(Sebuah Telaah Filsafat Postmodern)
Oleh: Bernhard Morin Epalonian
I. Pendahuluan
"Postmodernisme, tantangan bagi
filsafat". Demikian Bambang
Sugiarto memberi judul pada
sebuah buku karyanya.[1] Apa
maksud ungkapan ini? Menurut
Bambang, sebagai sesuatu yang
menantang, postmodernisme
membongkar tatanan filsafat
modern yang diwarnai oleh
dominasi rasio. Rasio bagi
postmodernisme tidak sepenuhnya
menjawabi realitas, sebab bagi
postmodernisme, realitas selalu
bersifat ambigu. Dalam ambiguitas
realitas itu, logika sebagai elemen
yang menempatkan suatu
kebenaran menjadi berdaya untuk
menyapa realitas yang demikian.
Oleh karena itu, Bambang Sugiarto
menjelaskan bahwa kelahiran
postmodernisme sesungguhnya
mengundang kita untuk berani
memberikan rumusan baru bagi
filsafat.
Dengan memahami postmodernisme
sebagai iklim baru yang diwarnai
oleh rekonstruksi dan dekonstruksi
realitas,[2] penulis mencoba
mendalami salah satu konsep
pemikiran postmodern yakni teori
dokonstruksi dari Jaques Derrida,
seorang filsuf Prancis yang lahir
pada tahun 1930 di Alegeria.
Derrida datang ke dunia filsafat
dengan mempertanyakan
metafisika kehadiran-nya para
filsuf sebelumnya dan ia
membangun konsep dekonstruksi.
Melalui teori dekonstruksinya,
Derrida menyakini suatu kenyatan
bahwa dibalik teks-teks filosofis
bukanlah kekosongan, melainkan
terdapat sebuah teks lain sebagai
suatu jaringan keragaman
kekuatan-kekuatan yang tidak
jelas pusat referensinya.
Konsep Derrida tentang
dekonstruksi, secara implisit
meramalkan suatu kekuatan
superfisialitas dalam filsafat.
Ramalan ini tersingkap dalam
pendiriannya yang secara radikal
menolak "logosentrisme ", yaitu
pemikiran tentang "ada sebagai
kehadiran". Kehadiran dalam konsep
dekonstruksi Derrida dimengerti
sebagai sistem tanda. Sistem
tanda inilah yang menjadi dasar
bagi lahirnya kekuatan
superfisialitas dalam filsafat yakni
imajinasi.
Ada apa dengan imajinasi? Imajinasi
merupakan kekuatan superfisialitas
yang sangat erat berkaitan
dengan kehendak manusia untuk
terus-menerus membaharui
pandangan tentang segala sesuatu.
Namun kreativitas dalam
postmodernisme tidaklah pertama-
tama soal asal usul (orisinalitas)
tetapi soal ketidaktersembunyian
yang interaksional. Dengan itu
imajinasi sebagai daya kreativitas
manusia tidak pernah kehilangan
meknanya di tengah lahirnya
kreativitas dalam dunia postmodern.
Dunia postmodernisme yang
diwarnai oleh proyek-proyek
dekonstruksi, di mana ambiguitas
kebenaran menjadi fokus perhatian
utama, menunjukkan
ketidakberhasilan upaya logika
untuk selalu tampil utuh. Dengan
ini, rasionalisme dalam filsafat
modern sungguh-sungguh mendapat
sebuah tantangan besar. Sebab,
elemen utama postmodernisme
adalah bahwa kebenaran dan
kenyataan adalah relatif.[3]
Melalui tulisan ini, penulis coba
mengangkat salah satu pergulatan
dunia postmodern tentang peranan
imajinasi dalam teori dekonstruksi,
sebagai alternatif untuk
menjawabi realitas yang semakin
ambigu. Dalam hal ini, penulis
membangun sebuah apresiasi
terhadap upaya H. Tejoworo yang
terlebih dahulu mengkaji persoalan
ini dalam bukunya Imaji dan
imajinasi.[4] Kelahiran filsafat
imajinasi merupakan sebuah telaah
filsafat postmodern yang
digagasnya sebagai sebuah implikasi
logis dari konsep dekonstruksi
Derrida.
