PENDAHULUAN
Islam merupakan totalitas sistem
nilai, baik nilai keagamaan, nilai
kemanusiaan maupun konsep dasar
ontologis dan epistemologi ilmu
pengetahuan. Secara normatif,
terma Islam digunakan dalam dua
pengertian, yaitu Islam dalam
persfektif socio-historis dan
Islam dalam persfektif nilai
perennial. Secara socio-historis,
Islam merupakan identitas dari
sebuah keyakinan yang secara
formal dan terorganisasi menjadi
sebuah nama agama (the name of
religion) dengan karakteristik
sebagai berikut; Nabi Muhammad
SAW. sebagai nabi dan rasul yang
membawa risalah tersebut.
Kemudian al-Quran sebagai sumber
primer ajaran, Hadits dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW sebagai
sumber sekunder referensi hukum
dan nilai-nilai ideal. Adapun yang
dimaksud dengan Islam dalam
pengertian nilai perennial (ruang
esoteris), ialah Islam sebagaimana
yang dinyatakan dalam al qur'an
sebagaimana yang diafirmasi dan
diwariskan oleh para nabi dan
rasul untuk dijaga dan diwariskan
kepada sernua ummat manusia.
Ibrahim mendeklarasikan
keberislamannya secara ekplisit
kepada Allah SWT (QS.2:114),
kemudian Ia (Ibrahim) dan para
nabi lainnya berpesan kepada
keturunannya untuk tetap
berislam, karena Allah telah
memilih Islam sebagai system nilai
yang mesti dipegang teguh, sehingga
jangan pernah mati kecuali dalam
rangkulan nilai tersebut. Jadi yang
dimaksud dengan Islam sebagai
sistem nilai perennial yaitu nilai-
nilai universal dari konsep Islam
itu sendiri, yang melampau sekat-
sekat formalitas agama, sejarah,
waktu, suku bangsa dan sebagainya.
Islam secara socio-historis paling
tidak dapat diidentifikasi melalui
tiga sub sistem yaitu, sistem
kredo, sistem ritual dan sistem
normatif. Atau kategori yang lebih
detail seperti yang dikemukakan
oleh Ninian Smart.1 Ia menganalisis
kandungan agama dalam persfektif
pandangan dunia. Ia menilai bahwa
agema merupakan sebuah
pandangan dunia (world view).
Ninian Smart menjabarkan aspek
agama ini ke dalam 6 bagian atau
kategori yaitu; dimensi doktrinal
(atau filosofis), naratif (atau
mistis), dimensi etis (atau legal),
dimensi praktis (atau ritual),
dimensi eksperiensial (atau
emosional) dan dimensi social (atau
organisasional). Meskipun rincian
Smart lebih detail, namun secara
substansial ia berkisar pada tiga
ranah utama, yaitu ranah esoteris
(dimensi filosofis dan mistis),
ranah legal formal (dimensi etis
dan praktis) dan ranah
internalisasi dan eksternalisasi
(dimensi eksperimental dan social)
dalam kontek historical-empirik.
Dimana, kedua ranah terakhir
dapat dikategorikan pada ruang
eksoteris dalam manifestasi agama.
Sistem kredo berkenaan dengan
kepercayaan (faithfull) kepada
eksistensi Tuhan, Alam dan Makluk
Ghaib (supra natural) dan hari
pernbalasan. Sebagian
menambahkan dengan kepercayaan
kepada qadha dan qadr, sebagai
manifestasi sikap keirnanan.
Sistern ritual terkait dengan
prilaku dan tindak tanduk yang
bermuatan ibadah, baik dimensinya
vertikal maupun horizontal.
Sedangkan system normatif
berkenaan dengan relasi sikap dan
prilaku yang terpuji antar sesama
makhluk dan termasuk kepada
Tuhan, atau lazim dikenal dengan
istilah system akhlaqi.
Kategori-kategori tersebut di atas
memungkinkan kita melihat agama
itu sebagai layaknya sebuah
system organis, yang dapat
dianalisa, dipelajari dan dilihat
hubungan antara satu bagian
dengan bagian lainnya. Disamping
itu, kategori ini memungkinkan kita
melakukan telaah atau analisa
secara lebih spesifik dari system
organis pranata agama. Dalam
kontek ini pula, para pengkaji
agarna dapat mengkaji agama pada
ranah tertentu, sehingga terhindar
dari upaya perarnpakan atau
percampur bauran antara ranah-
ranah beragarna. Dialektika
theologies antara ia dan anak-
anaknya, "Siapa yang kemudian
akan disembah oleh anak
keturunannya setelah ia mangkat.
Para anak keturunannya (dan juga
beberapa sahabat dan pengikutnya)
menyatakan bahwa, mereka akan
mengabdikan diri kepada Tuhannya
Ya'qub dan nabi-nabi yang
mendahului mereka (Ibrahim,
Ismail, Ishaq), yaitu Tuhan yang
tidak berbilang. Dan mereka
bersaksi bahwa, mereka akan
memilih Islam sebagai jalan
hidup.(Qs.2:)
Dalam kaitannya dengan pengertian
ini pula, ada contoh lain, dimana
universalitas nilai Islam juga
dipraktekkan oleh para nabi
sebelum Nabi Muhammad SAW.
Secara puitis, ini dinarasikan Allah
dalam QS. (.....:), yaitu ketika Nabi
Isa AS berada pada keadaan yang
sangat susah, ia bertanya kepada
para pengikutnya (yang dikenal
dengan Hawariyun) tentang
kornitmen dan loyalitas mereka
mendampingi beliau. Satu statemen
teologis yang diceritakan dalam al-
Quran menyatakan bahwa, para
sahabat Isa as menyatakan
keIslam-an mereka serta loyalitas
mereka kepada perjuangan Isa as.
