Nasionalisme dan
Ideologi Islam
Nasionalisme dan Ideologi Islam
oleh : Syamsudin Kadir
Akar nasionalisme
"Kami hanya mengikuti warisan
nenek moyang kami!" demikian
celoteh bangga umat Nabi Shaleh.
"Bangsa Aryan adalah pilihan para
dewa", teriak Shah Iran.
"Kehadiran negara Jerman raya
adalah kemestian sejarah, sebab
hanya bangsa ini saja yang layak
memimpin dunia!" Demikian Hitler
berslogan dalam Mein Kampf.
Cukup idiomatik. Persis sesamanya -
di mana semua ucapan di atas
adalah bersumber dari rasa
kebanggaan primordialisme bangsa
dan ras yang akhirnya membawa
kepada legitimasi, dominasi dan
kuasa mutlak bangsa ke atas
suatu bangsa lain.
Puncaknya, karena kesukaran
mereka untuk melepaskan diri dari
tradisi leluhur. Buat mereka, inilah
nasionalisme tulen dan inilah juga
patriotisme yang tuntas.
Sebaliknya hakikat yang bersemi,
menunjukkan nasionalisme
mempunyai penafsiran yang
berbeda, malah lebih organik
sifatnya. Malah, dalam
mendefinasikan nasionalisme, kita
seharusnya tidak terperangkap
dengan istilah patriotik, karena
makna patriotik hanya terbatas
dalam manifestasi diri terhadap
negara melalui sebarang perlakuan,
pengungkapan, penulisan dan
ekspresi diri.
Manakala nasionalisme pula
dimaknai sebagai emosi individu
atau publik di atas satu landasan
persaudaraan terotikal, historikal,
bahasa dan cita-cita unggul di
atas prinsip moral dan politik demi
membela kepentingan negara-
bangsanya. Daripada dua gambaran
perbedaan inilah, nyata sekali
antara nasionalisme dan
patriotisme adalah pemikiran yang
membawa kefahaman yang
berlainan, namun tidak di dapat
dinafikan ia mungkin ada beberapa
titik persamaan.
Di dalam dunia hari ini, apabila kita
merujuk kepada kelahiran sebuah
negara melalui pengobaran
semangat nasionalisme, ia adalah
berkait rapat dengan kelangsungan
lima teori utama dalam proses
pembinaan sebuah negara. Ini
termasuklah, teori semulajadi
(natural theory), teori ketuhanan
(divine theory), ketuanan raja
(divide right of king), kontrak
sosial (social contract) dan teori
kekerasan (hardliner theory).
Kelima-lima kategori ini secara
tidak langsungnya telah membantu
kita untuk mengklasifikasikan
corak pemerintahan sebuah negara-
bangsa yang ada. justru, dalam
rangka kita untuk menjejak akar
nasionalisme, seharusnya kita
menghimbau kembali intipati era
renaissance, karena di sana ada
beberapa faktor rinci yang telah
mencetus dan merangsang ideologi
nasionalisme dalam bangsa Eropa
serta dunia secara amnya.
Pertama, jatuhnya hukuman
pembakaran hidup-hidup ke atas
Rektor Universiti Praha (Prague),
John Hus di Konstanz ( Konstaz
adalah satu daerah di perbatasan
antara Switzeland dan Jerman).
Kedua, tercetusnya perperangan
Hussenitz di Bohemia dan Moravia
sehingga membangkitkan semangat
nasionalisme di kalangan rakyat
Czech. Perlu diketahui, perperangan
Hussenitz ini tercetus ekoran
reaksi amarah rakyat Czech
terhadap pembunuhan John Hus.
Ketiga, kelahiran gerakan
reformasi pimpinan Martin Luther
yang lantang mengkritik
kebobrokan institusi gereja Katolik.
Dan kelima, terdapatnya
terjemahan kitab Bible dalam
bahasa Jerman sehingga ia
menerbitkan rasa keunggulan
bangsa Aryan di dalam rakyat
Jerman.