II. Memahami Pemikiran
Derrida tentang
Dekonstruksi
Derrida dikenal sebagai pendasar
teori dekonstruksi yang menjadi
wacana postmodern. Sebagai
pendasar teori, tentunya ada
sejumlah ide menyertai perjalanan
refleksi intelektualnya, sampai
pada akhirnya ia menggagas
konsep dekonstruksi. Oleh karena
itu, ada beberapa hal pokok yang
penulis sajikan untuk memahami
konsep dekonstruksi Derrida.
Pertama-tama adalah dengan
memahami belakang konsep
lahirnya dekonstruksinya. Kemudian,
penulis akan menjelaskan beberapa
butir pemikiran yang menyertai
konsep dekonstruksi antara lain
adalah
différance dan metafor serta
peranan imajinasi di dalamnya.
Setelah menjelaskan makna
imajinasi di dalam dekonstruksi,
terakhir penulis coba mengangkat
sebuah tendensi postmodernisme
untuk melahirkan filsafat imajinasi
sebagai jawaban atau realitas
yang selalu ambigu.
2.1. Konteks historis
lahirnya teori
dekonstruksi
Derrida bisa dikatakan seorang
penerus Heidegger yang sama-
sama mengkritik rasionalisme
Barat. Gaya mengkritiknya sering
disebut gaya yang tak lazim dalam
berfilsafat, seperti menghindari
upaya argumentatif dalam
membangun proyek filsafat,
bermain-main, alusif dan literer.
Usaha mengkirtiknya ini
menghasilkan suatu pemikiran
bahwa filsafat bukan lagi suatu
reprsentasi kebenaran. Bahasa
lisan adalah instabil yang tidak
memungkinkan lagi lahirnya makna
yang berbeda berdasarkan
konteks. Baginya, segala sesuatu
adalah teks dan kenyataan
filosofis adalah kenyataan tekstual.
Pemikiran Dekonstruksi Derrida
yang memberikan warna bagi dunia
postmodernisme, merupakan
jawaban atas situasi pemikiran
yang dikuasai post-Hegelian yang
sangat menekankan metafisika.
Dalam "dunia yang lupa akan Ada,"
metafisika selalu menjadi tema
yang utama dan tetap. Maka,
dogma-dogma metafisika dan
bahasa-bahasa metafisika yang
merupakan tradisi lama menjadi
bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya,
Derrida masuk ke dalam proyek
fenomenologi Husserl. Di sini
Husserl melanjutkan tradisi
metafisika untuk mendapatkan
kebenaran sebagai kehadiran pada
dirinya. Selain Husserl, Derrida juga
memakai beberapa pemikiran
Heidegger di mana ada juga
beberapa yang dibantahnya. Tetapi
Derrida sempat tenggelam dalam
pemikiran Heidegger, bahwa
pemikiran bukanlah yang
menentukan bahasa melainkan
bahasalah yang menentukan pikiran.
[5] Jika pikiran itu selalu terbatas
oleh bahasa yang berhingga yang
tidak bisa menjadi 'master' maka
bisa dikatakan bahwa pikiran dapat
menimbulkan masalah-masalah
tentang cara-cara berbahasa yang
telah ditentukan. Maka, dengan
mempelajari pemikiran-pemikiran
para filsuf yang berpengaruh, ia
menemukan teorinya yang sama
sekali bertolak belakang.
2.2. Dekonstroksi
sebagai modus baru
dalam membaca teks
filosofis
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat
pertama-tama sebagai tulisan.
Maksudnya, sebagai tulisan filsafat
tidak merupakan ungkapan
transparan pemikiran secara
langsung. Dengan itu, filsafat yang
dilihat sebagai tulisan selalu
bersifat tekstual.
Dekonstruksi Derrida hadir sebagai
modus baru dalam membaca teks-
teks filosofis, yang adalah cara
untuk melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di
balik tiap teks itu. Secara praktis,
dekonstruksi adalah sebuah
strategi filsafat, untuk
membongkar modus membaca dan
menginterpretasi apa yang
mendominasi dan menguatkan
fundamen hierarki.[6] Interpretasi
yang demikian itu menunjukkan
ambisi filsafat pada umumnya
untuk melepaskan diri dari
statusnya sebagai tulisan dan ingin
agar bahasa yang digunakan itu
manjadi sarana transparan yang
menampilkan makna dan kebenaran
real yang bersifat ekstralinguistik.