Islam dalam pengertian kedua ini,
menjadi prinsip-prinsip nilai
perennial (abadi) dari semangat
dasar atau ilan vital risal kenabian
dan kerasulan (termasuk
eksistensi sebuah agama). Dalam
kontek ini, maka sukar sekali
dibantah, bahwa Islam adalah satu
system nilai yang berlaku
mengalarn (to universe / to
nature), tidak dapat dipisah dari
keberadaan manusiaan atau
menyatu (embedded values) serta
menjadi watak dari ciptaan
(nature of created). Nilai-nilai ini
sesungguhnya yang menjangkau dan
menyentuh sernua perbedaan, dan
diakui atau tidak semangat ini
yang menjadi penguat bagi daya
bertahan (energy of survival)
sebuah agama. Kita tidak dapat
membayangkan kalau agama ini
hanya sebatas realitas sosio-
historis, yang sifatnya sangat
kontektual dan terinstitusi secara
formal, mungkin agama sudah lama
lengkang dari permukaan bumi.
Namun demikian, nilai-nilai ini
seringkali terkebiri dalam realitas
kehidupan beragama. Nilai-nilai ini
terkubur di dalam lapisan paling
dasar sedimentasi formalisasi
system keagamaan.
Katup perkembangan pemikiran
dalam Islam pada ghalibnya
bergerak diantara dua pendulum
tersebut, baik dalam gerakan
sublimasi yang halus maupun dalam
posisi yang diperhadapkan secara
diametral. Sebagian kalangan
terjebak dalam ritus formalisasi
system nilai keagamaan, sehingga
bergelut dalam rutinitas socio-
normatif keagamaan. Sedangkan
yang lain, sibuk dengan eksplorasi
substansial yang menyangga daya
lentur dan fleksibelitas nilai-nilai
sebuah agama. Meskipun
internalisasi dan eksternalisasi dari
dua pengalaman tersebut tidak
otomatis hanya melahirkan dua
mainstream pemikiran dan sikap
keberagamaan tersebut. Akan
tetapi ini paling tidak memadai
menjadi dasar pijak untuk
menggambarkan dasar ontologis
dari pola atau model beragama
kemudian.
Idealnya memang keduanya
berjalan seiring dan terhubung
secara resiprokal, sehingga satu
sama lain saling belajar dan saling
mengisi. Namun dalam prakteknya,
tidak jarang keduanya
diperhadapkan secara diametral.
Hal itu tampak dalam penyusunan
disiplin keilmuan dalam studi-studi
keislaman, seperti epistemologi
bayani, burhani dan irfani.
Manifestasi dari akrobasi
pemikiran tersebut menjadi cikal
bakal model interpretasi terhadap
teks keagamaan, yang pada
akhirnya menimbulkan efek domino
terhadap model-model beragama
(modes of religions) dan model
rancang bangun Islamic studies di
institusi-institusi formal pendidikan
(baik pendidikan berbasis
keagamaan maupun pendidikan
umum).
Untuk yang terakhir ini, terbukti
telah menjadi salah satu tema
perdebatan yang menarik beberapa
tahun terakhir ini di Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) di
Indonesia. Salah satunya, polemik
tentang kerangka epistemology
kontruksi keilmuan di PTAI dan
perubahan dari IAIN menjadi UIN
dlsb. Namun, problem yang muncul
kemudian, idealitas dalam kontek
wacana tidak selalu bergerak
sejajar dengan praktek di
lapangan. Rancang bangunan
keilmuan Islam tidak jarang
berlaku terpenggal-penggal
(fragmented) dan saling terasing
(alienatif) antara satu sama lain.
Ini yang diistilah oleh Amin Abdullah
dengan model dikotornis-atomistik,
yaitu model epistemology keilmuan
yang bersifat terkotak kotak
dalam dinding yang bersifat rigit
dan alienatif. Dan bahkan tidak
jarang diposisikan secara berhadap-
hadapan dalam posisi biner.
Syukur kemudian ini cepat disadari
oleh para kaum cerdik pandai
Islam, sehingga ada kehendak
untuk kembali merekontruksi
epistemologis studi-studi
keislaman, dalam persfektif yang
lebih holistik, dialektik, egaliter dan
dialektis. Pada bagian inilah dimulai
proses eksplorasi keilmuan yang
dilakukan para sarjana agama
(termasuk sarjana Islam) klasik
dan kontemporer. Semangat untuk
melakukan interpretasi ulang
dan/atau rekontruksi terhadap
rancang bangun epistemology studi-
studi keislaman menjadi salah satu
kata kunci (key word) agenda
pembaharuan pemikiran Islam.
Dengan rincian agendanya sebagai
berikut, yaitu; relasi antara Islam
normatif (atau doktrinal) dengan
Islam historis, relasi Islam vis a
vis dengan ilmu pengentahuan
modern (yang nota bene berasal
dari barat), relasi Islam via a vis
kebudayaan Barat Modern,
termasuk respon Islam terhadap
isu-isu mutakhir yang sedang
popular di Barat, seperti
demokrasi, gerakan emansipasi
wanita (feminisme) hingga isu-isu
politik serta ilmu pengetahuan dan
tekhnologi yang mengalami "ledakan
keberhasilan" yang luar biasa
menakjubkan.
