.

Dalam Az-Zumar : 42 Allâh juga telah menjelaskan bahwa arwah orang-orang yang telah mati berada dalam genggaman-Nya;
"Allâh memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan". (QS. Az-Zumar : 42)

Dalam menafsiri ayat ini, aL-Qurthuby mengutip statemen beberapa interpreter (Mufassirîn), bahwa ketika seseorang tidur akan terjadi perjumpaan antara ruhnya dengan ruh orang-orang yang telah meninggal, kedua ruh orang mati dan orang tidur tersebut saling mengutarakan keadaan masing-masing, dan ketika keduanya hendak kembali ke jasad mereka, Allâh menahan ruh orang yang telah mati dan melepas ruh orang yang masih hidup. Kiranya dari sini mustahil, arwah orang mati yang berada dalam genggaman Allâh dan menjalani nasibnya sendiri-sendiri akan bisa didatangkan, diajak interaksi atau malah gentayangan dalam wujud hantu. Hal yang paling dekat diterima adalah, bahwa isu interaksi dengan ruh dan fenomena ruh gentayangan hakikatnya adalah jelmaan dari Qorîn, yakni jin yang selalu lekat menyertai setiap orang sejak lahir hingga kematian. Qorîn inilah jin yang kenal dan paham betul dengan tipikal dan kepribadian orang yang disertainya, sehingga tidak aneh jika Qorîn sanggup menjawab hal-hal yang bersifat intim dan prifasi serta bisa meniru gaya, perilaku bahkan menyamar menjadi orang yang disertainya ketika hidup. Dalam sabdanya, Rasûlullâh saw. telah menegaskan wujudnya Qorîn ini;
"Tidaklah seorang pun dari kalian kecuali telah ditetapkan jin yang menyertainya".

Lalu apa misi dan kepentingan bangsa jin di balik fenomena penampakan dan kehadiran yang mereka lakukan? Ada dua kemungkinan misi dari aksi-aksi yang mereka lakukan kepada manusia yang telah digariskan menjadi musuh abadi mereka. Pertama, menjerumuskan keyakinan seseorang dalam akidah yang sesat. Kendati "ruh-ruh" yang "didatangkan" bisa memberi jawaban dan informasi yang rasional dan bermanfaat, namun di balik semua itu terselip misi-misi besar agar manusia menaruh kepercayaan lalu menggiringnya tanpa sadar pada kesesatan dunia akhirat. Kedua, sengaja hendak mencelakai secara fisik karena berbagai alasan.
Fenomena penjelmaan bangsa jin juga kerap muncul dalam wujud ular, karena di samping golongan jin memang ada yang sejenis ular, eksistensi binatang ular memang berasal dari kutukan bangsa jin sebagaimana kera yang merupakan kutukan dari bangsa Israel. Dalam kisah mengenai Adam dan Hawa', Iblîs memasuki mulut ular Naga untuk merayu mereka agar tidak patuh, hal ini menyebabkan ular Naga kehilangan sayap dan kakinya. Setelah itu Iblîs dikatakan mengawini ular Naga sehingga dengan perkawinan ini menyatukan ular Naga dengan syaitan. Ada lagi yang menyatakan bahwa jin merupakan keturunan dari pernikahan antara syaitan dengan ular Naga ini. Dari sinilah jin dan manusia memiliki hubungan sejarah permusuhan sehingga dijelaskan dalam sebuah hadits, manusia dan ular memiliki naluri terkejut ketika saling bertemu. Penjelmaan dalam wujud ular ini biasanya dilakukan oleh jin bernama 'Amir, yaitu jin yang tinggal bersama manusia. Lantaran itulah Rasûlullâh saw. melarang membunuh ular yang berada di dalam rumah sebelum terlebih dahulu diberi ultimatum, karena tidak menutup kemungkinan ular tersebut adalah jelmaan dari jin mukmin. Ultimatum yang diajarkan nabi dalam menghadapi jin rumah adalah seperti dalam sabda beliau;
"Apabila muncul seekor ular di dalam rumah, maka katakanlah kepadanya; aku menuntut kamu janji nabi Nûh as. dan janji nabi Sulaimân bin Dâwud untuk tidak menyakiti kami. Apabila ia tetap kembali, maka bunuhlah ia".

Dengan ultimatum ini, kalau ular tersebut jelmaan jin mukmin maka ia akan memegang janji mereka dan akan pergi, dan bila tidak pergi maka ada kalanya jin kafir atau ular asli. Kalau jin kafir maka boleh membunuhnya karena dengan penampakannya itu berarti telah menantang manusia, dan bila ular asli maka syariat telah menetapkan ia sebagai fawâsiq atau binatang tidak dilindungi. Menurut ulama, ultimatum ini diulang sampai tiga kali, dan satu versi lain mengatakan sampai tiga hari, baru setelah itu jika tidak ada reaksi boleh untuk membunuhnya. Dalam sebuah riwayat Rasûlullâh saw. mengajari cara mengusir penampakan-penampakan dari bangsa jin;

"Apabila hantu menampakkan diri pada kalian, maka kumandangkanlah adzan, karena sesungguhnya syaitan itu lari ketika mendengar seruan, dan syaitan itu banyak kentut".

Demikianlah penjelmaan bangsa jin, ia menampakkan diri di alam nyata, —entah dengan suara-suara yang disebut 'hâtif' ataupun dengan bentuk rupa— bukanlah wujud aslinya. Wujud aslinya yang berada di alam Malakût tidak mungkin untuk dilihat oleh manusia, karena kunci segala yang gaib hanya di tangan Allâh. Bahkan menurut Imâm Asy-Syâfi'î, seseorang yang mengaku telah melihat bangsa jin, maka dalam hukum formal persaksiannya tidak bisa diterima. Statemen Asy-Syâfi'î ini oleh sebagian ulama diarahkan ke wujud jin yang asli.

d.Fenomena Kesurupan



Dari karakteristik wujudnya yang halus dan lembut, bangsa jin mampu merasuk ke dalam tubuh manusia dan mengganggu kerja organ sehingga mengakibatkan kesurupan. Fenomena ini tidak ada yang membantah baik dari versi yang menyatakan bahwa jin bersifat material (makhluk halus) atau immaterial (rûh). Persepsi bahwa jin kendati bersifat halus ataupun ruh, namun mampu menyebabkan kesurupan didasarkan pada dua argumen. Pertama, kisah kemampuan jin yang luar biasa dalam sejarah Sulaimân as. Kedua, firman Allâh yang secara eksplisit menjelaskan bahwa kesurupan akibat aksi Jin secara langsung.

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila". (QS. aL-Baqarah : 275)

Dan sabda Nabi; "keluarlah wahai musuh Allâh, sesungguhnya aku utusan-Nya" ketika mengobati seseorang yang sedang kesurupan. Di samping itu Rasûlullâh juga pernah bersabda; "Sesungguhnya syaitan mengalir dalam urat nadi anak Adam". Lebih dari itu, pemikiran ini diperkuat oleh bukti empiris dari pengalaman-pengalaman orang-orang tertentu yang pernah kontak fisik secara lansung dengan bangsa jin, dan hal ini tidak bisa dibantah adanya.
Sedangkan dari mayoritas Mu'tazilah mengingkari fenomena merasuknya jin ke dalam tubuh manusia dan mampu menyebabkan kesurupan. Dalam pandangan Mu'tazilah kemampuan bangsa jin terhadap manusia hanya sebatas menghembuskan bisikan-bisikan jahat dalam hati dan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakai secara langsung yang berdampak pada fisik. Statemen Mu'tazilah ini dilandaskan pada firman Allâh;
"Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku". (QS. Ibrâhîm : 22)

Pengingkaran Mu'tazilah ini di samping bertendensi dengan ayat di atas, juga dilatari dari pengingkaran mereka terhadap versi yang menyatakan bahwa jin adalah berupa materi halus, karena menurut persepsi Mu'tazilah, materi apabila kasar mustahil bisa merasuk ke dalam tubuh manusia dan apabila halus atau lembut mustahil memiliki kekuatan yang mampu menghilangkan kesadaran seseorang. Fenomena kesurupan dalam perspektif Mu'tazilah bukanlah akibat aksi jin secara langsung, melainkan melalui bisikan-bisikan mengerikan yang dihembuskan jin dan direspon oleh jiwa seseorang. Hilangnya kesadaran seseorang hanya akan terjadi di saat kondisi kejiwaan dan mental berada dalam titik lemah. Apabila bisikan-bisikan mengerikan itu dihembuskan di saat kondisi kejiwaan lemah, maka dalam titik lemah inilah kesurupan akan dialami seseorang. Jadi, menurut Mu'tazilah kesurupan bukan karena aksi 'fisik' jin melainkan karena ketidaksanggupan jiwa manusia itu sendiri merespon bisikan-bisikan mengerikan (was-was) itu. Oleh karena itulah fenomena kesurupan hanya dialami oleh orang yang berjiwa lemah dan tidak pernah dialami oleh orang yang memiliki keyakinan kuat dan kesadaran tinggi.