Cara yang biasa ditempuh adalah
dengan mengacu pada dasar yang
diklaim sebagai eviden dan menata
logika sedemikian hingga tampil
utuh, koheren dan tidak ambigu. [7]
Namun bagi Derrida, semua ambisi
dan upaya semacam itu tidak akan
pernah mungkin berhasil. Dalam
setiap tulisannya dan mungkin
dalam setiap karyanya, Derrida
selalu meluncurkan proyek
dekonstruksi. Ia sepertinya sangat
menyadari akan realitas yang
semakin ambigu sehingga hampir
tidak pernah setuju dengan
pandangan berbagai filsuf. Ia
terkesan ingin melihatnya dalam
suatu pandangan yang baru. Ia
menolak struktur-struktur yang
telah dibentuk oleh tradisi
rasionalisme Barat. Ia juga
terkesan tidak mau menyelesaikan
sesuatu dengan sesuatu yang final.
Ia menolak adanya pemikiran yang
berujung pada akhir yang pasti
atau absolut. Ia memberikan
wacana yang luas yang terus
mengalir dan menjadi bagi manusia
tanpa harus terikat dengan narasi
yang ada sebelumnya.
2.2. Differance,
Metafor dan peranan
imajinasi
Dalam dekonstruksinya Derrida
menyatakan bahwa makna tidak
pernah hadir sepenuhnya, tetapi
selalu tertunda. Untuk menjelaskan
hal ini, Derrida menciptakan kata
Prancis yaitu differance. Besamaan
dengan munculnya konsep
differance, perjalanan
mendekonstruksi metafisika
kehadirannya sampai pada satu
titik problematik dalam filsafat
Barat tentang metafor serta
relasinya dengan kebenaran.
Kekuatan metafor bagi Derrida
terletak pada kemampuannya
dalam menunda kebenaran yang
menjadi sentral sejarah metafisika.
[8] Lalu, jika kita bertanya dari
manakah munculnya metafor? Di
sinilah kita mulai dapat menyadari
peranan imajinasi dalam
menghadirkan metafor itu.
Imajinasi adalah kekuatan yang
memungkinkan tanda-tanda itu
bebas memainkan perannya
melampaui logika. Dalam hal ini,
Derrida memahami imajinasi
sebagai efek dari differance itu
sendiri, yang muncul akibat
tegangan antara pembatasan
perspektif dan keterbukaan, juga
antara kejelasan makna dan
ambiguitas.
2.2.1. Différance [9]
Pemikiran akan
différance merupakan
jalan kemungkinan
berpikir yang
membebaskan tulisan
dari interpretasi
metafisis, di mana
bahasa ditujukkan untuk
mengekspresikan makna
atau kebenaran
kehadiran pada dirinya.
Différance itu memiliki
perbedaan dengan
différence atau
différer. Dalam kamus
Prancis kata différer
mengandung arti
berbeda, bertolak
belakang, tidak
mempunyai kesamaan
(kata kerja
intransitif) dan
menunda, menangguhkan,
mengundurkan waktu
(kata kerja transitif).
Kata differance
diciptakan Derrida
untuk menunjuk
bagaimana makna
ditirunkan dari
penundaan dan tidak
pernah hadir
sepenuhnya, melainkan
selalu tertunda
(postponed). Karena
itu, différance tidak
pernah dapat dijadikan
objek ilmu pengetahuan
sebab itu tidak
tertangkap dengan
kehadiran.
Dekonstruksi Derrida
bermula dari huruf. Dan
hal ini kita saksikan
bagaimana Derrida
memanipulasi huruf a
pada difference untuk
memperlihatkan betapa
ambigunya sebuah kata
yang tampak tunggal dan
sederhana.[10] Adanya
pemikiran tentang
différance merupakan
suatu keinginan untuk
tidak berada dalam
metafisika. Dengan kata
lain, Derrida berusaha
untuk melebihi
metafisika, melampaui
pemikiran yang ditandai
kehadiran. Maka
différance sebenarnya
tidak ada, untuk tidak
menguraikannya dalam
suasana atau kerangka
metafisis.
Istilah Différance,
dapat dibeakan dalam
empat arti yaitu:
pertama, différance
menunjuk kepada apa
yang menunda kehadiran.
Différance adalah
proses penundaan yang
tidak didahului oleh
suatu kesatuan asli.
Kedua, différance
adalah gerak yang
mendiferensiasikan
karena différance
bergerak dalam oposisi
terhadap konsep-konsep.
Ketiga, différance
adalah produksi semua
perbedaan yang
merupakan syarat untuk
timbulnya setiap makna
dalam setiap struktur.