Respon dunia Islam terhadap
stimulasi yang berasal dari dunia
luar (baca: peradaban Barat) dan
situasi yang melanda dunia Islam
sendiri terkadang menjadi factor
pendorong timbuinya reaksi balik,
baik dalam. formulasi sikap politik
maupun dalam bentuk gerakan
social-keagamaan. Sekedar
menyebutkan bebarapa contoh,
ketika Napoleon Bonaparte
menginjakkan kakinya pertama di
tanah Arab (1798), dunia Arab
(terutama Mesir) seakan
disadarkan dari mimpi panjang
kejayaan pada masa-masa Helenisme
, khususnya peradaban yang dicapai
pada masa Aleksanderia.
Bangsa Mesir disadarkan bahwa
temyata mereka sudah jauh
ditinggalkan Barat, baik dari segi
budaya maupun ilmu pengetahuan.
Hal ini mendorong para intelektual
Mesir, baik dari kalangan Islam
maupun Nasrani berupaya
melakukan otokritik terhadap
bangsa Mesir sendiri, kemudian
menelurkan beberapa gagasan
pembaharuan dunia Arab. Salah
satunya seperti yang dilakukan
oleh Tahthawi, yaitu menjadikan Prancis sebagai prototype
masyarakat modern, sehingga ada
keinginan meniru keberhasilan
tersebut. Persinggungan terus
menerus dan semakin intensif
dunia Arab dengan Barat
mendorong munculnya generasi
generasi Islam pembaharu di dunia
Arab, atau apa yang diistilahkan
oleh Albert Hourani dengan
generasi Islam liberal Arab.
Tahun 1949, dengan berdirinya
Negara Israel telah menyulut
perubahan paradigma dan pola
gerakan beragama di dunia Arab.
Pola gerakan keagamaan yang
semula liberal, kemudian"digantikan"
dengan model gerakan agama
kaurn revivalis dan fundamentalis,
seperti ditandai dengan munculnya
Ikhwan al-Muslimin dan Hizb at-
Tahrir di Mesir dan Tunisia. Pola
gerakan keagarnaan ini cukup
populer pada saat itu, menginggat
ada kesamaan semangat dunia
Arab untuk "melibas" Israel. Oleh
karenanya diperlukan model
gerakan keagamaan yang lebih
strict, berani, militan dan formal.
Namun, popularitas model
keagarnaan seperti inipun tidak
berlangsung larna, tahun 1969
menyusul kekalahan dunia Arab
melawan Israel (perang Arab vs
Israel), kemudian menjadi stimulasi
bagi munculnya gerakan
pembaharuan di dalam Islam,
sekaligus "gugatan" atas Islam
revivalis. Ini yang penulis sebutkan
nanti sebagai gerakan Islam liberal
generasi keempat.
Demikian paling tidak gambaran
singkat bagaimana hubungan dunia
dengan Barat dan otokritik
terhadap kondisi internal ummat
Islam telah melahirkan berbagai
bentuk pola gerakan keagamaan,
ada yang mengambil bentuk
gerakan Islam progresif (entah itu
dengan nama Islam liberal. Islam
substantif, Islam Transformatif,
Islam Neo-Modernis dlsb), atau
Islam revivalis (atau
fundamentalis, militant, radikal
disb) atau malah memilih model-
model Messianis dalam
mempeduangkan Islam.
Seiring dengan perubahan waktu,
model-model gerakan keagamaan
atau model-model tafsir
keagamaan akan semakin rumit
dan bervariasi, sehingga sukar
menjelaskan femenoma tersebut
secara detail. Oleh karenanya,
untuk dapat memahami
multiplisitas model-model tersebut
diperlukan model berpikir yang juga
multiplisitas, terbuka dan dialektis,
sehingga dapat dengan kreatif
menangkap ragarn variasi yang
boleh muncul dari tiap-tiap
turunan dari sebuah model utama
(mainstream). Sebagai contoh, dulu
kita dapat dengan mudah
mengidentifikasi Nahdhatul Ulama
sebagai model gerakan keagamaan
kaum ftadisional (atau sarungan
dan desa), namun sekarang, dalam
tubuh NU sendiri muncul model-
model gerakan keagarnaan yang
mungkin tidak terbayangkan
sebelumnya. Metamorfosa dan
transformasi geneologis gerakan
intelektual yang tedadi di NU
sekarang, jauh berbanding dengan
pencitraannya selaina inL Tidak
sedikit anak-anak muda NU yang
sekarang mengusung konsep-
konsep Islam modernis, dan bahkan
dalam batas-batas tertentu
mengusung gagasan-gagasan yang
dinilai liberaL Suatu penci~ yang
berbalik 180 derajat dari citra
sebagai organisasi desa, ortodok,
saningan dlsb. Demikian halnya,
dengan gerakan-gerakan social
keagamaan lainnya, seperti yang
tedadi di Muhammadiyah, Dewan
Dakwah (baca DDII) dan organisasi
ke-Islaman lainnya.
Metarnorfosa dan transformasi
geneologis gerakan intelektual
tersebut menjadi bukti, bahwa
fenomena pernbaharuan model
atau pola gerakan keagamaan
tidak bisa lagi dilihat dalam batas-
batas taksonomis yang kasar.
Karena, manakala ini dilakukan yang
paling dikhawatirkan adalah variasi-
variasi yang inovatif tersebut
tidak dapat dijabarkan. Dan itu
berarti kita menafikan sebuah
fakta dan keniscayaan historis.