e. Nikah dengan Jin



Di atas pentas ilmiah barang kali kita sudah biasa mendengar istilah kawin lintas agama berikut urgensitas hukum-hukumnya. Namun bagaimanakah urgensitas hukum kawin lintas alam, yakni kedua pasangan bukan dari alam yang sama, seperti seorang pemuda dari bangsa manusia menyunting gadis dari bangsa jin atau sebaliknya?
Dalam literatur klasik (fiqh), wacana perkawinan lintas alam ini masih menjadi perdebatan antar ulama. Akan tetapi, perdebatan ini hanya meruang seputar masalah apakah sama-sama jenis manusia, menjadi klausul (syarat) dalam keabsahan nikah. Menurut Imâd bin Yûnus yang didukung oleh Ibn Abdissalam, pernikahan manusia dengan jin hukumnya haram dan tidak sah karena berbeda jenis makhluk. Pendapat ini didasarkan pada firman Allâh;
"Allâh menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu". (An-Nahl : 72)

Dalam ayat ini Allâh telah menjadikan pasangan manusia dari bangsa manusia sendiri agar manusia bisa sempurna merasakan kedamaian bersama pasangannya. Apabila pasangan bukan dari bangsa sendiri, niscaya kedamaian itu tidak akan dirasakan manusia. Versi ini juga menyitir sebuah hadits Rasûlullâh saw. yang melarang nikah dengan bangsa jin;
"Rasûlullâh saw. melarang menikahi jin".

Sedangkan menurut aL-Qomûly, pernikahan manusia dengan jin hukumnya sah namun makruh, dan qaul inilah yang dinilai mu'tamad oleh Ar-Ramly. Versi ini mengatakan bahwa pernikahan lintas alam juga menjanjikan kedamaian kendati tidak optimal, dan larangan dalam hadits tersebut bukan bermakna haram melainkan sekedar makruh. Versi ini juga diperkuat dengan fakta bahwa bangsa jin juga terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan layaknya bangsa manusia, bahkan jin juga disebut oleh Nabi sebagai "ikhwânunâ" (kawan kita). Dan juga diperkuat lagi oleh sejarah perkawinan nabi Sulaimân dengan Bilqis yang merupakan anak dari pasangan jin dan manusia.

f. Keimanan dan Kekafiran Bangsa Jin



aL-Qur'ân telah menegaskan bangsa jin juga mendapat beban taklif dari Allâh swt. Namun dalam pengakuan jin di bagian ayat lain bahwa bangsa jin juga terdapat golongan yang beriman dan kafir, ada golongan yang shaleh dan yang tidak;
"Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda". (11) "Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran".(14) (QS. aL-Jin : 11&14 )

aL-Qur'ân juga menegaskan bahwa universalitas kerasulan Muhammad mencakup bangsa manusia dan jin. Di tengah perjalanan menuju Thâif, Nabi Muhammad membaca sebuah ayat aL-Qur'ân di malam hari, lalu sejumlah jin datang mendengarkan dan mempercayai kenabian Muhammad, kemudian di antara pemimpin jin tersebut menyampaikan baiat kepada Nabi di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan 'Masjid Jin' di Makkah.
Terkait dengan kekafiran Iblîs dalam kisah sujud hormat kepada Adam, ada satu wacana yang menyatakan bahwa kekafiran Iblîs bukan dikarenakan pembangkangan untuk sujud kepada Adam, sebab jika demikian, setiap yang tidak sujud pasti kafir, bukan juga karena kedengkian pada keistimewaan Adam di sisi Allâh, sebab bila begitu, maka setiap yang dengki pasti kafir, serta bukan karena kemaksiatan yang dilakukan Iblîs, sebab kalau demikian setiap yang maksiat pasti kafir. Akan tetapi, menurut ulama Muhaqqiqûn, kekafiran Iblîs karena ia menilai dan memvonis Tuhan telah memerintahkan sesuatu yang tidak bijaksana. Sikap ini tercermin dari ucapannya yang diabadikan aL-Qur'ân;
"Saya lebih baik dari padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (aL-A'râf : 12)
Interpretasi ayat tersebut menurut ulama Muhaqqiqûn, adalah bahwa dalam penilaian Iblîs, memerintah terhadap yang agung dan luhur untuk sujud kepada yang rendah dan hina, adalah sikap tidak bijaksana dan dhalim. Menilai Allâh telah melakukan kedhaliman inilah menurut Muhaqqiqûn yang menjadi faktor penyebab kekafiran Iblîs. Hubungannya dengan pembangkangan Iblîs ini, ada yang menyatakan justeru karena dilatari oleh komitmen mutlaknya pada tauhid, sehingga apapun resikonya, bahkan walaupun harus kafir, Iblîs tidak akan sujud kepada Adam dan hanya akan sujud kepada Allâh. Tampaknya persepsi ini diilhami oleh sebuah kisah dari seorang sufi, aL-Junaid sebagai berikut;
aL-Junaid berkata; "Pada suatu saat dalam hidupku, aku menginginkan menyaksikan secara nyata seperti apakah syaitan itu. Maka ketika suatu hari, aku sedang berdiri di dalam masjid, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki tua dari pintu utama. Wajah si tua itu menatap ke arahku dan hatiku sempat bergidik lantaran pandangannya yang tajam. Ia semakin dekat ke arahku, sehingga aku berteriak: "siapakah Anda?" "Saya adalah 'orang' yang engkau sangat menginginkan melihatnya". "Terkutuklah engkau!, sekarang jawablah pertanyaanku, mengapa anda membangkang bersujud kepada Adam seperti yang diperintah Allâh kepada anda?" Laki-laki tua itu berkata; "Junaid, dapatkah engkau membayangkan bagaimana mungkin aku bersujud kepada selain Allâh?" Jawabannya ini sangat mengejutkanku, namun tiba-tiba terdengar suara rahasia dari dalam diriku yang membisikkan; "Anda pembohong, jika anda seorang hamba Tuhan yang patuh niscaya engkau tidak akan mengabaikan perintah-Nya!" Lantaran mendengar getar bisikan dari dalam diriku, laki-laki itu menangis sambil berteriak; "oh Tuhan, mengapa engkau membakarku begini". Laki-laki itu tiba-tiba saja menghilang".
Motif kekafiran Iblîs ini ada yang menengarai bersifat inâdan (ingkar atau menentang), karena pada dasarnya ia tahu hakikat yang sebenarnya. Tengara demikian dibantah oleh Ibn Athiyyah, bahwa mustahil seseorang melakukan keingkaran sementara ia juga memiliki pengetahuan. Sehingga menurutnya, keingkaran Iblîs bersifat jahlan (murni kebodohan). Sebuah riwayat menyebutkan bahwa pra-kekafiran Iblîs, ia menyandang derajat yang luhur dan agung. Iblîs pernah menjadi penghuni surga selama empat puluh tahun, hidup bersama Malaikat selama delapan puluh tahun, menjadi penasehat Malaikat selama dua puluh tahun, menjadi gusti Malaikat Karôbiyyûn (Muqorrobûn) selama tiga puluh tahun, menjadi gusti Malaikat Ruhâniyyun selama seribu tahun, thowaf mengelilingi Arsy selama empat belas tahun. Iblîs menyandang gelar aL-Abid di langit dunia, Az-Zâhid di langit kedua, aL-Arif di langit ketiga, aL-Wâlî di langit keempat, At-Taqî di langit kelima, aL-Khôzin di langit ketujuh dan di Lauh aL-Mahfûdh ia menyandang gelar Iblîs. Lalu, Ia lalai dengan resiko keberadaannya.
Demikianlah sejarah kekafiran Iblîs yang menjadi nenek moyang bangsa jin, sedangkan jin secara keseluruhan ada yang beriman dan ada yang kafir seperti di atas. Ulama mencapai konsensus bahwa nasib golongan jin kafir kelak masuk neraka, namun ulama berselisih pendapat seputar nasib golongan jin beriman. Menurut Abû Hanîfah, Laits bin Salim dan lainnya, golongan jin mukmin tidak mendapat pahala selain sebatas selamat dari neraka dan menjadi debu seperti nasib binatang. Menurut Ibn Abbâs, nasib seluruh Malaikat kelak masuk surga, seluruh syaitan akan masuk neraka, sedangkan manusia dan jin ada yang di neraka dan ada yang di surga. Masuknya golongan jin mukmin ke surga ini dilandaskan pada firman Allâh; "Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya", (aL-An'âm : 132).
Di akhirat, keadaan manusia dan jin akan terbalik dari kodrat di dunia. Manusia akan berubah menjadi makhluk halus di mata jin, karena kelak manusia dapat melihat jin dan jin tidak dapat melihat manusia. Menurut versi yang arjah, yang dipilih Abû aL-Hasan aL-Asy'ary dalam kitabnya dan diikuti oleh aL-Baihaqy, Ibn aL-Qoyyim, aL-Haddad dan aL-Jalâl aL-Bulqîny, bahwa Malaikat dan jin kelak juga dapat menyaksikan Allâh swt. Wa Allâh A'lam.