Keempat, différance
juga dapat menunjukan
berlangsungnya
perbedaan antara
Différance bagi Derrida
juga bukan merupakan
suatu asal usul. Bila
demikian, ia akan jatuh
pada metafisika. Ia
jatuh pada identitas
terakhir yang melebihi
semua perbedaan
tekstual. Dengan
pemikiran ini Derrida
menolak penjadian
différance sebagai
suatu makna
transendental.
Différance juga
menganut tekstualitas,
menunjuk pada yang
lain. Bagi Derrida, tak
ada identitas terakhir.
Maka bisa dikatakan
bahwa realitas itu
menunjuk pada yang lain
dan tidak pernah
berhenti atau berakhir.
Di sinilah keradikalan
Derrida dalam
filsafatnya. Bagi
Derrida, tak ada ruang
lagi untuk suatu
dimensi tak berhingga.
2.2.2. Metafor
Sejarah metaphor menurut Derrida
pertama-tama mengandaikan
adanya arkhe transendental yang
menjadi basis pengetahuan dan
asal-usul bahasa. Konsep metafor
pertama kali dirumuskan secara
gamblang oleh Aristoteles dalam
Poetica. Aristoteles menyatakan
bahwa metafor terdiri atas
pemberian (epiphora) nama
(onomatos) atau sesuatu yang
sebetulnya milik sesuatu yang lain.
Menurut Aristoteles, sumber
arkhe pertama dari metafor
adalah alam. Alam memberikan
dirinya dalam bentuk metafor.
Manusia meniru pergerakan alam
dan menciptakan sebuah sistem
bahasa yang puitis untuk
mendramatisasi kekagumannya
pada alam.[11] Dengan kata lain
metaphor lahir dari hasrat
mimetik untuk meniru sesuatu
yang ideal dan tak terbahasakan.
Dalam artikelnya, The Retrait of
Metaphor, Derrida mengembangkan
gagasan metafor yang dibangun
Heidegger. Ada pun metafor yang
oleh Heidegger ditampilkan dengan
mendekonstruksi metafisika, adalah
reaksi terhadap genealogi
Nietzsche yang mengutamakan
metafor dengan cara melacak
akar metaforis pernyataan-
pernyatan filosofis. Dengan
dekonstruksi metafisika dan
kritiknya atas konsep metaphor
yang dibangun Nietzsche itu
sebetulnya Heidegger bermaksud
untuk mengubah sikap dasar kita
dalam memandang bahasa secara
umum. Baginya, hubungan yang
otentik dengan bahasa, bukanlah
hubungan di mana bahasa kita
anggap sebagai objek atau sarana
belaka dan kita gunakan
berdasaran suatu sistem predikasi
dan penekanan baku yang ketat
dan pasti.[12] Menurut Derrida,
bahasa pertama-tama adalah
suatu kenyatan terberi yang
menyingkapkan sebuah dunia bagi
kita sedemikian hingga dunia yang
kita pahami selalu berkait erat
dengan bahasa itu sendiri. Dengan
kata lain, tidak ada sesuatu yang
yang kita pahami di luar bahasa.
Derrida kemudian mengubah haluan
konsep ini. Bila Heidegger
menyerang metafisika dalam
pembendaan antara taraf inderawi
dan non inderawi, maka Derrida
menyerang metafisika dalam
pembedaan arti katanya. Bagi
Derrida, baik antara 'bunyi kata'
dan dan artinya, maupun antararti
dan antarbunyi kata itu sendiri,
pembedaan yang terjadi hanyalah
permainan yang bisa dibuat
sewenang-wenang. Akibatnya, arti
literal dan arti metaforis tidaklah
jelas untuk diketahui.[13]
Dekonstruksi memiliki sendi tak
tergoyangkan ketika dia
menyatakan kemustahilan
pereduksian metaphor karena
difference telah 'mengerjai' makna
'literal' yang baku. Segala
pernyataan bisa bersifat
metaforis bisa juga literal
tergantung pada bagaimana kita
membedakannya. Dengan kata lain,
pembedaan antara yang literal dan
yang metaforis sebetulnya tidak
ada artinya lagi, sehingga
dekonstruksi menemukan bahwa
tidak ada yang dinamakan makna
literal itu.[14]
2.2.3. Menggagas
Peranan Imajinasi
Derrida menyatakan bahwa untuk
berbicara tentang metaphor, mau
tidak mau kita arus berbicara
secara metaforis juga. Jika bagi
Heidegger metafor adalah konsep
metafisik, yang mana terdapat
perbedaan yang besar antra
kenyataan inderawi dan kenyataan
non-inderawi, bagi Derrida,
perkaranya adalah bahwa untuk
mendekonstruksi klaim metafisika
yang demikian, kita mau tidak mau
harus berbicara dalam konteks
metafisika juga. Dekonsruksi
baginya, hanya bisa berjalan dari
dalam. Yang diperlukan menurut
Derrida, adalah transformasi-diri
penulisan filsafat itu sendiri.
