WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI MOECHTAR EL-NAOEMI, SILAHKAN ANDA MEMBACA-BACA ARTIKEL YANG ANDA SUKA, TAPI JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK ANDA/COMENT POSITIF YANG UNTUK KAMI SANGAT BERARTI . . . . THANKS YOUR VISITED SELAMAT MEMBACA ! ! ! !
English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

Jumat, 29 April 2011

Kumpulan Qoul-Qoul Antik

Penulis : Ustadz M. Ridlwan Qoyyum Sa’id

Fatwa Al-Qorofi, tentang: “Diperbolehkan Bagi Orang Alim Mencari Popularitas, Agar Dijadikan Panutan”.

Ketahuilah sesungguhnya mencari popularitas diri dengan ilmu yang dipunyai, agar dijadikan panutan, bukanlah termasuk riya’. Hal ini justru merupakan ibadah yang paling besar pahalanya, karena akan memperbanyak orang yang mau mengerjakan ketaatan dan menjauhi larangan.
Bukankah Nabi Ibrahim Alaihissalam berkata: “dan jadikan aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”.
Para Ulama’ menafsiri perkataan Ibrahim A.s. tersebut dengan penafsir-an : “agar orang-orang setelahku, mengikuti jejakku”.
Oleh karena itu, Rosululloh Saw. bersabda : “ketika anak Adam mati, amalnya terputus kecuali tiga perkara, yaitu : ilmu yang bermanfaat ……..” (Al-hadits). Pada Hadits tersebut Rosululloh Saw. mendorong kita semua untuk menyebarkan ilmu. Agar ilmu itu abadi dan banyak bermanfaat, setelah pemiliknya meninggal. Dan searti dengan hadits diatas, Firman Allah yang artinya : “dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu”.

Fatwa Ibnu Daqiq Al –'Iid , Tentang: “Akan Selalu Muncul Mujtahid Dari Masa Ke Masa” .

Ibnu Daqiq Al-‘Iid mengatakan: “dalam setiap masa pasti akan muncul seorang mujtahid. Kecuali pada zaman itu telah benar-benar rusak dan hari kiamat sudah begitu dekat.
Adapun pendapat Al-Ghozali dan Al-Qoffal yang mengatakan : pada masa itu tidak ditemukan lagi seorang Mujtahid, yang di maksudkan adalah mujtahid yang maumenjabat sebagai Qodli / Hakim. Karena sesungguhnya para Ulama’ memang tidak menyukai kedududkan itu.
Imam Makhul pun pernah mengatakan : “seandainya aku disuruh memilih antara menjabat sebagai Qodli atau dipancung, aku memilih dihukum pancung”. Demikian juga Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah Rodli-yallahu ‘Anhuma mereka tidak mau menjabat sebagai Qodli.
Catatan Ibnu Ziyad ;
“Tentang Para Mujadddid Dari Masa Kemasa”
Hadits yang berbunyi : “sesungguhnya Allah akan mengutus – untuk umat ini – orang yang memperbarui agama mereka, setiap seratus tahun sekali”, adalah riwayat Abu Dawud, Al-Hakim dan yang lainnya.
Pada lafadz yang lain berbunyi : “setiap seratus tahun sekali, akan mengutus seorang laki-laki dari kalangan ahli baitku”. Riwayat ini berdasarkan penutur-an Imam Ahmad.
As-Suyuthi mengatakan: “Hadits ini masyhur se-kali, berdasarkan riwayat para penghafal hadits yang bisa dipertanggung jawabkan”.
Mujaddid pada abad per-tama adalah Sayyiduna Umar Bin Abd. Aziz,
pada abad ke dua Al-Imam Muhammad Bin Idris Asy-syafi'i,
Pada Abad ketiga Ibnu Suraij atau bisa juga Imam Al-Asy’ari,
Pada Abad ke empat Ash-Sho’luki atau bisa juga Abu Hamid Al-Isfirooini atau bisa juga Al-Qodli Abu Bakr Al-Baqilani.
Pada abad ke lima, Al-Imam Al-Ghozali (de-ngan tanpa ada perselisih-an). Pada abad ke enam, Al-Fakhru Ar-Rozi atau bisa juga Ar-Rofi'i
Pada abad ketujuh, Ibnu Daqiiq Al-'Iid.
Pada abad kedelapan, Al-Bulqini dan Zainuddin Al-'iraqi atau bisa juga Ibnu Binti Al-Milaq

Syaekhuna Ath-Thanba-dawi mengatakan : “bah-wa mujaddid pada seratus tahun ke sembilan (abad ke sembilan) adalah Syeikh Zakariya”.
Sedangkan As-Suyuthi pernah memproklamir-kan diri sebagai mujaddid untuk abad itu juga. Namun demikian, kita tidaklah ragu, insya Allah mujaddid pada abad itu adalah syeikh Zakariya, karena beliau lebih Masy-hur dan lebih banyak di petik manfaatnya.