Maka daripada kelima-lima faktor
ini, maka dapatlah kita rumuskan
bahwa nasionalisme adalah ideologi
yang bermuara di Eropa ketika
era renaissance di mana salah
satu objektifnya asalnya adalah
untuk menanamkan kesadaran
nasional di kalangan rakyatnya
yang telah sekian lama ditindas
dan dizalimi. Rousseau, salah
seorang pemikir revolusi Perancis
contohnya, ketika berbicara
mengenai kedaulatan rakyat,
seringkali beliau menekankan
pentingnya penyuburan ideologi
nasionalisme karena baginya, inilah
ideologi yang menjadi sumber
kebangkitan masyarakat. dampak
daripada seruan demi seruan oleh
Rousseau dan juga Voltaire, ideologi
nasionalisme akhirnya berhasil
menjelmakan revolusi Perancis dan
seterusnya membuka era
pencerahan (englightment) di
seluruh benua Eropa. justru itu,
nasionalisme yang pada peringkat
permulaan seruannya adalah di
asaskan dari hasrat murni ke
arah mencapai; Liberte
(kebebasan), Equalite (persamaan)
dan Fraternite (solidaritas)!
Sementara itu dalam sejarah
Islam, ideologi nasionalisme mula
menyerap masuk ke dalam
pemikiran ummah ketika
penghujung era kekuasaan Ottoman
yang ketika itu di bawah
kepimpinan Sultan Abdul Hamid II di
Turki. Ketika ini, kekuasaan
Ottoman sedang menghadapi krisis
dalaman yang kronik di serata
tanah naungannya (Hamid Enayat
2001: 171). Dalam keadaan inilah,
negara Barat (seperti Britain dan
Perancis) telah bijak mengambil
kesempatan dengan menggalakkan
pembentukan pergerakan-
pergerakan yang berunsurkan
nasionalisme di samping coba untuk
membudayakan sistem kepartaian
di tanah air muslim. Selain
bertujuan untuk memusnahkan
kekuasaan terakhir dalam sejarah
Islam itu, tindakan Barat ini juga
bertujuan untuk memisahkan-misah
tanah air Islam kepada sekte-
sekte bangsa yang tertentu.
walhasil, daripada kuatnya
pengaruh ideologi nasionalisme yang
disemarakkan oleh Barat ini, maka
lahirlah pergerakan yang dinamakan
seperti al-Fatat (pertubuhan
untuk membahagikan negara-
negara di bawah naungan
kekuasaan Ottoman) dan al-Ahd
(pergerakan nasionalis Arab). Kita
sebenarnya tidak perlu melihat
jauh untuk membuktikan hidden
agenda Barat dalam
menyebarluaskan ideologi
nasionalisme di kalangan tanah air
muslim. Satu contoh yang terkenal
dalam sejarah Islam dan Arab
adalah; bagaimana British telah
membantu secara ekonomi dan
politik terhadap perjuangan Syarif
Husain di Hijaz supaya mereka
bangkit memberontak terhadap
kekuasaan Ottoman yang berpusat
di Turki. Dalilnya cukup mudah;
masyarakat Arab telah sekian
lama di zalimi oleh kekuasaan
Ottoman dan kini tibalah detik
perjuangan pembebasan mereka.
Maka, bertitik tolak dari gambaran
inilah, terbukti bahwa niat murni
di awal kelahiran ideologi
nasionalisme di negara-negara
Eropa, akhirnya ia telah
disalahgunakan di dunia Islam -
semata-mata untuk memisahkan
tanah air muslim kepada etnik-
etnik induk seperti; Arab, Turki,
Parsi dan Kurd. Antara
nasionalisme Barat dengan Timur
Apa perbedaannya, antara Jose
Rizal dengan Adolf Hitler? Atau,
antara Umar Mukhtar dengan
Mossoulini? Juga, antara Bhagat
Singh dengan Winston Churcill?
Walhal kedua-duanya adalah
berjiwa nasionalis sejati pada
kacamata rakyatnya! justru, dalam
meleraikan persoalan di atas, kita
boleh menyoroti sejauh mana
tokoh-tokoh ini memaknai
nasionalisme menurut mazhab
kebenaran, kebebasan dan keadilan.
Hitler, Mossoulini dan Churcill
merupakan karekter kelahiran
Barat yang berjiwa nasionalis
dalam versi; menaklukkan dan
memperluas tanah jahahannya.
Sebaliknya Rizal, Mukhtar dan
Bhagat pula adalah nasionalis Asia
yang berjuang demi untuk
membebaskan tanah airnya
daripada cengkaman para
imperialis. Mereka-mereka ini
bernuasa dari dua aliran pemikiran
yang berbeda dan dari dua benua
yang berbeda. Masing-masing
adalah oposisi sesamanya. Jadi,
antara mereka, inilah asas ketara
perbedaan nasionalisme Barat
dengan Timur.
Beda pada pemaknaannya.