Dekonstruksi Derrida merupakan
wacana yang telah menelanjangi
pretense filsafat untuk menjadi
wacana logis, murni dan
transparan tentang kebenaran.
Melalui konsep matafor, ia telah
mengangkat wajah baru dari
realitas yang irasional. Akan tetapi
harus dipahami bahwa metafor
adalah suatu wajah utama dari
'irasionalitas' yang kritis dan
kreatif yang setiap kali memaksa
"konvensi" atau pemikiran
konvensional untuk terbuka pada
kemungkinan kebenaran baru.
Metafor dapat menjadi produk
imajinasi kreatif maupun
pengalaman yang memicu imajinasi
kreatif itu.
Oleh karena itu, dengan lahirnya
konsep dekonstruksi tidak berarti
bahwa bahwa filsafat kehiangan
identitasnya, sebab metafor dapat
dipakai sebagai paradigma untuk
mengkaji persolan filsafat,
irasonalitas dan kebenaran sebagai
yang berkarakter tegangan
(tensional). Dalam hal ini karakter
tensionalitas itu perlu dilihat
sebagai tegangan kreatif yang
perlu dikaji untuk melihat relevansi
filsafat secara baru.
Konsep Derrida tentang
dekonstruksi, secara implisit
meramalkan suatu kekuatan
superfisialtas dalam filsafat.
Ramalan ini tersingkap dalam
pendiriannya yang secara radikal
menolak "logosentrisme", yaitu
pemikiran tentang 'ada sebagai
kehadiran'. Kehadiran dalam konsep
dekonstruksi Derrida dimengerti
sebagai sistem tanda. Sistem
tanda inilah yang menjadi dasar
bagi hadirnya makna superfisialitas
dalam filsafat.
Asumsi ini terbukti dari tulisan
Derrida yang mengutip pandangan
Edmond Jabes:
"Tempat kediaman kita ini tidak
ramah karena membujuk kita,
sebagimana dilakukan oleh sebuah
buku, agar masuk ke dalam sebuah
labirin, yang di sini adalah sebuah
jurang yang sangat dalam: kita
terjun ke dalam horizonalitas
sebuah permukaan yang murni,
yang mempresentasikan dirinya
sendiri denganjalan yang memutar-
mutar kembali. Buku adalah labirin.
Anda mengira telah
meninggalkannya, tetapi
sebenartnya Anda terjun ke
dalamnya. Anda tidak punya
kesempatan untuk melepaskan diri.
Anda harus menghancurkan buku
itu. Tetapi Anda tak dapat juga
melakukannya. Saya perhatikan
bahwa perlahan tapi pasti
timbullah penderitaan yang
mendalam. Dinding di mana-mana.
Siapa yang menantikan Anda di
akhir nanti? tidak seorang
pun....nama Anda telah terlipat di
dalam dirinya sendiri".[15]
Gambaran Derrida ini menyadarkan
kita bahwa kita senantiasa berada
"di tengah dunia yang superfisial".
Dengan kesadaran ini, kita
diarahkan pula untuk menghayati
yang "ada" sebagai yang "hadir",
yang superfisial, sebab usaha
untuk melarikan diri darinya, hanya
akan berarti kita meneruskan
"impian" para filsuf Barat untuk
terus melihat apa yang ada di
balik berbagai hal yang tampak
(appearance) tanpa mempedulikan
unsur-unsur pemukaan (superfisial).
[16] Di sini, konsep Derrida
mengenai tanda dan simbol dapat
memberikan landasan bagi sikap
kepedulian akan aspek superfisial.
Ia menyatakan bahwa setiap
tanda bersifat arbitrer dan tidak
menuntut kodrat seperti adanya.