Bahkan pada tingkat tertentu,
kecenderungan ini cenderung
membajak (hyacking) atau
mengungkung kreativitas dalarn
mengapresiasi agama. Ini yang
kemudian, menjadi satu persoalan
mendasar yang dihadapi oleh
agama mutakhir, ketika variasi-
variasi ini diabaikan, atau bahkan
cenderung dieliminasi, sebagai
akibat dari tuntutan atau kehendak
menghadirkan sebuah interpretasi
yang otoritatif dan tunggal.
Coba bayangkan, ketika orang-
orang seperti Nurholis Madfid atau
Abdun-dhman Wahid misalnya,
pemikiran pembaharuan Islam
mereka diletakkan sama dengan (=)
gerakan penibaharuan pemikiran
yang dilakukan oleh JIL. Kemudian,
oleh sebagian kalangan mereka
dianggap sebagai"konco-konco"-nya
Islam Liberal di Indonesia.
Kemudian sernua yang diidentikkan
dengan Islam liberal, dianggap
sama, sarna-sarna "sesaf dan
"menyimpang", apa ini adil.
Pertanyaan yang muncul adalah,
apakah karena mereka dilabelkan
sama-sama liberal lantas kemudian,
apa antara satu sama lain tidak
memiliki perbedaan, baik dalam
model interpretasi maupun sikap
keberagamaannya. Generalisasi
dengan taksonomi yang kasar ini
cenderung memiskinkan, dan
membuat kita bersikap pukul rata.
Hal serupa juga terjadi dalam kita
menilai gerakan Islam revivalis
atau militant. Hefner, Liddle dan
Adam Schwarz menilai DDII sebagai
gerakan Islam militant, kaku dan
anti Kristen dan Barat. Penilaian ini
sepertinya tanpa kecuali, padahal
di dalam tubuh DDII sendiri teijadi
proses metamorfosa geneologis
pandangan dan sikap beragamanya.
Sehingga berbicara DDII, kita tidak
bicara tentang satu warna, akan
tetapi beragam warna dan spec~
yang sekarang muncul, tumbuh dan
berkembang di dalamnya. Atau,
anggapan yang selama ini menilai
bahwa setiap gerakan keagamaan
militant seolah secara otomatis
atau dengan sendirinya
bermetamorfosa menjadi gerakan
radikal dan anarichis, juga
cenderung ahistoris. Karena dalam
kontek sosio-religio masyarakat
Indonesia memperlihafican tidak
otomatis, sikap beragama yang
militant dan tekstual lantas
melahirkan gerakan beragama yang
anarkhis.
Variasi-variasi ini harus jeli kita
lihat dalam rangka menghindari
satu perampakan dan pengabaian
terhadap fakta keragaman model
beragama. Disamping itu, pemikiran
ini akan mengantar kita kepada
satu pandangan bahwa, untuk
menjelaskan sebuah gejala prilaku
dan sikap beragama tidak memadai
hanya dalam satu dua variable
saja, dan menganggap secara
linear ia bersifat konstan (seperti
yang lazim, dipikirkan dalam logilca
formal). Fakta sekarang
menunjukkan, untuk sebuah
fenomena sederhana, dapat
menarik segudang variable dalam
dataran noumenanya. Oleh
karenanya, telaah kita terhadap
model atau pola beragama juga
mesti berada dalam kerangka pikir
ini bahwa, tidak ada model tunggal,
variable tunggal atau otoritas
tunggal tafsir dan produk tafsir
serta bergerak secara linear
dalam model yang tunggal.
Buku ini hadir untuk mendalami
proses yang rumit tersebut, agar
kita dapat menumbuhkan satu
model beragama yang lebih
ramah/familiar dengan keragaman,
bahkan dalam batas-batas
tertentu dapat berlaku arif ketika
berdialektika dengan realitas yang
serba jamak. Disamping itu, melalui
pemikiran-pemikiran dalam buku ini
dapat didekontruksi kondisi mental
beragama yang mudah terjebak
dalam posisi biner dalam melihat
posisi diri dengan orang lain.
Kemudian juga dapat meredam
sikap yang emosional, reaktif,
establish (mapan), mau menang
sendiri dan tergesa-gesa dalam
memberikan penilaian. Penulis tidak
berpretensi menulis ini dalam
lingkup normatif, benar atau salah
semata, akan tetapi karya ini lebih
merupakan manifestasi dari
respon penulis dalam membaca
dunia yang terjangkau melalui plus
minus kemampuan diri penulis.
Penulis juga tidak berkepentingan
apakah yang dituliskan ini benar
atau keliru, karena kita semua
tahu, tidak ada karya kemanusiaan
yang langgeng untuk setiap
tempat dan keadaan.
1 Lih. Zainal Abidin Bagir dkk.,
Integrasi ilmu dan Agama
(Interpretasi dan aksi), Mizan,
Bandung, 2005: 27
Diposkan oleh EKA HENDRY AR di 22
:58 0 komentar
Streotipe Militan
Terhadap Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia
A. LATAR
BELAKANG
Para futurolog memprediksi akhir
abad 20 atau memasuki babak
baru millenium kedua, merupakan
era kebangkitan agama-agama dan
keberagamaan di dunia. Salah
satunya dikemukakan oleh Naisbit
dan Aburdene (1990), dalam bukunya
Megatrend 2000. Kedunya
memprediksi era tersebut salah
satunya ditandai dengan
kebangkitan agama-agama atau
tradisi esoterik di dunia, seperti:
Islam, Budha dan Yahudi. Fenomena
tersebut setidaknya tampak pada
masyarakat Barat, dimana wujud
kebangkitan atau kesadaran
beragama lebih berupa menguatnya
kesadaran intrinsik keberagamaan
yang menonjolkan aspek-aspek
substansi keberagamaan.