Kedatangan Barat ke Timur telah
memprofil nasionalisme ke dalam
beberapa ciri. Di antara dua ciri
utamanya adalah; imperialisme dan
koloniolisme. Dan, terdapat tiga
tujuan imperialisme menurut
rencanaan Barat yaitu; misi
menyebar ideologi, kebudayaan dan
agama, mengeksplotasi sumber
ekonomi Timur dan merebut
kekuasaan ke sesuatu wilayah.
Manakala kolonialisme pula
membawa maksud yang lebih
komprehensif di mana ia
merupakan satu kekuatan
menyeluruh; ekonomi, politik, sosial
sebuah bangsa untuk menakluki
bangsa yang lain di tanah airnya
sendiri. Sebenarnya, sikap hagemoni
Barat ini memang tidak perlu kita
herankan. Mengapa? karena Barat
ketika itu merasakan geografi
negaranya kecil dan lantaran itu,
mereka telah membuat keputusan
untuk menjelajah dan mencari
tapak-tapak baru di berbagai
belahan dunia terutama di Timur
bagi memperluas geografi
kekuasaannya (Hashemi Rafsanjani
2001: 71). karena dorongan inilah,
maka negara-negara Barat yang
kecil seperti Portugal, Sepanyol
dan Belanda mampu untuk
menaklukkan negara-negara di Asia
Pasifik yang luas semata-mata
untuk menyempurnakan agenda
imperialisme; keagungan misi
kebangsaan, memanipulasi
kemakmuran ekonomi Timur dan
mendominasi sebuah wilayah
sebagai tanah jajahannya. Ironinya,
tatkala era kolonialisme
sepatutnya telah berakhir, dunia
kini masih meneruskan rentetan
kolonialisme dengan kemunculan neo-
kolonialisme yang membawa misi
penjajahan baru terhadap negara
miskin dan negara membangun.
Pengamalan neo-kolonialisme oleh
Barat ini tidak lain dan tidak
bukan, merupakan nestapa baru
bagi umat manusia yang konon di
katakan telah bertamadun.
Benarlah apa yang dirintihkan oleh
Chairil Anwar, pujangga nasionalis
Indonesia sekali berarti, sesudah
itu mati (Khalid Jaafar 2003: 132).
Manakala dalam membicarakan
mengenai perjuangan nasionalisme
di Timur ia lebih menjurus kepada
perjuangan rakyat untuk
membebaskan tanah airnya dari
cengkaman penjajah. Bangsa-bangsa
di Timur telah melahirkan satu
sikap penentangan dan anti-
penjajahan Barat. Mungkin tidak
dapat di nafikan dalam satu aspek
yang berbeda, antara sumbangan
besar imperialisme Barat adalah,
mereka melahirkan pahlawan-
pahlawan Asia seperti; Jose Rizal,
Umar Mukhtar, Daud Berueh,
Bhagat Singh, Mahatma Gandhi dan
Ahmad Boestamam.
Namun begitu, di balik kecaman
keras kita terhadap Barat
angkara penindasannya yang
dilakukannya, sebenarnya terdapat
juga tindakan mirip Barat dari
kalangan negara-negara Asia
sendiri. Jepang misalnya, telah
menaklukkan hampir satupertiga
negara-negara Asia semasa Perang
Dunia Kedua sebelum ia ditundukkan
oleh Amerika Syarikat selepas
gugurnya bom Atom di Hiroshima
dan Nagasaki. Sama seperti Barat,
keinginan dan rencana Jepang
ketika itu adalah terbit daripada
fanatik nasionalismenya yang cukup
tinggi untuk menaklukkan seluruh
Asia. Di samping itu, bagi tentera
dan rakyat Jepang, ketaatan
kepada maharaja dan
pemerintahnya adalah kemuncak
pengabdian seorang rakyat
terhadap pemerintah serta
lambang kesempurnaan
nasionalismenya.
Begitu juga dengan China. Mao
Zedong, pemimpin revolusi rakyat
China, adalah pemimpin yang coba
untuk merealisasikan ketetapan
dasar luar - satu china. Implikasi
dari dasar ini, maka negara teologi
Tibet yang dipimpin oleh Dalai Lama
telah diserang dan ditakluk oleh
China meskipun kedua-dua negara
tersebut berbeda perjalanan
sejarahnya.
Dalai Lama pemimpin agung Buddha
Tibet secara monarkinya telah
sekian lama memimpin masyarakat
Tibet dengan penuh keharmonian
dan keamanan. Kendatipun begitu,
dengan kehadiran tentera rakyat
China, Tibet telah menjadi medan
pertempuran yang tidak
berkesudahan hingga kini! Jadi, di
sebalik kezaliman Barat yang jelas
terpapar, sebenarnya turut
terselit segelintir bangsa Asia
yang menganut fahaman
nasionalisme menurut versi Barat.
