Seperti fenomena yg masih
berkembang sampai saat ini,
banyak yg menilai ilmu tasawuf
adalah ajaran sesat, bid'ah dan
membahayakan. Penilaian seperti ini
terlalu gegabah dan tdk bijaksana.
Penilaian yg mengakibatkan ajaran
Islam menjadi amat dangkal,
karena nilai spiritual yg
seharusnya diajarkan telah hilang,
yaitu nilai psikologi keihsanan kpd
Allah dlm setiap peribadatan, yg
mestinya paling dianggap
menentukan dlm kaitan diterima
atau ditolaknya perilaku keagamaan
seseorang.
Ada baiknya merenungkan ungkapan
bijak seorang sufi yg shalih
menanggapi pernyataan orang yg
mengaggap dirinya Tuhan dg doa
dlm bentuk dialektis:
Oh Allah, kau telah mengirim Musa
dan Harun ke Fir'aun si
pemberontak dan berkata,
"berbicaralah baik2 dengannya", Oh
Allah, inilah kebaikan hatiMu
terhadap orang yg mengaggap
dirinya Tuhan; bagaimana pula
gerangan kebaikan hatiMu
terhadap orang yg menjadi abdiMu
sepenuh jiwanya? Oh Allah, aku
takut kepadaMu karena aku budak,
dan aku berharap padaMu karenaj
kaulah Tuan!.... Oh Allah, bagaimana
pula aku tdk takut padaMu karena
Kau Maha Kuasa? Oh Allah,
bagaimana aku datang kepadaMu
karena aku budak yg
memberontak, dan bagaimana aku
tdk datang kepadaMu karena Kau
Penguasa yg pemurah?.
Jadi, jelaslah bahwa tdk ada alasan
ilmiah apapun untuk menyatakan
ajaran tasawuf sebagai jalan
bid'ah atau sesat. Penilaian ini jelas
merupakan kesalahan besar yg tdk
bisa dimaafkan selain karena
kejahiliahan mereka yg tdk
dianugerahi kemampuan untuk
memahami jalan ini.
Tasawuf memang mempunyai
filsafat yg begitu mendalam
mengenai spiritualitas dan segi2
religiusitas keberagamaan, sehingga
healthy-spirituality bisa diperoleh
dari tasawuf positif ini, di tengah
ancaman "keberagamaan yg sakit"
yg muncul karena otoritarianisme
dlm beragama. Tasawuf
menjanjikan penyelamatan. Apalagi
di tengah berbagai krisis kehidupan
yg serba materialis, hedonis,
sekular, plus kehidupan yg kian
sulit secara ekonomis maupun
psikologis itu, tasawuf memberikan
obat penawar ruhani yg memberi
daya tahan. Dalam wacana
kontemporer, sering dibahas
tasawuf sebagai obat mengatasi
krisis keruhanian manusia modern
yg telah lepas dari pusat dirinya,
sehingga ia tdk mengenal lagi siapa
dirinya, arti dan tujuan dari
kehidupan di dunia ini.
Ketidakjelasan atas makna dan
tujuan hidup ini memang sangat
tdk mengenakkan dan membuat
kegelisahan dan penderitaan batin.
Maka mata air tasawuf yg sejuk
memberikan penyegaran dan
penyelamatan pada manusia2 yg
terasing itu.
Mewujudkan cita2 ini, bukanlah hal
yg berlebihan. Apalagi dewasa ini
tampak perkembangan yg
menyeluruh dlm ilmu tasawuf dlm
hubungan interdisipliner. Beberapa
contoh bisa disebut di sini, seperti
pertemuan tasawuf dg fisika, dan
sains modern yg holistik, yg
membawa kpd kesadaran arti
kehadiran manusia dan tugas2
utamanya di muka bumi, seperti
yg kini disebut The Anthropic
Principle sebagai pertemuan
tasawuf dg ekologi yg
menyadarkan mengenai pentingnya
kesinambungan alam ini dg
keanekaragaman hayatinya,
didasarkan pada paham kesucian
alam; perjumpaan tasawuf dg
penyembuhan alternatif yg
memberikan kesadaran bahwa
masalah kesehatan bukan hanya
bersifat fisikal, tetapi lebih2
ruhani, maka di sini tasawuf
memberikan visi keruhanian untuk
medis; perjumpaan tasawuf dg
psikologi baru yg menekankan segi
transpersonal; dan lain2 dari
perjumpaan tasawuf dg
interdisipliner yg intinya sama,
semua menyumbang kesadaran
bahwa arti tasawuf dewasa ini
bukan hanya pada keshalihan
formal, tetapi justru terutama
etika global. Untuk itu, tasawuf
memang perlu wujud dlm cara dan
gaya hidup modern. Cara hidup
tasawuf bukan terutama benar
dari formalnya, tetapi bagaimana
nilai2 tasawuf itu menjadi way of
life.
Islam di Indonesia telah
berkembang sedemikian rupa
sehingga kini tampak sangat
formalis dalam beragama, seolah
tdk ada lagi segi religiusitasnya.
Bentuk2 keshalihan formal dan
keshalihan individual begitu
menonjol. Keberagamaan sangat
semarak, rumah ibadah
berkembang pesat di mana2,
jumlah orang naik haji meningkat,
tetapi dari segi substansial,
sebagai bangsa, keberagamaan
rupanya belum mencerminkan nilai2
hakiki Islam lebih2 merefleksikan
esensi ihsan. Apa yg disebut
egalitarianisme, keadilan, kesadaran
humanitarian, hormat kepada
hukum dan hak2 asasi manusia,
kesadaran lingkungan, kebersihan,
penghargaan terhadap orang yg
lemah, sikap inklusif dan pluralis
dan seterusnya, yg jelas
merupakan nilai2 dasar agama,
ternyata nilai religiusitasnya nyaris
tdk tercermin dlm kehidupan
masyarakat. Kiranya, sangat tepat
jika saatnya penghayatan sufisme
kembali ditanamkan dlm kalbu
kehidupan masyarakat modern
untuk merubah keshalihan formal
kpd keshalihan sufistik.
Sumber: Dimensi Doktrinal (studi
metodologi dinamika fenomenal)
Mungkin inilah hasil yang saya peroleh dari uték-uték hp, kiranya sangat sederhana bagi anda,tapi bagi saya, sangatlah melegakan. . . .
Tujuan kami, tidak lain hanyalah untuk saling berbagi, krena hidup terasa indah dengan berbagi..
Thanks telah mampir !
dari kami selamat membaca
Laman
Kamis, 18 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!