Pandangan akan simbol yang
mempunyai hubungan natural
dengan apa yang ditujukannya dan
tanda yang bersifat arbitrer ia
kesampingkan. Tanda baginya
adalah tanda yang menunjuk
kepada tanda yang lain (gramma).
Sehingga, ia memeriksa filsafat
bukan dalam hal-hal yang dikatakan
dengan "suara lantang", melainkan
dalam tulisannya yang ternyata
tidak selalu sama dengan apa yang
dikatakan secara eksplisit dan
terang-terangan.
Implikasi yang dahsyat dari
dekonstruksi filsafat adalah
lumernya batas-batas yang selama
ini dipertahankan secara keras,
antara konsep dengan metafor,
antara kebenaran dengan fiksi,
antara filsafat dengan puisi.
Dengan ini, Derrida sampai pada
kesimpulan bahwa "tak ada
sesuatu di luar teks": Segalanya
adalah teks, bermain dalam teks,
dan sejauh dimaknai sebagai teks,
maka kebenaran adalah
intertekstual, yaitu bertaut tanpa
akhir dari satu teks ke teks yang
lain.[17]
Selama ini filsafat sering dipahami
sebagai sebuah ilmu yang
mendalami segala hal sampai pada
unsur-unsurnya yang paling hakiki,
secara metodis dan sistematis.
Namun akibatnya, filsafat
cenderung berkutat dengan
kedalaman itu, sampai lupa
menaruh perhatian kepada apa
yang ada di 'luaran', yang
superfisial, yang ada pada
permukaan. Filsafat kehilangan
keberanian untuk menjadi
sperfisial. Filsafat sebetulnya
khawatir kehilangan identitasnya
sebagai ilmu yang mampu
membawa pada kedalaman makna,
sehingga apa yang di permukaan
seolah-oleh terus diadili sebagai
"gambaran yang pucat" dari
realitas. Seperfisialitas dianggap
seakan-akan diidentikan dengan
kedangkalan berlikir.
Namun Derrida dengan teori
dekonstruksinya membangun
paradigma baru. Derida
membangkitkan suatu apresiasi
terhadap apa yang eksplisit dan
terang-terangan ditampakan,
membangkitkan suatu kesadaran
akan segala yang "ada" pada
tataran superfisial, di mana kita
sendiri pun dapat memahaminya
secara harafiah tanpa perlu
membayangkannya secara metafisis.
Kesadaran akan superfisialitas ini
tidak perlu membuat filsafat
terbawa oleh arus permukaan.
Filsafat justru dapat
mengembangkan superfisialitas itu
sebagai "superfisialitas yang
kritis", kedangkalan yang adalah
kedangkalan itu sendiri.". Ia tidak
perlu khawatir akan kehilangan
"identitasnya" sebagai filsafat,
kendati masuk ke dalam
superfisialitas. Filsafat justru
makin mewujudkan apa yang
menjadi tujuannya, yakni kesetiaan
untuk menghadirkan dan
menyajikan realitas yang
senantiasa terbuka dan ambigu.[18]
Gagasan Derrida yang memberikan
warna bagi situasi dekonstruktif
postmodern dapat membangkitkan
suatu filsafat superfisialitas.
Kekuatan superfisial itu hadir
dalam setiap imaji. Imaji menurut
Derrida adalah gambaran atau
tanda yang tampak pada
"permukan", yang selalu mendahului
kehadiran. Situasi yang demikian
menjadi tantangan dasyat bagi
konsep-konsep filsafat Barat,
sebab dari sinilah lahir ranah baru
dalam filsafat; yaitu bahwa
berfilsafat bukan menjadi perkara
konsep-konsep belaka, melainkan
perkara superfisial. [19]
III. Tinjauan Kritis:
Membangan Filsafat
Imajinasi sebagai Wujud
Dekonstruksi:
Derrida telah membawa
rasionalitas ke tubir ambiguitas
dengan memnpertanyakan secara
radikal asumsi-asumsi kehadiran
yang menghuni gagaan rasionalitas
itu sendiri. Kebenaran banyak
bertautan dengan wawasan yang
bergerak terus-menerus dalam
dinamika intertekstual yang tak
putus-putus.[20] H. Tedjoworo
dalam bukunya Imaji dan Imajinasi,
menyatakan bahwa kalau titik
tolak kita dalam berfilsafat adalah
realitas, maka mau tidak mau kita
harus memberi jalan kepadanya
untuk makin tampil, bukannya
mencari sisi lain yang cocok
dengan rasionalitas kita. Dalam hal
ini, bukan tidak mungkin bahwa
kelak di kemudian hari imajinasi
menjadi ciri penelitian dalam
filsafat, sebab di tengah situasi
dekonstruktif postmodern, imaji
telah menjadi lebih penting dari
pada konsep. [21]
Kelebihan imaji daripada konsep
justru karena ia mampu
menghadirkan realitas yang
terbuka dan ambigu. Maka untuk
menghadapi realitas yang terbuka
dan ambigu ini, adalah perlu kita
melahirkan filsafat imajinasi yang
membawa atributnya yang sangat
mendasar yaitu imaji itu sendiri.