Aku katakan ; bahwa menurut keterangan yang aku dapatkan dari para masyayeikh , sesungguh-nya mujaddid pada abad ke sepuluh adalah Syeikh Ahmad Ibnu Hajar atau bisa juga Al-Imam Muhammad Ar-Romli.
Kemungkinan kedua ini dikuatkan oleh sebagian ulama. Karena ternyata Ibnu Hajar wafat sebelum habisnya kurun.
Kemudian untuk mujad-did pada abad ke sebelas adalah Sayyiduna Al-Quthb Abdullah Bin Alwi Al-Haddad.

Dan pada abad ke dua belas adalah Ahmad Bin Umar Bin Smith
“Aku berharap semoga Allah berkenan memper-baharui agamanya pada akhir kurun ketiga belas ini dengan salah satu diantara hamba-hamba terpilih dari golongan Muqorrobin”.

Tentang: “Sebelas Madzhab-Madzhab Mu’tabar
Dan bagi seorang muj-tahid diharamkan meng-ikuti pendapat mujtahid lain untuk masalah-masalah yang mungkin bisa diijtihadi.
Akan tetapi “mujtahid-mustaqiil” , yang benar-benar memenuhi syarat-syarat yang telah ditetap-kan “Ashaab” pada per-mulaan bab Qodlo’ be-lum pernah ditemukan semenjak 600 tahun yang silam.
Madzhab-madzhab yang bisa diikuti, sebenarnya tidak terbatas empat saja. Perlu dimengerti, se-sungguhnya para muj-tahid itu tak terhitung jumlahnya, yakni Se-menjak kurun sahabat, tabi’in dan kurun-kurun berikutnya. Pada masa-masa silam ditemukan sekitar 11 madzhab berpengaruh. Dan kitab-kitabnyapun juga sempat terkodifikasikan.
Yaitu : madzhab empat yang masyhur, madzhab Sufyan Ats-tsauri, madzhab Sufyan bin Uyainah, Madzhab Al-Laits bin Sa’d, madzhab Ishaq bin Rohaweh, madzhab Ibnu Jarir, madzhab Dawud dan madzhab Al-Auza’i.
Mereka itu punya banyak sekali pengikut yang selalu berpegang pada fatwa-fatwa dan hukum para imam mereka.

Tentang : Diperbolehkan Mengikuti Pendapat Diluar Madzhab Empat
Boleh-boleh saja meng-ikuti madzhab lain untuk masalah-masalah terten-tu. Baik taqlid tersebut kepada salah satu dari madzhab empat atau madzhab-madzhab lain asalkan madzhab ter-sebut betul-betul terjaga kemurniannya dan telah di bukukan. Demikian ini, agar bisa diketahui syarat-syarat dan hal-hal penting yang berkait de-ngan madzhab tersebut.
Dengan demikian ijma’ ulama yang sering kali disampaikan, mengenai tidak diperbolehkan taq-lid kepada para sahabat, lebih tepat jika diarah-kan untuk pendapat-pendapat yang pencetus-nya tidak diketahui se-cara pasti atau diketahui namun syarat-syarat yang berkait dengan madzhab tersebut belum bisa diketahuinya.

Fatwa As-Sayyid 'Alwy bin Ahmad As-Segaaf, Tentang : Diperbolehkan Mengutip Dari Kitab-Kitab Terpercaya, Meskipun Tidak Muttashil Sanadnya

Sub bahasan ke empat : mengenai apa yang di lakukan banyak orang, yaitu mengutip keterangan yang terdapat didalam kitab-kitab, kemudian di nisbatkan kepada para penulisnya.
Ibnu Sholah mengatakan : “jika naskah kitab tersebut bisa dipercaya, maka pengutip tersebut boleh mengatakan “fulan ber-pendapat demikian …..” dan jika naskah tersebut meragukan, jangan sekali-sekali menggunakan kata-kata yang mengandung kepastian”.
Az-Zarkasyi mengatakan : “Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfiroini menyatakan ada-nya ijma’ mengenai diper-bolehkan mengutip pen-dapat-pendapat yang di tulis didalam kitab-kitab terpercaya dan tidak di syaratkan muttashilnya sanad kepada si penga-rangnya”.
Adapun mengenai ber-pegang pada kitab-kitab fiqh yang terjamin ke-absahannya dan juga ter-percaya, ulama pada periode ini telah sepakat tentang diperbolehkannya. Karena kitab-kitab itu te-lah mendatangkan keper-cayaan, sebagaimana yang dihasilkan dari sebuah periwayatan !.

Fatwa Asy-Sya’roni Tentang : “Qoul Yang Berat Untuk Mereka Yang Kuat, Dan Qoul Yang Ringan Untuk Mereka Yang Lemah”
Sebagaimana tidak di perbolehkan mencela perbedaan diantara sya-reat-syareat yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperboleh kan mencela pendapat-pen-dapat yang dicetuskan pa ra imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun istihsan.
Saudaraku !!! lebih jelasnya engkau perlu mengerti, bahwa syareat itu dilihat dari perintah dan larangannya dikem-balikan pada dua kate-gori yaitu : ringan dan berat. Lebih jelasnya tentang hal itu akan dicantumkan pada Al-Mizan.
Dengan demikian, orang-orang mukallaf itu dipandang dari segi keimanan dan fisiknya, dalam setiap zamannya, tidak lepas dari dua kategori, yaitu :
1.orang yang lemah
2.orang yang kuat
Barang siapa tergolong kuat, maka ia mendapat-kan khitob berupa Qoul yang berat. Dan barang siapa tergolong lemah, maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang ringan.