Kebangkitan tersebut paling tidak
secara simbolis ditandai dengan
jargon agama formal tidak dan
spritualitas ya (formal religion is
no dan spirituality yes).1
Menguatnya kesadaran intrinsik
beragama tersebut kemudian
menjadi salah satu kecenderungan
(trend) dan sekaligus pola
beragama yang cukup mengemuka.
Disamping pola tersebut, juga ada
pola yang agaknya bertolak
belakang dari pola tersebut, yaitu
pola keberagamaan yang lebih
menonjolkan pelembagaan nilai-nilai
keberagamaan secara formal atau
ekstrinsik.
Pola kebangkitan pertama lebih
mengedepankan aspek substansial
keberagamaan, dan dalam kontek
sosial, karakteristik sosialisasinya
bersifat inklusif[1]. Sedangkan pola
kebangkitan kedua lebih
menonjolkan aspek-aspek simbolik,
atau istilah R. William Liddle (dalam
Zada, 2002) skripturalis. Disamping
dua pola ini juga terdapat pola-
pola lainnya3. ( Alqadrie dalam
Florus, 1994).
Namun sayang, proses kebangkitan
agama ini kemudian "terbentur"
dengan isu terorisme yang
diidentifikasi atas nama tuhan
(under banner of God), sebagai
konsekuensi dari mengemukanya
beberapa tindak kekerasan yang
dipersangkakan kepada penganut
agama tertentu. Fakta ini seakan-
akan menjustifikasi kecurigaan
bahwa Islam merupakan agama
sumber konflik dan segala macam
bentuk benih kekerasan serta
menjadi ancaman ideologis.
Pandangan ini seolah-olah
menjustifikasi tesis negatif
seperti dari Huntington (2001), A.N.
Wilson[3] (dalam Elmirzanah, 2002)
maupun Robert Spencer (2003).
Islam dianggap sebagai ancaman
yang menakutkan. Dalam bahasa
John Esposito (dalam Shaheen,
2004) ketakutan terhadap Islam
(green menace) akan menggantikan
ketakutan kepada komunis yang
disimbolkan dengan (red menace).
Dengan kata lain, ketakutan
terhadap Islam karena Islam
mengandung etos perang suci (the
holy war), ketakutan, fanatisme
dan kekerasan, ketidak toleran dan
tekanan terhadap wanita.
Stereotype negatif ini paling tidak
dikuatkan oleh hasil survey
tentang inter-Group Relation yang
dilakukan oleh Pollster Louis
Harris.(Shaheen, 2004) Survey
tersebut dilakukan dengan
mewawancara kurang lebih 3000
responden yang berasal dari ras
berbeda yaitu, Asia, Hitam, Latin
dan Putih.
Survey tersebut menunjukkan
sekitar 42 % responden setuju
dengan pernyataan bahwa Islam
merestui atau mendukung
terorisme. 47 % setuju dengan
pernyataan bahwa Muslim adalah
anti barat dan anti Amerika dan
62 % setuju dengan deklarasi
bahwa Muslim mengucilkan dan
menekan perempuan. Hasil survey
tersebut sangat memojokkan
posisi Islam dan penganutnya, dan
sangat potensial dalam membentuk
stereotipe negatif terhadap Islam.
Islam dipojokkan seolah-olah
menjadi sebuah agama yang
membenarkan tindakan anarkhis,
membenci Barat dan Amerika
serta diskriminasi terhadap
perempuan.
Mengemukanya tindak kekerasan
yang melibatkan kelompok Islam
garis keras, seperti yang terjadi
di Indonesia, mengakibatkan
terjadinya pengentalan stereotipe
negatif tersebut. Islam distigma
sebagai agama yang "keras, militan
dan radikal". Pada akhirnya
stereotipe negatif ini menjadi
instrumen propaganda yang
efektif untuk menyudutkan Islam.
Proses pembentukan stereotipe
negatif ini sebenarnya telah
terjadi sejak lama, baik pada masa
orde lama maupun orde baru. Pada
masa orde baru (ORBA), ini
dijadikan salah satu strategi untuk
mengkooptasi dan/atau upaya
pembunuhan karakter (caracter
assasination) terhadap organisasi
keagamaan yang dianggap ekstrim
kanan oleh penguasa.
Disamping itu, stereotipe dibentuk
oleh para ahli (ilmuan dan peneliti)
untuk mengidentifikasi kelompok
keberagamaan tertentu, seperti
yang terjadi pada Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII). Robert
Hefner[4] (Dalam Zada, 2002;
Hefner, 1952) mengidentifikasi DDII
sebagai gerakan Islam anti liberal,
dengan beberapa karakteristik,
seperti: tekstual (scriptural), anti
terhadap sesuatu yang berbau
Barat (seperti sekularisme,
feminisme, kristenisasi dan
termasuk penentangan terhadap
pengiriman mahasiswa ke
universitas-universitas di Eropa
dan Amerika beserta produk
pemikiran yang dibawanya kemudian.
Adapun sarjana lain yang juga
mempunyai penilaian miring
terhadap DDII adalah Adam
Schwarz. (Zada, 2002) Schwarz
mengidentifikasi DDII sebagai
gerakan Islam Militan dengan
karakteristik kaku (rigit) dalam
interpretasi, anti Barat dan agama
Semit serta kritis terhadap
kelompok etnis Cina. Terlepas dari
motif apapun di balik indetifikasi
tersebut, yang jelas ini kemudian
membentuk stereotipe negatif
terhadap DDII, yaitu mengesankan
bahwa DDII merupakan bagian dari
lembaga keislaman yang keras,
radikal, tekstualis / skripturalis
dalam memahami ajaran dan
bersikap sektarian. Bahkan, William
Liddle (dalam Barton, 1999), menilai
bahwa tulisan-tulisan dari Media
Dakwah yang diterbitkan DDII,
mewakili pandangan dan
karakteristik DDII sebagai
organisasi yang picik, tidak
berwawasan dan anti-Semit.