II. FENOMENA TRANSENDENTAL



Berdasarkan Prinsip Kehadiran Ketuhanan, alam fisik atau alam Nâsût, yakni alam yang dihuni manusia dengan seluruh lingkungan 'nyata'-nya ini, merupakan 'kristalisasi' atau sebagai 'proyeksi' terakhir dari alam gaib. Oleh karena itu, eksistensi alam manusia cenderung menjadi objek atau medan kehadiran dari simplikasi-simplikasi transendental penghuni alam Jabarût dan Malakût, yakni Malaikat dan bangsa jin. Ruh manusia yang bersifat gaib sangat fital menjadi jembatan transmisi kehadiran ini, karenanya spektrum fenomena kehadiran mereka lebih dominan terjadi dalam dimensi-dimensi spiritual manusia seperti dalam mimpi (ru'yâ) atau bisikan hati (khôthir). Mimpi dan bisikan hati dalam dunia mistisisme nyaris dijadikan paradigma untuk menuntun misi para mistikus dalam kelana (sulûk) mencapai Hadirat Tertinggi. Kendati demikian, fenomena mimpi dan khôthir terkadang justeru malah menjebak langkah sâlik terjerumus ke jurang sesat.
Selain itu, dalam prakteknya, terkadang khôthir menjadi acuan penetapan sebuah hukum. Bahkan lebih dari itu, dalam dunia paranormal, fenomena sihir, magic, dan segala renik yang berbau klenik juga kerap mewarnai praktek perdukunan dan tidak jarang menjadi sarana penyelesaian pintas masalah seperti khôthir digunakan sebagai media penanganan kasus-kasus dan keluhan-keluhan pasien. Lepas dari itu, kajian berikut akan menyelam ke dunia spiritual untuk membongkar hakikat dan proporsi fenomena-fenomena transendental tersebut dalam yurisprudensi hukum islam.

a. Mimpi


"Hanya kembang tidur", begitu kebanyakan sikap yang dilontarkan menilai peristiwa mimpi yang dialami seseorang. Mimpi praktis hanya dinilai sebagai kembang yang bersifat inferior dan tidak memiliki sugesti konkret dalam keadaan sadar bahkan dalam kondisi tidur itu sendiri. Akan tetapi penilaian demikian dalam menilai fenomena mimpi sangatlah tidak adil dan lebih bernuansa sebagai usaha menghibur atau menenangkan, sebab ungkapan demikian praktis tidak diberikan ketika seseorang mimpi indah atau menyenangkan. Hal ini membuktikan bahwa fenomena mimpi memang lebih dari sekedar kembang, melainkan fenomena alam misteri yang penuh dengan teka-teki.
Dalam wacana pemikiran Mu'tazilah, mimpi dinilai sebagai bayang-bayang fantasi dalam dimensi semu (ilustratif) yang tidak memiliki hakikat sama sekali. Persepsi Mu'tazilah ini dilatari dari orientasi intelektual mereka yang memang mengingkari wujud jin dan Malaikat. Sehingga fenomena apapun yang bersifat transendental adalah suatu yang nisbi dalam wacana Mu'tazilah. Sedangkan wacana Ahli Sunah seputar hakikat fenomena mimpi ada tiga persepsi yang berbeda. Pertama, mimpi adalah penglihatan atau pemahaman intuisi terhadap sebuah hakikat (objek). Dua, mimpi adalah fantasi psikis (auhâm) seseorang. Ketiga, mimpi adalah penglihatan mata hati yang tidak tersentuh oleh afat tidur terhadap simbol-simbol (amtsilah) dari sebuah hakikat.
Kondisi sadar dan kondisi tidur adalah dua keadaan yang berlawanan, sedangkan penglihatan dan pemahaman hanya terjadi dalam keadaan sadar, maka pemahaman intuisi, psikis atau mata hati (mimpi) tidak akan terjadi ketika tidur seseorang benar-benar terlelap dan pulas, karena kondisi tidur demikian sama sekali tidak menyisakan kesadaran daya respon jiwa. Oleh karena itu, menurut Abû Ishâq, mimpi kebanyakan dialami di penghujung malam atau di saat tidur tidak terlalu lelap sehingga masih menyisakan kesadaran dan sensitifitas intuisi. Fenomena yang tampak dalam alam mimpi menurut Ibn aL-Araby, hanya fenomena-fenomena yang absah terlihat dalam alam sadar. Mustahil dalam alam mimpi melihat orang berdiri sekaligus duduk dengan satu gaya. Orang mimpi tidak melihat bayangan selain gambaran yang bisa dan biasa terjadi di alam sadar.
Menurut aL-Karmâny, mimpi seseorang dikelompokkan menjadi delapan macam, empat di antaranya muncul karena faktor empat kombinasi pemandangan yang dominan. Orang yang terlalu banyak melihat pemandangan yang didominasi hitam, ia akan melihat warna hitam, barang-barang hangus, rasa asam, dan lain-lain. Orang yang terlalu banyak melihat pemandangan yang didominasi kuning, ia akan melihat warna kuning, rasa pahit, racun, panas, petir dan lain-lain. Orang yang terlalu banyak melihat pemandangan yang didominasi merah, ia akan melihat warna merah, rasa manis dan nuansa yang menggembirakan. Dan orang yang terlalu banyak melihat pemandangan yang didominasi bening, ia akan melihat warna putih, hujan, air, salju dan lain-lain. Sedangkan yang kelima, dialami karena faktor percikan peristiwa atau rekaman psikis ketika kondisi sadar dan membekas dalam jiwa yang kemudian kembali tampak dalam otak ketika kondisi sensitifitas indera menurun (tidur). Yang keenam, adalah al-hilm atau mimpi yang bersifat negatif seperti mimpi hubungan intim dan hal-hal menyedihkan. Yang ketujuh, mimpi yang berasal dari aksi-aksi syaitan yang sengaja ditayangkan dalam tidur seseorang agar menimbulkan perasaan gelisah, resah dan lain-lain. Yang kedelapan, mimpi yang berasal dari Malaikat Lauh aL-Mahfûzh yang mentransmisikan hal-hal gaib dari Lauh kepada hamba Allâh yang dikehendaki.
Dari delapan macam mimpi tersebut hanya mimpi yang kedelapan yang memiliki validitas hukum dan menerima untuk dita'wilkan.

Kedudukan Mimpi Dalam Yurisprudensi Islam

Kendati macam mimpi yang kedelapan memiliki validitas hukum dan menerima untuk dita'wilkan, akan tetapi dalam penetapan sebuah hukum, mimpi tidak serta merta bisa digunakan sebagai acuan formal (dalîl). Kedudukan mimpi dalam hukum tidak bisa disetarakan dengan wahyu nabi melainkan hanya sebatas kabar gembira dan pengingat saja (adz-dzikr). Oleh karena itu Rasûlullâh saw. bersabda;
"Kenabian telah usai dan tinggal kabar gembira saja".
"Mimpi yang baik adalah kabar gembira, yang dilihat oleh orang muslim atau diperlihatkan kepadanya".