Fatwa Izzuddin Bin Abd. Salam,
Tentang : “Diperbolehkan Berpegang Pada Qoul Qodim, meskipun Telah Dicabut Oleh Imamnya”
Aku melihat keterangan pada kitab “Al-'Aqdu Al-Farid fi Ahkam At-Taqlid”, sebuah kitab karya As-Samhudi – semoga Allah memberi-kan manfaat -, keterangan tersebut adalah sebagai berikut : “Ibnu Qosim Al-Bardali mengutip sebuah fatwa dari gurunya yaitu ; Ibnu Arafah, dan guru-nya itu meriwayatkan dengan sanad shohih dari syeikh Abu Muhammad Abd. Hamid bin Abi Ad-Dunya yang terkenal shaleh, alim fiqh dan ushul, menjadi guru, mufti dan sekaligus Qodli yang cukup terkenal di negeri Tunisia. – )Ibnu Arafah mengatakan : “ Abu Muhammad itu salah satu diantara gurunya guru-guruku”(. Bahwasa-nya Abu Muhammad ini suatu ketika bertanya kepada seorang alim bernama Izzuddin Bin Abd. Salam, tentang : “apakah diperbolehkan berpegang pada “pen-dapat pertama”, yang telah dicabut oleh imam yang diikutinya?”. beliau menjawab : “demikian itu diperbolehkan”.
Nampaknya Ibnu Abd. Salam mempunyai pan-dangan bahwa; penca-butan pada pendapat pertama tak lebih karena menganggap lebih kuat pada pendapat kedua. Sedangkan keberadaan pendapat pertama yang tidak lagi kuat (marjuh), bukan berarti tidak boleh diikuti, karena pencabut-an tersebut tidak ber-maksud menafikan pada pendapat terdahulu.

Tentang Diperbolehkan Talfiq, Menurut Malikiyyah
Syarat Taqlid yang kelima adalah tidak adanya Talfiq. Dengan gambaran sese-orang tidak menggabung-kan dua pendapat dalam satu Qodliyyah yang me-munculkan bentuk “ibadah atau mu’amalah” yang ke-beradaannya tidak diakui oleh masing-masing dari pemilik pendapat tersebut. Baik penggabungan tersebut pada waktu permulaan maupun untuk seterusnya. Persyaratan tidak terjadinya Talfiq adalah pendapat Mu’tamad dari kalangan kita (Syafi’iyyah), Hanafi-yah dan Hanaabilah.
Sedangkan kalangan Malikiyyah berpendapat : “diperbolehkan Talfiq, na-mun hanya terbatas pada masalah-masalah ibadah saja”.

Tentang : “Diperbolehkan Talfiq Menurut Al-Kamal Ibnu Al-Hamam
Macam keenam dari taqlid adalah taqlid yang bisa memunculkan “rangkaian bentuk ibadah atau muamalah” yang keberada-annya sama sekali tidak diakui menurut kesepakatan ulama’. Maka taqlid yang seperti ini tidak diperboleh-kan.
Contoh : seorang pengikut madzhab Syafi’i mengikuti imam Malik dalam masalah sucinya anjing. Sementara itu ia hanya mengusap sebagian kepala saja ketika berwudlu(mengikuti madzhab Syafi’i). Demikian ini tidak diperbolehkan. Karena sholatnya orang tersebut tidak sah menurut pandangan Imam Malik (sebab tidak mengusap seluruh kepala). Dan juga menurut pandangan Imam Syafi’i (sebab anjing itu termasuk najis Mughola-dhoh).
Adapun pendapat Al-Kamaal Bin Al-Hamaam; yang memperbolehkan ke-adaan diatas (talfiq) me-rupakan pendapat yang lemah meskipun ia mema-parkan berbagai macam dalil.

Pendapat Alwi Bin Ahmad As-Segaf,
Tentang : “Diperbolehkan Mengamalkan Qoul Dloif Dan Memberitahukannya Kepada Orang Lain”
Syeikh Al-Habib Alwi bin Ahmad As-Segaf, didalam kitab Al-Fawaid Al-Makiyyah mengatakan : “begitu juga diperbolehkan mengambil Qoul-qoul, riwayat-riwayat dan wajah-wajah dloif dan mengamalkannya untuk diri sendiri. Hanya saja untuk “muqobil ash-shohih” tidak boleh diamalkan, karena pada umumnya merupakan pen-dapat yang “Fasid”.
Demikian juga diperboleh-kan “menfatwakannya” kepa-da orang lain, dalam arti memberikan petunjuk kepada orang lain dengan berpegang pada Qoul Dloif tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
~@~Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda~@~Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja~@~Seseorang yang oprimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan~@~Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna~@~Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain~@~Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah~@~Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda~@~Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan~@~Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas~@~Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun~@~Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri~@~Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan lebih cermat~@~