Melihat kenyataan ini Mark dan
Esa, berani menulis: "Di zaman ini,
kita mesti berfilsafat dengan imaji
lebih daripada konsep-konsep".[22]
Filsafat pada hekekatnya memacu
manusia untuk semakin peka dan
kembali peka terhadap berbagai
fenomena kehidupannya, terhadap
dinamisitas relasinya dengan dunia
tempat tinggalnya serta
dinamisitas gerakan mental yang
terjadi di dalam dirinya. Ia selalu
mencari jawaban, namun jawaban
itu tidak pernah abadi.[23] Dengan
kepekaan inilah filsafat terus-
menerus merumuskan dirinya. Ia
tidak akan kehilangan identitasnya
dengan menjadi dinamis dan peka
semacam itu. Ia bahkan semakin
menemu kan dan membentuk
dirinya untuk semakin utuh. Maka
di tengah realitas yang semakin
ambigu ini filsafat imajinasi dapat
mengangkat kesejatian fisafat
karena keterbukannya terhadap
pluralitas realitas itu.
Muhammad Al-Fayyadl dalam
bukunya yang berjudul Derrida,
menyatakan bahwa Derrida
memahami imajinasi sebagai efek
dari difference, yang muncul
akibat tegangan antara
pembatasan perspektif dan
keterbukaan, antara kejelasan
makna dan ambiguitas, antara
kekuatan yang menghendaki
stabilitas makna dan destabilisasi,
singkatnya tegangan antara
perbedaan-perbedaaan kekuatan
yang selama ini direpresi oleh
kuasa bahasa logis.[24] Dengan ini
kita dapat memahami bahwa
filsafat imajinasi adalah sebuah
wujud dekonstruksi. Sebuah
dekonstruksi tidak pernah benar-
benar hendak menghancurkan
dirinnya sendiri maupun masa
lampau tetapi semua justru
hendak dirangkum di dalam
kepenuhan yang semakin
menyeluruh. Hal ini terbukti ketika
Derrida 'meruntuhkan' keberadaan
pelaku di dalam sebuah
pertunjukan drama. Ia
menghendaki agar para pengamat
sendiri dapat menjadi pelaku dalam
pertunjukan itu. Kepenuhan filsafat
ada pada keterlibatan siapa pun
dalam setiap proses untuk
"menjadi subjek" di dalamnya,
untuk menjadi penting dan
berperan karenanya.
Menurut H. Tejoworo, dengan
kebangkitannya, filsafat imajinasi
mengundang siapa pun untuk
tenggelam ke dalam permukan
sebagaimana yang pernah
dikatakan Derrida, tetapi ia sendiri
tidak mengajak menegasi unsur-
unsur hakiki yang memuat
kedalaman itu sendiri. Dekonstruksi
realitas memuncak kepada de-
diferensiasi antara yang real dan
yang imajiner. Itu berarti 'realitas'
kembali menjadi satu, namun
dengan keganjilan-keganjilan yang
masih tidak dimengerti.[25]
Imajinasi dapat menghadirkan
banyak hal tanpa membingungkan,
menempatkan proses pengetahuan
'di tengah' dan 'di antara' berbagai
imaji, serta menumbuhkan
kebenaran interaksional
berdasarkan korespondensi antar
imaji.
Dengan menyadari realitas yang
ambigu ini, adalah layak jika
filsafat imajinasi ditampilkan
sebagai sebuah proyek ilmiah yang
hendak memgbangun kembali
kesejatian filsafat. Lahirnya
konsep dekonstruksi tidak berarti
bahwa bahwa filsafat kehiangan
identitasnya, sebab metafor dapat
dipakai sebagai paradigma untuk
mangkaji parsolan filsafat,
irasonalitas dan kebenaran sebagai
yang berkarakter tegangan
(tensional). Dan tensionalitas di sini
perlu dilihat sebagai tegangan
kreatif yang perlu untuk melihat
relevansi filsafat secara baru.