Mimpi berkedudukan sebagai wahyu yang bisa dijadikan sebagai hujjah hanya hak bagi mimpi para nabi dan rasul, seperti mimpi nabi Ibrâhîm yang mendapat perintah menyembelih puteranya, Ismâ'îl, mimpi nabi Yûsuf yang melihat sebelas bintang, matahari dan bulan sujud kepadanya, mimpi nabi Muhammad saw. yang akan memasuki tanah Haram dengan aman dan lain-lain. Mimpi selain para Anbiyâ tidak bisa dijadikan sebagai dalil karena fenomena mimpi sangat ragam dan bersifat spekulatif serta tidak memiliki jaminan berasal dari Allâh. Nabi bersabda;

"Mimpi itu ada tiga, kesedihan yang menimpa seseorang di siang hari lalu dilihatnya dalam tidur, mimpi akibat aksi syaitan dan mimpi yang merupakan kebenaran".

Di samping itu, syariat tidak menetapkan mimpi sebagai dalil melainkan aL-Qur'ân dan As-Sunnah. Fenomena mimpi yang memiliki kebenaran fakta dan dapat menyingkap beberapa hal gaib memang tidak bisa dipungkiri adanya, namun kita bukanlah nabi Ibrâhîm yang memiliki kebenaran mimpi dan kita juga bukan nabi Yûsuf yang memiliki kebenaran ta'wil, sehingga mimpi bagi kita hanya bisa diikuti apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil Qur'ân dan Hadits dan apabila bersebrangan dengan keduanya maka mimpi harus ditolak. Kedudukan mimpi dalam ranah hukum tidak lebih dari sekedar berita gembira dan peringatan.

Mimpi Melihat Rasûlullâh saw.

Ulama telah menetapkan mimpi melihat Rasûlullâh saw. yang memiliki validitas kebenaran dan bisa diyakini hanya dialami oleh dua macam orang. Pertama, golongan sahabat yang pernah hidup dan kontak langsung dengan beliau, sehingga ketika melihat Rasûlullâh saw. dalam mimpi ia bisa memastikan hal itu, lantaran figur Rasûlullâh telah melekat dalam ingatannya. Kedua, orang yang telah mengetahui sejarah dan kenal betul sifat-sifat yang dimiliki Rasûlullâh saw. Mimpi melihat Rasûlullâh saw. selain yang dialami dari dua kriteria tersebut tidak memiliki validitas kebenaran dan tidak bisa diyakini, sebab mungkin ia memang melihat Rasûlullâh saw. atau boleh jadi ia melihat setan yang mengaku sebagai Rasûlullâh saw. Dalam sabda Nabi disebutkan, syaitan memang tidak bisa menyamar atau menyerupai Rasûlullâh saw. namun bagi orang yang sama sekali tidak tahu atau tidak kenal dengan sifat-sifat Rasûlullâh saw. bisa saja syaitan mengaku sebagai nabi tanpa harus menyerupai, kemudian yang melihat mempercayai.
Kendati demikian, menurut aL-Qôdly Abî Bakar bin Ath-Thoyyib dan lainnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melihat Rasûlullâh saw. dalam sosok aneh yang tidak sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki, seperti hitam, buta, buntung dan lain-lain. Kejadian demikian, menurut aL-Qôdly, bukan berarti pasti dari syaitan yang lantas diabaikan, sebab boleh jadi dari Allâh untuk memberi peringatan atau kabar gembira bagi yang bersangkutan. Sifat-sifat aneh yang dilihat dalam mimpi ini menurut aL-'Ithor adalah refleksi dari sifat-sifat orang yang mimpi itu sendiri yang divisualkan oleh Rasûlullâh saw. dalam mimpinya. Nabi menjadi cermin dari sifat-sifat yang dimiliki orang tersebut. Hitam sebagai cermin dari kegelapan hatinya, buta sebagai bayangan dari ketidakimanannya, buntung sebagai lambang dari keengganannya berpegang teguh pada agama dan lain-lain.
Apabila mimpi melihat Rasûlullâh saw. dan bersabda yang kontradiksi dengan syariat yang berlaku, maka Menurut aL-Qorôfy, dimenangkan dalil syariat yang ada, sebab jika itu memang Rasûlullâh saw., maka dalil yang diperoleh dalam kondisi sadar lebih unggul dari pada dalil yang diperoleh dari pengalaman tidur (mimpi). Sedangkan apabila itu syaitan, maka jelaslah itu merupakan kemunkaran.

Mimpi Melihat Allâh

Absah tidaknya peristiwa melihat Allâh dalam mimpi masih menjadi isu kontroversial dalam wacana ilmiah. Versi yang menilai mustahil menyatakan bahwa objek yang tampak dalam mimpi hakikatnya hanyalah bayangan dan fantasi-fantasi imajinatif, dan Dzât yang bersifat Qodîm mustahil diimajinasikan. Sedangkan versi lain menyatakan bahwa dalam alam mimpi tidak mustahil hal itu terjadi. Versi kedua ini membuat teori probabilitas (peluang) peristiwa melihat Allâh dalam mimpi;
- Pertama, Allâh dilihat dalam wujud yang sesuai dengan sifat-sifat Ketuhanan yang terbebas dari segala keserupaan dengan sifat-sifat kemakhlukan. Jika Dzât Allâh bisa disaksikan kelak di akhirat, maka hal itu juga tidak mustahil terjadi di dunia. Adapun firman Allâh; "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata". (aL-An'âm : 103) adalah bersifat umum (âm) yang ada peluang menerima reduksi (takhshîsh). Kewalian seseorang yang telah diakui sifat adilnya akan mampu mereduksi keumuman ayat tersebut.
- Kedua, Allâh dilihat dalam wujud yang mustahil bagi-Nya dan tidak sesuai dengan sifat-sifat Ketuhanan, seperti berupa manusia, kuda atau yang lain, sementara orang yang mengalami peristiwa itu meyakini bahwa apa yang dilihatnya adalah makhluk yang datang dari-Nya dan memerintah kepada kebajikan atau melarang kekejian dan mengatakan; "Akulah Allâh, maka sembahlah aku" atau lainnya, maka mimpi demikian juga sah terjadi. Kata "Allâh" yang disebutkan hanyalah sebatas kata majaz, yakni menyebut makhluk dengan nama Khôliq seperti menyebut akibat dengan nama sebab dan yang lain.
- Allâh dilihat dalam wujud makhluk namun orang yang mengalami tidak meyakini bahwa yang ia lihat adalah Allâh serta ketika tidur tidak terlintas makna majaz dari kata "Allâh" yang disebutkan, maka mimpi demikian bisa saja absah dengan pengertian majaz seperti di atas, hanya saja ia tidak memahami makna itu, sehingga kesalahan ada pada orang yang mengalami mimpi dan bukan pada mimpi yang dialami. Peristiwa demikian seperti halnya pemahaman terhadap bahasa majaz yang dipahami dengan makna hakiki, sehingga kesalahan bukan pada bahasa tetapi pada pemahaman. Peristiwa mimpi demikian juga bisa mustahil (tidak sah) apabila muncul dari aksi belitan syaitan yang hendak menyesatkan. Orang yang mengalami mimpi kategori ketiga ini setelah terjaga wajib memantapkan hati bahwa apa yang dilihatnya dalam mimpi bukanlah hakikat Allâh, sebab jika ia sampai meyakini itu sebagai hakikat Allâh ia termasuk kafir.