Pandangan ini menurut hemat
penulis, disadari atau tidak telah
membentuk stereotipe negatif
terhadap DDII. Sebagaimana
diketahui, kelahiran DDII dibidani
oleh sejumlah tokoh yang nota
bene merupakan mantan tokoh-
tokoh Masyumi[5], seperti
Muhammad Natsir, Rasyidi, K.H.
Taufiqurrahman dan lain-lain.
Mereka-mereka ini notabene yang
dicap "keras" oleh pemerintah
Soekarno dan Soeharto. Stigma
sebagai tokoh-tokoh Islam garis
"keras" ini yang kemudian
membuahkan pembubaran terhadap
Masyumi. (Syarif & Nasrullah, 2003
; Sirozi, 2004).
Sementara berdasarkan observasi
awal penulis, secara normatif
(baca: Anggaran Dasar) dan
empirik, tidak ditemukan konsep-
konsep dasar dan fakta empirik
yang cenderung kepada stereotipe
negatif yang dimaksud. Karena
DDII merupakan yayasan Islam
yang bergerak dalam bidang
dakwah dan pemberdayaan
masyarakat, dan mengemban misi
keislaman secara universal.
Sepanjang pengetahuan penulis
belum ditemukan catatan
keterlibatan DDII dalam tindakan
kekerasan seperti yang dilakukan
oleh FPI atau laskar jihad
misalnya. Bagaimana bisa Schwarz
dan Hefner (Zada, 2002) bisa
sampai pada kesimpulan bahwa
DDII merupakan organisasi Islam
yang militan dan eksklusif.
Pada bagian ini menurut hemat
Penulis menarik untuk diteliti
secara lebih mendalam, yaitu
antara pembentukan stereotipe
negatif oleh beberapa pakar
dengan fakta sesungguhnya
tentang keberadaan yayasan DDII.
Apakah steotipe negatif itu
sepenuhnya benar ?, atau jika
tidak benar, lantas mengapa
sampai stereotipe tersebut
muncul kepermukaan ?. Penelitian
ini akan mengambil contoh studi
terhadap DDII Perwakilan Kalbar
yang merupakan perwakilan DDII
Pusat di daerah ibukota propinsi.
B. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini
berkenaan dengan pembentukan
stereotipe terhadap DDII oleh tiga
orang penulis dan peneliti Barat,
yaitu Adam Schwarz, Robert
Hefner dan R. William Liddle.
Mengingat beragamnya perisitilahan
yang digunakan untuk
mengidentifikasikan gerakan-
gerakan keagamaan garis keras,
maka dalam penelitian ini digunakan
istilah Islam Militan. Melalui
penelitian ini akan diteliti
kebenaran stereotipe bahwa DDII
adalah institusi keislaman yang
militan.
Adapun yang dimaksudkan dengan
stereotipe dalam penelitian ini
adalah bentuk pencitraan dan sikap
seseorang atau sekelompok orang
terhadap kelompok lainnya.
Pencitraan atau pengambaran
tersebut berupa perampakan atau
pendistorsian terhadap sebuah
eksistensi suatu kelompok
tertentu, berdasarkan pengalaman
yang sedikit atau fakta-fakta dan
bukti yang kurang memadai,
sehingga mengabaikan hal-hal
fundamental yang menjadi dasar
atau latar belakang suatu cara
berpikir dan bertindak kelompok
tertentu. Hal tersebut kemudian
menimbulkan kesan negatif
terhadap kelompok yang diberikan
stereotipe demikian.
Kemudian indikator militan yang
dimaksud dalam kontek penelitian
ini meliputi; pola interpretasti
terhadap teks keagamaan
cenderung bersifat tekstual /
literalis (skriptural), anti terhadap
produk pemikiran Barat, seperi
sekularisme, Feminisme dan
Pemikiran Progresif. Kemudian juga
"anti" terhadap agama Semit
(baca: Yahudi dan Kristen serta
gerakan Kristenisasi) dan kritis
terhadap etnis Cina.
1. Meskipun di beberapa negara
Eropa Barat dan Amerika, pasca
kasus 11 September 2001 kuantitas
orang yang menganut agama
formal, seperti Islam malah
bertambah jumlahnya. Robert
Spencer (2003) seorang anggota
Dewan Christian-Islamic Forum,
meskipun disatu sisi ia "mengugat"
(atau paling tidak
mempertanyakan) kebenaran Islam
sebagai agama damai, namun di sisi
lain ia mengatakan bahwa Islam
merupakan the world's fastest-
growing faith (agama yang
berkembang paling pesat di dunia).
Ia memprediksikan pada tahun 2025
kaum muslim akan melebihi jumlah
penganut Kristiani (sekitar 30 %
penduduk dunia, sementara Kristen
hanya 25 %). Pertambambahan
jumlah ini dikarenakan Islam bisa
melakukan "jihad demografik",
salah satunya dengan
"memproduksi anak" sebanyak-
banyaknya. Lih. Kata Pengantar
Penerbit dalam Robert Spencer.
(Spencer, 2003). Dan menurut Prof.