Kesantunan Asia yang di kagumi
oleh masyarakat dunia akhirnya
tercemar dek keangkuhan dan
kebanggaan yang ekstrim terhadap
status bangsanya.
Nasionalisme dalam perspektif Al-
Banna, Khomeini, An-Nadawi Imam
Hassan Al-Banna, adalah pengasas
pergerakan Ikhwanul Muslimin.
Beliau pernah merasakan hidup
derita di bawah penjajahan Barat.
Maka bertitik tolak kondisi
demikian, wujud semacam perasaan
revolusioner dalam dirinya untuk
membebaskan Mesir dari belenggu
penjajahan British. Lantas, melalui
Ikhwanul Muslimin, beliau
menyemarakkan semangat
nasionalisme di kalangan rakyat
Mesir untuk bangkit mencantas
kolonialisme British melalui usaha
diplomatik dan berbagai siri
demostrasi di atas berbagai isu
seperti; konflik Palestin-Israel,
eksploitasi terusan Suez dan
pengaruh budaya Barat yang kian
menular di sekitar Kaherah.
Alternatif dari moqawama
(penentangan) Al-Banna adalah
bertujuan untuk menegakkan
negara Islam dengan tiga teras
kenegaraannya; tanggungjawab
pemerintah melindungi kepentingan
rakyat, wehdatul ummah dalam
ikatan keagamaan dan
penghormatan hak rakyat oleh
pemerintah. Inilah tiga tawaran Al-
Banna dan Ikhwanul Muslimin
kepada rakyat Mesir bagi
mengantikan sistem penjajah yang
diamalkan oleh monarki Mesir pada
ketika itu (Siddiq Fadhil 1999: 14). Di
sepanjang liku kehidupannya, Al-
Banna telah memperlihatkan
kematangan dan kebijaksaan
sebagai seorang pemimpin besar.
Beliau adalah pemimpin yang
dilahirkan untuk ummah (born for
Ummah). Di waktu memuncaknya
ideologi nasionalisme di Mesir, Al-
Banna dengan pintar telah
mengadunkan ideologi tersebut
dengan Islam. Tanpa menolak
nasionalisme secara total, Al-Banna
menampilkan corak nasionalisme
yang berorientasikan kepada
kebanggaan terhadap prestasi
cemerlang generasi silam, dengan
hasrat untuk meneladani kejayaan
terdahulu. Pemaknaan nasionalisme
demikian dinamakannya sebagai
Qawmiyyat al-Majd (nasionalisme
keagungan). Manakala, Al-Banna
menolak pemikiran nasionalisme
dalam arti kata yang mendukung
pemugaran budaya pra-Islam
sebagaimana langkah kaum
nasionalis sekular di Turki yang
telah menghapuskan segala simbol
dan identiti yang bersifat
keislaman pasca kejatuhan
kekuasaan Ottoman. Inilah
nasionalisme yang diistilahkan oleh
beliau sebagai Qawmiyyat al-
Jahiliyyah (nasionalisme al-
jahiliyyah) yang sewajarnya
dihindari oleh setiap muslim (Siddiq
Fadhil 1999: 15).
Dalam pemikiran Ruhollah Khomeini,
pendiri Republik Islam Iran,
nasionalisme telah diketengahkan
oleh beliau dalam metode yang
logikal dan islamik. Beliau
menyifatkan kecintaan terhadap
watan (tanah air) serta
mempertahankan keutuhan negara
adalah sesuatu perkara yang boleh
diterima (Kalim Siddiqui, 1985: 21).
Namun, bagi beliau nasionalisme
yang mendorong kepada
permusuhan antara negara-negara
Islam adalah perkara yang berbeda
perspektifnya (mungkin ucapan
beliau ketika ini merujuk kepada
tercetusnya perperangan Iran -
Iraq yang digelarnya sebagai
perperangan yang di paksakan dan
perperangan yang diplot oleh Barat
untuk memusnahkan revolusi Islam
Iran). Di samping itu, Khomeini
dalam merumuskan penolakan
terhadap versi nasionalisme Barat,
menyifatkan nasionalisme seupama
ini boleh mengundang permusuhan
antara masyarakat Islam serta
mengugat perpaduan ummah. Selain
daripada itu, nasionalisme seperti
ini jelas bercanggah dengan ajaran
Islam serta aspirasi ummah itu
sendiri. Umat Islam pada anggapan
beliau, mampu untuk berdiri sendiri
tanpa bergantung dengan mana-
mana kekuatan maupun mana-
mana ideologi (Kalim Siddiqui 1985:
22). Antara bukti ketegasan dan
keyakinan Khomeini adalah melalui
pelaksanaan polisi luar Tehran
yaitu; la syarqiah, la gharbiyah,
jumhuriyyah Islamiyyah (tidak
Timur, tidak Barat, tetapi revolusi
Islam).