b.Ilham



Secara literal 'ilham' adalah kata benda dari kata kerja 'alhama' yang berarti 'menelankan'. Kata ini kemudian biasa dipakai untuk menyebut sesuatu yang ditancapkan Allâh dalam hati seseorang. Dari sini kata 'ilhâm' mengalami pemekaran makna menjadi 'menuntun', 'membimbing' atau 'mendorong'. Kendati tidak ditemukan keseragaman bahasa dalam pendefinisian 'ilhâm', namun corak terminologi yang dimaksudkan adalah serasi, yaitu; perasaan yang terbersit dalam hati yang berasal dari Allah tanpa perantara dalil, yang menuntun, membimbing dan mendorong seseorang untuk mantap melakukan kebaikan.
Ilham dan mimpi ada yang menilai sama-sama sebagai peristiwa kasyf (terbukanya tabir), hanya saja ilham terjadi dalam keadaan sadar sedangkan mimpi terjadi dalam kondisi tidur. Adapun perbedaan ilham dengan i'lam (pemberitahuan) adalah, jika i'lam diperoleh dari upaya (kasb) sedangkan ilham diperoleh tanpa proses usaha melainkan murni anugrah Allah.
Mayoritas ulama sepakat bahwa ilham yang diterima para nabi adalah suatu yang haq dan bisa dijadikan sebagai hujjah untuk para nabi sendiri demikian juga untuk umatnya. Polemik ulama dalam konteks ini terjadi hanya seputar apakah ilham termasuk wahyu yang dhohir ataukah wahyu batin, namun sepakat menyatakan bahwa kedudukan ilham bagi hak para nabi adalah termasuk bagian dari wahyu.
Sedangkan ilhâm yang dialami oleh selain para nabi, kedudukannya dalam yurisprudensi Islam tidak bisa disejajarkan dengan wahyu, sebab predikat ketidakma'shuman seseorang menjadikan ilhâm yang dialami hanya bersifat bisikan hati (khôthir) yang tidak ada jaminan datang dari Allah. Potensi spekulatif antara bisikan Ilâhi (ilhâm) dan bisikan syaitan (was-was) inilah ilham yang dialami oleh selain para nabi tidak bisa dijadikan hujjah secara independen dalam penetapan sebuah hukum. Ilham dalam proporsi selain nabi hanya bisa digunakan acuan dalam hal-hal yang tidak bersebrangan dengan dalil syariat. Inilah pendapat mayoritas ulama mendudukkan ilham dalam proporsi dalil. Klaim kalangan mistikus yang menjadikan ilham sebagai hujjah perlu diabaikan untuk sekedar menjadi pertimbangan kontroversi. Kaitannya dengan ini Imâm Haromain mengatakan bahwa perkara syariat tidak dibangun di atas ilhâm dan bisikan-bisikan hati (al-khowâthir). Bahkan vonis dari konsekuensi seseorang yang meyakini ilham sebagai hujjah ini dicabutnya predikat adil dalam persaksian.
Namun di luar itu ada satu versi yang menyatakan bahwa ilham bisa dijadikan sebagai hujjah sebatas pada hal-hal yang tidak ada dalilnya dan tidak bertentangan dengan hasil ijtihad dan khôthir lain serta hanya berlaku untuk orang yang mendapatkan ilham sendiri dan tidak berlaku untuk orang lain. Pendapat ini juga dipegang oleh Imâm Ar-Râzy dalam konteks penentuan arah kiblat dan Ibn Ash-Shibâgh dari Syâfi'iyyah.

c. Sihir



Dalam gramatikal Arab, kata 'sihr' secara leksikal memiliki arti segala sesuatu yang bersifat samar dan misterius, kemudian dalam urf syar'i kata ini mengalami spesifikasi makna hanya untuk menunjukkan sesuatu yang sebab-sebabnya tidak jelas. Pendefinisian sihir secara terminologis di kalangan ulama terjadi perbedaan yang cukup farian. Tampaknya perbedaan definitif yang ragam ini memang dipicu dari hakikat dan pengaruh sihir itu sendiri yang sangat pelik dan samar. aL-Baedlôwy mengatakan sihir adalah gejala sensual di luar potensi manusia yang dihasilkan melalui kerja sama dengan syaitan. Adapun keajaiban-keajaiban sensual yang muncul dari kepiawaian dan profesionalisme seseorang dalam memainkan alat atau piranti tertentu disebut sebagai sihir hanya sebatas majaz atau lughotan. At-Tahânuwy (Hanafiyyah) mengatakan sihir adalah fenomena yang dihasilkan dari pengetahuan terhadap khasiat-khasiat barang tertentu dengan menggunakan bantuan perhitungan astrologi dan mantra-mantra kufur sebagai media mendapat bantuan syaitan. aL-Qulyûby mendefinikan sihir adalah praktek-praktek jahat dengan mengandalkan mantra atau gerakan-gerakan tertentu yang dapat menimbulkan keajaiban sensual. Sedangkan dari Hanâbilah mendefinikan bahwa sihir adalah ikatan-ikatan, mantra, rajah atau yang lain yang memiliki daya magic pada fisik dan psikis seseorang. Dalam Muqaddimahnya, Ibn Khaldûn mendefinisikan sihir sebagai pengaruh-pengaruh terhadap dunia elemen dari potensi jiwa-jiwa manusia, baik tanpa bantuan atau dengan bantuan benda-benda angkasa.

Pengaruh Daya Magic Sihir



Tengara seputar hakikat dan daya magic sihir terjadi kontroversi tajam antara wacana Mu'tazilah dan Ahli Sunah. Mu'tazilah praktis mengingkari sihir secara total dapat memiliki daya magic yang hakiki. Ekses yang dihasilkan dari sihir hanyalah tipuan ilustratif. Sihir tidak memiliki pengaruh konkret dan riel dalam realitas melainkan sebatas distorsi fakta dari rekayasa penyihir, sehingga sihir menurut pola pikir ini tidak mempunyai pengaruh magic dan ekses negatif apapun tanpa melibatkan alat bantu seperti racun, asap dan lain-lain yang dapat mencelakai korban. Adapun wacana mayoritas Ahli Sunah membagi sihir menjadi dua jenis. Satu, sihir yang memang hanya bersifat rekayasa, tipuan ilustratif dan tidak memiliki daya magic secara riel, dan dua, sihir yang memiliki pengaruh dan daya magic secara konkret.
Wacana Mu'tazilah yang mengingkari daya magic sihir ini mengacu pada surat aL-A'râf dan Thâhâ yang mengisahkan perhelatan sihir Fir'aun dengan mukjizat Nabi Musâ, di mana ketika ahli-ahli sihir Fir'aun melemparkan tampar dan tongkat alat sihir mereka, tiba-tiba orang-orang melihatnya seolah berubah menjadi ular-ular yang merayap. Kemudian ditegaskan dalam Thâhâ : 66 bahwa fenomena yang disaksikan itu hakikatnya hanyalah bayangan rekayasa akibat tipuan ilustratif para penyihir Fir'aun. Dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa alat-alat sihir itu sebelumnya telah dilumuri air raksa sehingga bisa menimbulkan sensasi fatamorgana (takhyîl) sedemikian rupa.
Sedangkan wacana Ahli Sunah mengacu pada surat aL-Falaq yang diturunkan ketika Rasûlullâh saw. terkena sihir seorang Yahudi, Lubaid bin aL-A'shâm. Apabila Rasûlullâh saw. sendiri juga merasakan pengaruh magic dan diperintah untuk berlindung dari tukang-tukang sihir dalam aL-Falaq : 4, maka hal ini menunjukkan bahwa sihir memang memiliki daya magic yang riel dalam realitas. Hal ini juga diperkuat oleh surat aL-Baqarah : 102 yang menerangkan bahwa sihir yang diajarkan oleh Harût dan Marût di Bâbil dapat menceraikan antara seseorang dengan isterinya.
Menurut Ibn Khaldûn, sihir dikategorikan ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama melakukan pengaruhnya murni melalui kekuatan mental (himmah) tanpa suatu alat atau bantuan, inilah yang disebut para filosof sebagai sihir. Tingkatan kedua, melakukan pengaruhnya dengan bantuan karakter benda-benda angkasa (aflak), elemen-elemen atau sifat-sifat angka-angka, inilah yang disebut dengan istilah azimat. Dan jenis ketiga, melakukan pengaruhnya melalui kekuatan-kekuatan imajinasi. Dua tingkatan sihir yang pertama mempunyai hakikat dalam alam eksternal, sedangkan tingkatan ketiga tidak memiliki hakikat. Lantaran kekacauan tingkatan-tingkatan sihir yang berbeda inilah, menurut Ibn Khaldûn, muncul kontroversi apakah sihir itu nyata atau hanya sekedar hayalan. Versi yang menyatakan sihir nyata mengacu pada dua tingkatan awal, sedangkan versi yang menyatakan sihir sekedar fantasi ilustratif mengacu pada tingkatan terakhir.
Statemen Ibn Khaldûn ini tampaknya menghapus kontroversi yang terjadi antara pemikiran Ahli Sunah dengan Mu'tazilah, di mana pada hakikatnya pandangan keduanya tidak berbeda.