Syarif I. Alqadri, disamping jihad
demografik, juga terjadi
counciousness jihad (jihad
kesadaran) yang juga terjadi di
Barat (terutama di Eropa).
(Wawancara dengan Prof. Syarif. I.
Alqadrie). Lih. Pula Amanah edisi 31
Oktober 2002, dikatakan dalam
waktu kurang lebih 3 bulan sejak
September 2001 hingga November
2001 (pasca tragedy WTC 11
Septermber), jumlah Muslim baru
di AS mencapai 34.000 orang, dalam
waktu satu tahun (11 September
2001 hingga 11 September 2002)
jumlah ummat Islam di Amerika
mencapai 120.000 orang.
[1]. Kebangkitan agama tipologi
inklusif mengilhami lahirnya konsep-
konsep serupa pada masyarakat
Islam Indonesia, meskipun dengan
beragam peristilahan, seperti:
Muslim Abdurrahman (1995)
menggunakan istilah Islam
Transformatif, Azyumardi Azra
(2002) dengan istilah Islam
Substansial.
3. Disamping pola kebangkitan
tersebut, ada pula tipe lain
terutama yang berkenaan dengan
pola penyikapan oleh penganut
agama terhadap persoalan yang
dihadapinya dalam kontek sosio-
historis. Menurut Bryan Wilson
(dikutif Syarif. I. Alqadrie dalam
Florus dkk., 1994), paling tidak ada 7
(tujuh) tipologi reaksi, yaitu: (1)
Tipe Conversionist (2) Tipe
Revolusioner (3) Tipe
introversionist, (4) Tipe
manipulationist atau gnostik (5)
Tipe Thrumaturgical. (6) tipe
reformist Terakhir, tipe utopian.
[3]. A.N. Wilson dalam bukunya
Againts Religion: Why We Should
Try Life Without It, mengatakan
bahwa Tuhan adalah akar dari
segala macam kejahatan, karena
agama tidak hanya membuat orang
ekstase, seperti efek opium.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Karl Marx (agama adalah candu).
Efeknya kemudiaan membuat orang
ternina bobok atau tertidur.
Namun bagi Wilson, efek agama
jauh lebih berbahaya, karena ia
tidak hanya membuat orang
tertidur, akan tetapi sebaliknya,
malah akan membuat orang
menjadi brutal dan anarkhis.
(dalam Elmirzanah, 2002)
[4]. Hefner (1952) juga
menggunakan istilah konservatisme
terhadap DDII, terutama ketika ia
menjelaskan munculnya Komite
Indonesia untuk Solidaritas dengan
Dunia Islam (KISDI), yang menurut
Hefner merupakan badan yang
didirikan oleh sayap paling
konservatif dari DDII.
[5]. DDII merupakan "jelmaan" dari
Masyumi. Ada beberapa
indikatornya, yaitu: (1) DDII
didirikan oleh sebagian besar
mantan tokoh-tokoh Masyumi,
demikian halnya dengan
kepengurusan DDII Pusat pada
awalnya sebagian besar adalah
mantan tokoh-tokoh Masyumi, (2)
DDII lahir ketika Natsir dan tokoh-
tokoh Masyumi lainnya, gagal
"menghidupkan" kembali Masyumi
yang dibubarkan oleh Soekarno, (3)
Sekretariat yang digunakana oleh
DDII merupakan ex. Sekretariat
Masyumi. (Syarif & Nasrullah, 2003).
PROLOG PENULIS
Puji syukur kepada Allah SWT.,
karena atas seluruh kemurahan
dan kasih sayang-Nya, penulis
dapat menyelesaikan penulisan buku
kecil ini. Apa yang ada di tangan
pembaca ini merupakan kumpulan
dari beberapa tulisan ringan
penulis seputar persoalan
keagamaan, sosial kebudayaan dan
fenomena kekerasan yang terjadi
baik dalam kontek nasional maupun
lokal Kalimantan Barat. Beberapa
diantaranya pernah dimuat di
media masa lokal Kalimantan Barat.
Penulis berpandangan bahwa, jika
tulisan ini hanya dimuat di koran,
paling-paling hanya dibaca satu
hari saja, dan setelah itu tulisan
itu akan menjadi bungkusan macam-
macam hal, maka akan lebih
permanen gagasan kalau tulisan
tersebut dibukukan.
Sekecil apapun gagasan yang
termuat dalam buku ini, tetap
saja ia memiliki makna yang
sangat mendalam. Karena paling
tidak, melalui buku kecil ini
terdokumentasi beberapa fakta,
pemikiran, pengetahuan dan
pengalaman dari satu masa yang
tidak akan pernah terulang kembali
di masa yang akan datang. Ke
depan kita tidak tahu, apa isu-isu
pembaharuan Islam atau
radikalisme kaum agamawan masih
cukup relevan, karena pasti
persoalan ke depan akan jauh lebih
komplek dan holistik. Seperti
halnya zaman kita terhadap masa
lalu, tidak sedikit persoalan yang
sekarang ada tidak terpikir dan
terbayangkan oleh mereka yang
hidup di masa lalu. Oleh karenanya,
urgensi dari menghadirkan
fenomena zaman kita, setidaknya
dapat memberikan inspirasi dan
rantai sejarah pemikiran bagi
masa lalu, masa kini dan sejarah
masa depan.