Dalam hal ini, filsafat imajinasi bisa
saja sudah berlangsung namun
tidak pernah diverbalkan.[26]
Kendati demikian, ketika sudah
terbentuk pemahaman baru akan
hakikat filsafat dalam terang
imajinasi, maka apa yang dikatakan
sebagai filsafat imajinasi sudah
tergambarkan di sana. Dengan itu,
topeng-topeng filsafat Barat
dapat tersingkap dan
memperlihatkan keterbatasannya.
IV. Penutup
Konsep postmodernisme sebagai
sebuah tantangan besar bagi dunia
filsafat, sebagamana yang
dituliskan Bambang Sugiarto,
sesungguh memuat sebuah
kenyataan bahwa kendati
postmodernsme membongkar
kemapanan filsafat, namun
sesudahnya ia menemukan
ksejatian fisafat itu. Filsafat
imajinasi hadir untuk menjawabi
realitas yang ambigu. Dengan itu
kita pun mulai sebuah
transformasi baru dalam cara
kita memandang kenyataan dan
cara kita berfilsafat. Bahwa
filsafat harus mencari jawaban-
jawaban tetapi jawaban-jawaban
itu tidak pernah abadi justru
karena realitas senantiasa ambigu.
Lalu filsafat wataknya yang
terbuka terhadap realitas, perlu
menyadari sifat realitas yang
ambigu itu.
Dalam paper ini, penulis telah
menyajikan makna imajinasi sebagai
"motor dekonstruksi"
menghadirkan banyak hal tanpa
membingunkan, menempatkan
proses pengetahuan 'di tengah dan
di antara berbagai kenyataan
serta menumbuhkan kebenaran
interaksional berdasarkan
korespondensi antar kenyataan.
Namun persoalan pengetahuan dan
kebenaran belum tentu sampai di
sini. Jika saat ini filsafat imajinasi
menjadi alternatif untuk
menjawabi realitas yang demikan
itu, berarti filsafat inilah yang
menemukan kembalui hakikat
filsafat yang sejati.
Hidup adalah teks, dan kita di
dalamnya, bergulat di dalamnya dan
menjadi bagian tak terpisahkan
darinya. Kita menulis kehidupan ini
dan mendekonstruksinya bersama
imajinasi. Maka bersama Gunawan
Muhamad dalam pengantar buku
berjudul Derrida karya Muhammad
Al-Fayyadl, saya sepakat bahwa
teori dekonstruksi sesungguhnya
mengajarkan satu nilai
kebijaksanan bagi kita untuk selalu
bersikap rendah hati untuk tidak
memagari diri dengan sebuah
kemapanan konsep atau ideologi.
Dekonstruksi mengajak kita untuk
tidak cepat 'berpuas diri' dengan
sebuah kemapanan tetapi untuk
selalu terbuka terhadap segala
kenyataan dunia yang tidak pernah
absolut. Realitas selalu ambigu dan
imajinasi membuka banyak
kemungkinan.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. Percik
Pemikiran Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida.
Yogyakarta: LKiS, 2005.
Norris, Christopher. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003.
Sugiarto, Bambang.
Postmodernisme, tantangan bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat
sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi:
Suatu Telaah Filsafat Postmodern.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Situs-situs Internet:
http://kompas.com/kompas-
cetak/0410/17/seni/1329378.
Diakses: 5 Oktober 2007.
http://www.itu.dk/courses/VV/E
2000/Frank-PoMo.doc. Diakses: 28
Desember 2007.
http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/kampus/2005/
271005/. Diakses: 5 Oktober 2007.
Diambil dari berbagai sumber di internet
Mungkin inilah hasil yang saya peroleh dari uték-uték hp, kiranya sangat sederhana bagi anda,tapi bagi saya, sangatlah melegakan. . . .
Tujuan kami, tidak lain hanyalah untuk saling berbagi, krena hidup terasa indah dengan berbagi..
Thanks telah mampir !
dari kami selamat membaca
Laman
Selasa, 23 Maret 2010
MENGGAGAS PERANAN IMAJINASI DALAM TEORI DEKONSTRUKSI DERRIDA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!