Aneka Ragam Praktek Sihir



Berdasarkan modus operandinya dan keyakinan penyihir, Fakhr Ad-Din Ar-Râzy mengklasifikasikan sihir menjadi delapan macam;

1.Sihir bangsa Kaldanean dan bangsa Kasdanean.
Mereka adalah bangsa yang mempercayai bahwa Allah telah menciptakan planet-planet antariksa dan melimpahkan pengaturan alam semesta ini kepada mereka. Planet-planet inilah yang bertindak menentukan kebijakan perkara seluruh makhluk di dunia menyangkut bahagia, menderita, sehat, sakit dan lain-lain, sehingga wajib bagi manusia untuk mengagungkannya karena mereka sebagai tuhan pengatur alam, sedangkan planet-planet itu sendiri menyembah kepada Allâh. Kepada bangsa inilah nabi Ibrâhîm diutus untuk menghancurkan akidah sesat mereka. Bangsa ini meyakini bahwa pengaruh magic sihir diperoleh dari kekuatan spiritual planet-planet antariksa.

2. Sihir Yang Memakai Kekuatan Perasaan dan Spiritual
Kekuatan fisik seseorang itu sangat berkaitan dengan kekuatan atau kualitas perasaan atau psikis-spiritualnya, olah kekuatan potensialitas dengan pemusatan perasaan yang sempurna akan bisa menghasilkan kekuatan aktualitas yang luar biasa. Hal ini karena kekuatan spiritual manusia yang sempurna akan mudah bersatu dengan kekuatan spiritual langit (arwâh as-samawiyyah). Bersatunya dua kekuatan spiritual ini akan menghasilkan fantasi luar biasa (khôriq li al-âdah) yang bisa disalurkan ke fisik orang lain. Sebaliknya apabila kekuatan spiritual seseorang lemah, dalam arti masih terikat dengan aspek inderawi (badaniah) maka tidak akan menghasilkan kekuatan selain hanya daya yang meruang dalam fisiknya, sebab tidak ada koneksi dengan kekuatan spiritual langit. Di sinilah seseorang sangat diperlukan meditasi (bertapa) untuk mengolah dan melepaskan keterikatan spiritual dari aspek badaniah sehingga mempermudah penyatuan kekuatan spiritual seseorang dengan kekuatan spiritual angkasa. Kekuatan spiritual ini dapat disalurkan dan digunakan untuk menyerang orang lain dengan cara membuat gambar atau boneka seseorang kemudian menyatukan kesadaran indera dan perasaan untuk difokuskan ke objek boneka tersebut sehingga akan menghasilkan sensasi kekuatan spiritual.
Praktek sihir ini sama dengan praktek sihir menggunakan kekuatan mantra. Ketika seseorang merapal mantra yang bisa dipaham maknanya, maka seluruh kesadaran inderawi akan terpusat dan tercurah pada makna mantra tersebut, dan di sinilah kekuatan spiritual seseorang akan muncul. Sedangkan mantra yang tidak bisa dipaham maknanya juga tetap bisa menghasilkan kekuatan spiritual, sebab ketika mantra dirapal, kendati tak dimengerti maknanya namun dengan keyakinan penuh bisa menjadi media koneksi spiritual, kesadaran inderawi juga akan hilang karena terfokus pada keyakinan, dan di saat itulah kekuatan spiritual akan muncul.

3. Sihir Yang Memakai Kekuatan Arwâh Ardliyyah
Kekuatan spiritual manusia (ruh) memiliki keidentikan dengan kekuatan spiritual alam bawah (arwâh al-ardliyyah atau makhluk immaterial) yang terdiri dari bangsa jin. Lantaran hal itu, koneksi antar kekuatan spiritual manusia dengan kekuatan spiritual arwâh al-ardliyyah lebih mudah terjalin dibanding koneksi dengan kekuatan spiritual langit. Kendati demikian, kekuatan yang dihasilkan dari koneksi kekuatan spiritual langit lebih dahsyat dari pada koneksi dengan kekuatan spiritual alam bawah, karena memang kekuatan spiritual angkasa adalah sentral yang menjadi pusat seluruh kekuatan spiritual. Ruh-ruh angkasa ibarat induk ruh yang melahirkan anak-anak ruh di alam bawah, ruh-ruh angkasa dengan ruh-ruh alam bawah ibarat matahari dengan sinarnya. Sihir jenis inilah yang kerap disebut dengan sihir menggunakan kekuatan jin.

4. Sihir Yang Memakai Kekuatan Ilustrasi dan Tipuan Mata
Praktek sihir model ini melalui beberapa teori; Pertama, memanfaatkan kelemahan indera mata. Daya pandang mata menangkap objek sangatlah terbatas dalam jangkauan dan jarak kecepatan tertentu. Seperti penumpang kapal melihat tepian pantai yang berhenti seolah berjalan, padahal orang yang berada di pantai melihat kapal yang berjalan. Orang yang diam melihat kapal berjalan sedangkan orang yang berjalan dalam kapal melihat kapal berhenti. Seperti tetesan yang jatuh dengan cepat akan terlihat seperti garis memanjang dan lain-lain. Ini semua menunjukkan dalam jangkauan jarak dan kecepatan objek tertentu, mata bisa tertipu. Kedua, daya tangkap mata untuk bisa merekam objek secara utuh membutuhkan durasi waktu yang cukup. Apabila mata menangkap beberapa objek yang berbeda warna dalam durasi kilat, mata tidak akan mampu membedakan masing-masing warna melainkan akan tampak satu paduan warna yang tidak jelas. Ketiga, konsentrasi seseorang ketika terfokus pada satu objek, maka sensitifitas indera akan lemah bahkan nyaris mati rasa. Seperti ketika seseorang berhadapan dengan raja, kadang tidak bisa menangkap komunikasi orang di sekitarnya. Demikian juga orang yang mengaca di depan cermin hendak melihat kotoran kecil di matanya, ia nyaris tak bisa melihat apa yang lebih besar yang ada di wajahnya, dan lain sebagainya. Demikianlah teori sihir model ini dipraktekkan, pertama mempengaruhi konsentrasi pada satu fokus, kemudian disusul gerakan-gerakan atraktif di luar daya tangkap mata sehingga akan tampak pemandangan yang ajaib bagi yang tertipu. Andaikan saja konsentrasi seseorang tidak terpengaruh dan tidak mengikuti ilustrasi objek-objek semu ini, niscaya akan bisa menyaksikan realitas yang sesungguhnya. Teori sihir inilah yang biasanya kerap dipraktekkan oleh para pesulap (sya'badzah).

5. Sihir Yang Memakai Kekuatan Paduan Alat-Alat Khusus
Pemaduan alat-alat khusus ini berdasarkan rumus kombinasi negeri Persia dan India. Jenis sihir inilah yang dipraktekkan oleh para penyihir Fir'aun ketika berhadapan dengan mukjizat nabi Musâ as.

6. Sihir Yang Memakai Kekuatan Obat-Obatan dan Racun
Fakta adanya barang-barang yang memiliki keistimewaan khasiat tertentu tidak ada celah untuk diingkari, seperti racun atau obat-obatan yang dapat membius, memabukkan dan menghilangkan kesadaran. Barang-barang inilah yang dipakai oleh sebagian penyihir dalam praktek dan aksinya, seperti penyirepan dan lain-lain.

7. Sihir Yang Memakai Kekuatan Hipnotis
Praktek sihir ini melalui modus memikat hati seseorang dengan bualan-bualan yang dapat menjinakkan hati. Hati yang telah terpengaruh akan kehilangan kesadaran sehingga mudah bagi penyihir melakukan aksi-aksi yang dikehendaki.