Tulisan ini sengaja mengambil judul
Mendongkrak Kualitas Ummat
Islam, karena diantara persoalan
yang sukar dipecahkan--baik dalam
konteks bernegara dan beragama-
adalah persoalan menata
mentalitas manusia (baik dalam
kontek sebagai masyarakat
Indonesia maupun sebagai ummat
beragama). Mentalitas yang
dimaksud adalah terkait dengan
cara berpikir dan bersikap
(berkenaan dengan falsah
eksistensi diri, relasi dengan orang
dan bangsa lain, memandang
prestasi, investasi serta
mendefenisikan masa depan dlsb.),
budaya dan gaya hidup serta
prestasi dan produktifitas bekerja.
Padahal dari sekian banyak
persoalan bangsa ini, proses
menata mentalitas merupakan
salah satu masalah yang terberat,
karena disamping memerlukan
waktu yang tidak singkat, juga
membutuhkan kesadaran yang
sungguh-sungguh untuk mau
berubah dan merevolusi kesadaran.
Jika, selama ini kita cukup puas
dengan apa yang kita miliki
sekarang, maka semangat
perubahan menghendaki kita untuk
membuat berbagai terobosan dan
inovasi secara lebih kreatif,
kontekstual dan berorientasi pada
kualitas. Baik itu berkenaan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan,
prestasi dalam kerja dan
produktifitas dalam berkarya
sehingga dapat memberikan
kontribusi bagi masyarakat dan
ummat manusia.
Sementara itu, faktor-faktor
yang selama ini cenderung jadi
penghambat harus kita singkirkan,
seperti kurang bersemangat
(pesimis memandang kehidupan),
mudah menyerah (tidak tabah
menghadapi proses), berpikir dan
bertindak menerabas, bermental
budak (selalu menunggu perintah
dan bimbingan), tidak berkarakter,
tidak amanah, mengembangkan
sikap sombong, iri dan dengki
serta cenderung mencari kambing
hitam atas keterbatasan diri.
Karena faktor-faktor inilah yang
seringkali menyebabkan penyakit
mental kita menjadi semakin
kronis dan sukar untuk
disembuhkan.
Terkait dengan keberadaan ummat
Islam, sebagai ummat yang
memiliki modal yang besar dari
segi jumlah, harus juga diimbangi
dengan peningkatan kualitas dan
peran sosial kemasyarakatannya,
baik dalam kontek politik, ekonomi,
budaya dan keagamaan. Karena
kalau tidak demikian, maka jumlah
yang besar itu malah akan menjadi
beban bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Oleh karenanya,
ummat Islam juga harus
melakukan agenda serupa yaitu
menata kembali mentalitas
mereka, jika mereka tidak mau
dianggap sebagai beban atau
"gulma" yang terus menerus
mengelayuti kelangsungan hidup
berbangsa dan beragama.
Hal ini merupakan tantangan serius
mengingat apa yang terjadi akhir-
akhir ini, agama seringkali dijadikan
sarana atau alat untuk
menjustifikasi berbagai bentuk
tindakan kekerasan yang mengatas
namakan kebenaran Tuhan. Padahal
sebagaimana yang lumrah kita
temukan dalam masyarakat bahwa,
tidak sedikit manusia manakala
berbicara perkara agama
cenderung kehilangan daya kritis
dan rasionalnya. Hak ini boleh jadi,
karena agama yang mereka warisi
adalah model agama yang "mati",
"lapuk" dan tidak lagi relevan
dengan kehidupan mutakhir mereka.
Tentu ini bukan salah agama,
karena agama itu instrumen
positif yang bersifat pasif,
manusialah yang semestinya harus
lebih cerdas dan kreatif dalam
mendefenisikan dan mengamalkan
agama. Model pemahaman dan
keberagamaan yang demikian,
tentu juga terkait secara
kontinum terhadap sikap mental
penganutnya. Oleh karenanya dapat
disimpulkan sepanjang kita tidak
merubah cara berpikir, bersikap
dan totalitas mentalitas kita,
maka berbagai persoalan akan
terus menerus menetes, menjadi
mata rantai masalah yang semakin
hari semakin sukar untuk
terpecahkan.
Tulisan ini tidak terlalu
berpretensi menjawab secara
tuntas persoalan tersebut, tapi
paling tidak ia dapat mengugah
kesadaran dan sedikit memberikan
pencerahan bagi para pembaca
yang budiman. Karena yang
namanya manusia itu sesungguhnya
tidak ada yang benar-benar "keras
kepala", sepanjang ada proses
mengingatkan dan menggedor
kesadaran secara terus menerus
sepanjang hayat.
Akhirnya, sebelum menutup prolog
ini, penulis perlu mengucapkan
terima kasih kepada saudara Helmi
Hardi yang membantu mendisain
tulisan-tulisan yang terserak ini
menjadi sebuah buku kecil yang
menarik untuk dibaca. Kepada
kedua orang tuakua, saudara-
saudaraku, istriku Heny Rahmawati
serta almarhumah putriku Karen
Abiza Schimmel penulis dedikasikan
karya ini, sebagai bentuk
penghormatan dan terima kasih
atas dukungan mereka semua.
Kepada para pembaca, penulis
berharap dengan lahirnya buku ini
dapat menjadikan inspirasi untuk
melakukan hal serupa yang
mungkin jauh lebih baik dari ini
semua. Wassalam.
Diposkan oleh EKA HENDRY AR
diambil dari berbagai sumber di internet
Mungkin inilah hasil yang saya peroleh dari uték-uték hp, kiranya sangat sederhana bagi anda,tapi bagi saya, sangatlah melegakan. . . .
Tujuan kami, tidak lain hanyalah untuk saling berbagi, krena hidup terasa indah dengan berbagi..
Thanks telah mampir !
dari kami selamat membaca
Laman
Selasa, 23 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!