8. Sihir Yang Memakai Kekuatan Emosi
Aksi sihir ini dipraktekkan dengan memancing dan membakar emosi seseorang dengan provokatif, sehingga hati seseorang yang telah terbakar akan mudah dipengaruhi dan dikendalikan oleh penyihir untuk hal-hal tertentu. Sihir model ini biasanya dipraktekkan oleh para provokator untuk mengadu domba.
Dari seluruh aneka ragam sihir di atas, wacana Mu'tazilah hanya menerima tiga model sihir, yakni sihir ilustrasi tipuan mata, sihir memakai bahan obat-obatan dan sihir dengan kekuatan emosi, dan mengingkari lima model lainnya. Sedangkan dalam wacana Ahli Sunah, menerima kejadian-kejadian ajaib dari model-model sihir di atas, seperti penyihir bisa terbang, merubah manusia menjadi hewan dan lain-lain dengan mantra-mantra mereka, namun meyakini bahwa hakikat fenomena itu adalah atas kehendak dan kekuasaan Allâh swt. bukan dari kemampuan mantra atau penyihir.
Senada dengan Fakhr Ar-Râzy —meski dalam ukuran yang lebih global— aL-Qorôfy dan Ibn Khaldûn membagi sihir ke dalam tiga kategori dan tingkatan. Pertama, jenis al-hîmiyyâ, atau magic spiritual yang didasarkan pada kekuatan supranatural yang dimiliki oleh agen-agen spiritual angkasa. Kedua, as-sîmiyyâ atau magic alami, yaitu praktek magic yang menggunakan bahan-bahan alami seperti wangi-wangian, obat-obatan tanpa melibatkan perantara kekuatan supranatural. Ketiga, praktek magic yang menggunakan barang-barang keramat tertentu. Secara mendetail tiga pembagian tersebut terdapat pada beberapa istilah-istilah praktek magic berikut;
1. Tholamisât; nama-mama khusus yang didesain pada benda-benda tertentu dan dikaitkan dengan bintang-bintang angkasa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kesanggupan melakukan hal ini dan menghasilkan pengaruh magic.
2. Aufâq atau rajah, yakni angka-angka atau huruf-huruf yang ditulis pada semacam diagram dengan motif kotak-kotak serta modif bilangan tertentu hingga hasil penjumlahan setiap kotak memiliki nilai yang sama.
3. Roqyu atau mantra atau jampi-jampi, yaitu praktek magic memakai kalimat-kalimat khusus. Dalam Islam roqyu ada yang diperbolehkan seperti bacaan Fatihah, Mu'awwidzatain dan lain-lain, demikian juga mantra ajami (mantra selain bahasa Arab) yang bisa dimengerti maknanya dan tidak mengandung unsur syirik. Islam melarang mantra dengan kalimat ajami yang tidak dimengerti maknanya, sebab mantra demikian tidak diketahui bebas tidaknya dari unsur syirik.
4. Azâ'im atau azimat, yaitu kalimat-kalimat yang diyakini sebagai nama-nama Malaikat. Kalimat-kalimat itu adalah nama-nama keagungan malaikat yang pernah menundukkan jin pada zaman Sulaimân. Malaikat diperintah untuk mengagungkan nama-nama itu, sehingga ketika seseorang merapalnya, maka Malaikat akan patuh kepadanya dan akan mendatangkan jin yang dikehendaki orang yang merapal azimat tersebut.

Hukum Belajar Ilmu Sihir



Wacana ulama menyikapi hukum belajar ilmu sihir tanpa harus mempraktekkannya, masih terjadi kontroversi. Mayoritas Hanafiyyah, Mâlikiyyah dan Hanâbilah cenderung menghukumi haram dan kafir. Hanya saja sebagian Hanafiyyah memberi catatan, kalau sihir digunakan untuk menangkal sihir kafir harbi hukumnya justeru wajib, atau digunakan untuk mendamaikan pasangan suami isteri maka diperbolehkan. Sedangkan menurut aL-Qorôfy, belajar ilmu sihir tanpa mempraktekkan juga dihukumi kafir, sebab mempelajari ilmu sihir tidak akan sukses tanpa melewati ritus-ritus yang bernuansa kufur, seperti memuja bintang-bintang dan meratap agar bersedia menundukkan syaitan. Sedangkan menurut Syâfi'iyyah, mempelajari sihir tanpa mengamalkan hukumnya haram kecuali demi kemanfaatan atau untuk menangkal petaka atau sekedar untuk mengetahui hakikatnya. Bahkan menurut Fakhr Ar-Râzy, pada hakikatnya ilmu apapun tidak ada jeleknya, termasuk ilmu sihir. Mustahil seseorang bisa membedakan mana sihir mana mukjizat tanpa memiliki pengetahuan hakikat sihir. Kalau untuk meyakini kemukjizatan harus terlebih dahulu tahu hakikat sihir, maka belajar ilmu sihir adalah kewajiban, sebab meyakini keajaiban-keajaiban Rasûlullâh saw. sebagai mukjizat hukumnya wajib.
Kalangan Syâfi'iyyah ada yang mengklarifikasikan lebih detail bahwa hukum kafir mempelajari ilmu sihir hanya sihir-sihir yang dikaitkan dengan kekuatan benda-benda angkasa yang diyakini memiliki pengaruh tersendiri dan bertindak sebagai pengatur alam semesta. Adapun untuk sihir menggunakan kekuatan arwâh al-ardliyyah (kekuatan spiritual alam bawah) yang dipelajari melalui ritual-ritual (riyâdloh) atau membaca mantra tertentu sehingga Allâh menjadikan keajaiban-keajaiban padanya, bukanlah termasuk kategori sihir melainkan asrôr atau ma'ûnah. Hal ini apabila dilakukan oleh orang yang disiplin menjalankan syariat (mutasyarri'), isi mantranya tidak memuat kekufuran atau kalimat-kalimat syirik dan khodamnya dari golongan arwâh khoiroh (khodâm Malaikat atau jin shaleh) serta keajaibannya tidak membahayakan. Apabila beberapa catatan itu tidak terpenuhi, maka hukum mempelajarinya haram jika untuk dipraktekkan, bahkan kafir bila meyakini dihalalkan serta dihukumi makruh jika tanpa tujuan sama sekali. Sedangkan hukum menangkal sihir dengan menggunakan sihir terdapat dua pendapat. Menurut Ibn Mas'ûd, aL-Hasan dan Ibn Sîrîn hukumnya haram. Ibn aL-Qoyyim mengatakan, "menangkal sihir dengan sesama sihir adalah pekerjaan syaitan, baik orang yang menangkal atau yang ditangkal sama-sama mendekati syaitan untuk kepentingannya masing-masing sehingga pengaruh sihir bisa sirna". Sedangkan menurut sebagian Hanâbilah menangkal sihir dengan sesama sihir diperbolehkan. Versi ini mengacu pada riwayat Sa'îd bin aL-Musayyab yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang bermanfaat itu tidak dilarang.

Perbedaan Antara Mukjizat, Karomah Dan Sihir



Kendati mukjizat dan sihir masing-masing memiliki keajaiban-keajaiban sensasional, namun pada dasarnya keduanya memiliki hakikat perbedaan fundamental. Setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara mukjizat dan sihir;

- Sihir, apapun modusnya, seluruh keajaiban-keajaiban yang dihasilkan pada dasarnya bukanlah fenomena transendental (khôriq li al-âdah). Keajaiban sihir bisa dipelajari melalui teori-teori dan rumus-rumus tertentu yang telah ditetapkan Allâh secara kebiasaan memiliki keajaiban, hanya saja tidak sembarang orang mengetahui teori dan rumus sihir. Lantaran faktor ketidaktahuan inilah sensasi yang dihasilkan tampak ajaib di mata kebanyakan orang. Berbeda dengan mukjizat, keajaiban-keajaiban mukjizat bukan dihasilkan dari teori dan rumus melainkan murni fenomena yang diciptakan Allâh untuk utusan-Nya
ketika mendapat penentangan dan lainnya.

- Fenomena sihir hanya bisa disaksikan oleh pihak-pihak terbatas yang telah ditentukan oleh penyihir, sedangkan fenomena mukjizat bisa disaksikan oleh siapapun.

- Mukjizat hanya muncul dari tangan-tangan Ambiyâ' dan para Rasul yang memiliki pakerti luhur dan mulia yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sedangkan sihir hanya muncul dari tangan-tangan orang yang berlawanan dengan sifat-sifat kenabian. Bahkan ada yang menyatakan sihir hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki tauhid lemah, sebab dalam praktek sihir, disyaratkan harus ada keyakinan kuat akan munculnya keajaiban (atsar), sedangkan orang yang memiliki akidah lurus, dalam keyakinannya segala sesuatu bisa terjadi dan juga bisa tidak, semua tergantung kehendak bebas (irôdah) Allâh, oleh karena itu sihir tidak mungkin bisa dilakukan orang-orang shaleh.

Perbedaan antara mukjizat dan sihir ini juga sekaligus menjadi perbedaan antara sihir dan karomah yang muncul dari tangan-tangan auliyâ'. Sihir memiliki teori sedangkan karomah tidak bisa dipelajari. Adapun perbedaan antara karomah dan mukjizat hanyalah dalam level kewalian dan kenabian atau mukjizat disertai dengan klaim kenabian atau kerasulan sedangkan karomah tidak.

d. Ramalan Astrologis (Zodiak)



Pada abad kedelapan Masehi, astrologi tampil menjadi disiplin tersendiri dalam Islam. Suatu disiplin yang lahir berkat pemaduan kreatif antara tradisi Hellenistik dari Iran, India, Mesopotamia, dan Laut Tengah timur. Semua tradisi ini sama-sama mempunyai ciri fundamental tertentu, semuanya meyakini jagad terbatas geosentris yang di dalamnya benda-benda langit mempengaruhi bumi. Tradisi tersebut menganut fisika Aristotelian, yang beranggapan bahwa bintang menentukan seluruh gerak dari empat unsur yaitu bumi, air, udara, dan api. Pengaruh-pengaruh ini juga menunjukkan kecenderungan yang bisa diganti oleh pengaruh-pengaruh lain di masa mendatang, atau oleh intervensi supranatural atau manusia, atau bahwa pengaruh-pengaruh ini hanyalah mengejawentahkan kehendak Ilâhi.
Para ahli mengakui empat kategori besar dalam praktek astrologi; Astrologi genetialogi, yang mengaitkan semua segi kehidupan individu dengan situasi langit pada saat individu itu lahir; Astrologi catarchic, berupa penentuan, berdasarkan konfigurasi langit, apakah waktu tertentu menguntungkan (sa'd) atau merugikan (nahs) bagi aktifitas tertentu; Astrologi umum, yang memperhatikan peristiwa langit periodik (gerhana, konjungsi planet, ekuinoks dan seterusnya), yang mengaitkannya dengan kejadian yang mempengaruhi banyak orang, bangsa, atau seluruh dunia. Dan astrologi interogasional, yang menjawab persoalan tertentu berdasarkan konfigurasi langit pada saat persoalan tersebut muncul.
Astrologi bangsa Arab berasal dari tradisi Yunani-Mesir dan berasal dari tetrabiblos Cladius Ptolemy. Bangsa Arab memadukannya dengan sejumlah primbon dan ini merupakan andil mereka dalam astrologi. Mereka menggunakan busur untuk memisahkan sejumlah planet, misalnya antara matahari dan bulan dengan menambahi atau mengurangi lengkungan-lengkungan lainnya. Mereka mulai menyimpulkan berdasarkan primbon atau rumus-rumus ramalan. Misalnya untuk garis lurus diramalkan sebagai nilai keberuntungan, nilai kejiwaan dan lain-lain. Sistem ini disinyalir merupakan peninggalan tradisi Arab tentang peramalan keberuntungan yang masih eksis sampai sekarang dengan mengacu pada tanda-tanda yang terdapat pada tangan, kepala, lengan dan lain-lain.
Bangsa Arab menandai bulan dengan dua puluh delapan tempat (manâzil), masing-masing untuk putaran satu hari. Tanda tempat ini disebut buruj (menara). Karakter setiap bintang sangat besar artinya dalam proses peramalan, khususnya mengenai pasangan (nawi') bintang-bintang yang digunakan untuk mengamati perubahan horizon, berkaitan dengan garis ke atas dan garis ke bawah. Hal ini akan menentukan sumbu horisontal, atau sifat-sifat individual. Hal-hal yang tidak bersifat individual, atau sumbu ontologis, merupakan garis lurus antara samt ar-ro's (titik tertinggi dari pergeseran zenit) dan samt an-nazi, lawannya. Nawi' berasal dari kata naw' (pemunculan sinar pertama), dan ia merupakan pintu masuk bulan kepada dua puluh delapan tempatnya (manâzil al-qomar).
Kaitannya dengan kepentingan peramalan, dalam hal ini astrologi, digunakan sebagai dasar teori kosmologis untuk memahami rahasia penciptaan dengan sebuah ungkapan bahwa; "langit menandakan keagungan Tuhan". Perputaran peristiwa, kehidupan, dapat dipahami berdasarkan rahasia simbolik perputaran planet. Dalam tradisi astrologi dan juga astronomi, bahwa pembagian dan posisi zodiak dipandang ibarat Malaikat. Identitas yang menggambarkan Malaikat adalah adanya ikatan atau persesuaian antara gerak angkasa dengan gerak yang lebih besar, realitas Supra-Individual. Perputaran planet diturutkan terhadap rencana manusia, termasuk berbagai peristiwa dan sejarah.
Pada masa pra-Islam, ramalan yang berkembang di masyarakat tercatat ada empat macam;
1. Ramalan yang diperoleh dari informasi jin yang mencuri dengar dari suara langit yang kemudian dibisikkan ke tukang ramal. Pra-Islam, banyak tukang sihir memiliki pridiksi ramal yang akurat, namun pasca kedatangan Islam, validitas ramalan mereka relatif menurun dan mengalami kekacauan. Hal ini memang ditegaskan dalam aL-Qur'ân, bahwa setelah Islam datang dan aL-Qur'ân turun, langit dijaga dan menjadi zona yang tidak bisa jangkau oleh syaitan. Hal ini dijelaskan dalam Ash-Shôffât : 10.
2. Ramalan yang diperoleh dari informasi jin yang bekerja sama dengan manusia dari hal-hal di luar pengetahuan manusia.
3. Ramalan yang diperoleh dari dugaan dan firasat.
4. Ramalan yang diperoleh dari eksperimen dan kebiasaan, demikian juga ramalan yang mengacu pada petunjuk bintang.

Sikap Islam Terhadap Praktek Ramalan Astrologi



Astrologi (ilmu at-tanjim) atau sistem peramalan, ilmu ini dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu astrologi hisâbiyyah, yaitu menentukan permulaan bulan melalui teori perhitungan perjalanan bintang. Ulama sepakat akan legalitas ilmu ini guna kepentingan tersebut dan untuk menentukan waktu-waktu shalat serta arah kiblat, bahkan mayoritas ulama menyatakan sebagai kewajiban kolektif (fardlu kifâyah). Kedua, ilmu astrologi istidlâliyyah, yaitu ilmu ramalan peristiwa-peristiwa di bumi yang mengacu pada gerakan angkasa. Jenis astrologi kedua inilah yang dilarang dalam Islam apabila meyakini bahwa tanda-tanda simbolis angkasa atau zodiak bisa menunjukkan pengetahuan gaib atau yang mengendalikan nasib dan peristiwa bumi. Apabila ramalannya didasarkan hanya pada kebiasaan kondisi alam tertentu, dan semuanya tetap dikembalikan pada kehendak dan kekuasaan Allâh, seperti perkiraan cuaca, arah angin, musim dan lain-lain, maka hukumnya diperbolehkan. Hal ini sesuai sabda Nabi saw. dan sebuah hadits qudsi;

"Ketika laut menguap, lalu menyebar, maka itu (pertanda) musim hujan".

"Hamba-hambaku akan menjadi iman dan kafir dengan-Ku, hamba yang mengatakan; kita dihujani karena anugrah Allah, maka ia beriman dengan-Ku dan kafir dengan bintang, dan hamba yang mengatakan; kita dihujani karena keadaan bintang tertentu, maka dia kafir dengan-Ku dan iman dengan bintang."

Astrologi istidlâliyyah yang dilarang dalam ajaran Islam adalah lantaran ia merupakan sebuah pengetahuan yang berpotensi menyesatkan jiwa manusia. Bahaya yang melekat dalam astrologi dapat menyebabkan manusia dalam kondisi bayang-bayang (ilusi) atau fitnah, sekalipun pada dasarnya ia hanya didasarkan pada pengetahuan simbolis kosmologis. Jika suatu peramalan didukung oleh kebenaran fakta, maka jiwa akan terpedaya oleh pengaruhnya dalam ketidaknyataan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits; "sungguh ketika seorang peramal mengatakan suatu kebenaran, tidak lain adalah kebohongan". Dalam riwayat lain; "kalimat yang diucapkannya adalah dari kebenaran yang didengar oleh jin lalu dibisikkan di telinga pengikut-pengikutnya dengan dicampur seratus kebohongan."
Lebih dari itu, Islam memerintahkan untuk berpasrah diri kepada ketentuan nasib (takdir), dan sikap ini sangat penting untuk membebaskan diri dari segala bentuk peramalan. Doktrin Islam tidak mengenal praktek peramalan astrologis, karena hal ini secara tidak langsung berarti menghapuskan kedudukan Tuhan dalam diri manusia. Dalam aL-Qur'ân Allâh berfirman; "Bagi-Ku semua nasib".

"Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", (QS. An-Naml : 65).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
~@~Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda~@~Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja~@~Seseorang yang oprimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan~@~Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna~@~Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain~@~Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah~@~Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda~@~Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan~@~Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas~@~Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun~@~Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri~@~Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan lebih cermat~@~