Manakala, dimensi pemikiran Sayyid
Abul Hasan Ali An-Nadawi mengenai
nasionalisme lebih radikal namun
masih tetap menarik untuk
ditelusuri. Dalam adikaryanya
Maadza khasiral aalam, Binhithatil
muslimin (derita dunia bila Islam
mundur), beliau telah membentang
secara panjang lebar mengenai
bahaya ideologi nasionalisme.
Menurut An-Nadawi,
berkembangnya fanatik
nasionalisme di Eropa adalah
dipengaruhi oleh pembagian dua
belahan dunia; Barat dan bukan
Barat. Jadi, dengan memisahkan
dunia kepada dua belahan, maka ia
telah mewujudkan dua kelas
manusia; kelas mulia dan kelas
hina, kelas tinggi dan kelas
bawahan. Tanggap An-Nadawi lagi,
corak pemikiran ini merupakan
lanjutan daripada pemikiran yang
dianuti oleh kaum Yahudi yang
mana mereka melabelkan manusia
selain bangsanya sebagai goyim.
Waima, apa yang dikesalkan oleh An-
Nadawi adalah sikap fanatik
nasionalisme ini akhirnya telah
berhasil menyerap masuk ke dalam
pemikiran umat Islam. Pada An-
Nadawi, pudarnya penghayatan
Islam di kalangan negara-negara
Islam merupakan faktor utama
yang mendorong penularan
fenomena ini. Bahkan tambah An-
Nadawi lagi, negara-negara Islam
ini tampaknya lebih terpesona
dengan idea nasionalisme menurut
versi Barat yang konon didakwa
mampu memodenkan sebuah
negara (Abul Hasan An-Nadawy 1986
: 202).. An-Nadawi tidak
meninggalkan kenyataan ini tanpa
pembuktian. Beliau membawa
contoh mengenai kebangkitan
golongan Turki Muda yang telah
bersengkokol dengan Mustafa
Kamal Attaturk untuk
mengulingkan kekuasaan Ottoman
(Abul Hasan An-Nadawy 1986:199).
Golongan Turki Muda inilah yang
menjaja ideologi nasionalisme bagi
mengantikan gagasan pan-
Islamisme. Mengenang peristiwa
inilah, An-Nadawi memperingatkan
kita dengan memetik rakaman al-
Quran dalam surah al-Hasyr: 16
yang bermaksud; pujukan orang-
orang munafik itu adalah seperti
pujukan syaithan, ketika dia
berkata kepada manusia: kafirlah
kamu, maka tatkala manusia itu
telah kafir ia berkata:
sesungguhnya aku berlepas diri
dari kamu.
Keseluruhan pemikiran An-Nadawi
tentang nasionalisme ini seolah-
olah mengajak kita untuk menolak
nasionalisme secara total dengan
menawarkan Islam sebagai jalan
penyelesaian mutlak - dalam
sebarang pemasalahan manusia.
Pada beliau, nasionalisme tidak lebih
sebagai propaganda ciptaan Barat
untuk melambatkan kebangkitan
Islam yang telah dijanjikan.
Dikotomi Islam - nasionalisme
dalam pemikiran Dr. Burhanuddin al-
Helmy Dr. Burhanuddin Al-Helmy
adalah sosok yang paling layak
untuk di amati, andainya kita
memperkatakan mengenai dikotomi
Islam dan nasionalisme.
Pemikiran politik beliau sentiasa
menekankan tiga aspek terpenting
dalam perjuangan beliau yaitu;
kemerdekaan, kebangsaan Melayu
dan Islam (Kamarudin Jaafar 2000:
9). Hujah yang beliau kemukakan
sebagai sandaran adalah; kasihkan
watan itu adalah bagian daripada
iman dari untaian hadist Rasulullah
saw. Dalam rangka untuk
menyoroti lebih mendalam
pemikiran tiga dimensi beliau ini,
hendaklah kita himbau kembali
penegasan yang pernah dibuatnya
dalam tulisan beliau yang bertema
Perjuangan Kita; Iman berdiri di
atas tubuh. Tubuh berdiri di atas
bangsa dan bangsa berdiri di atas
watan. Salah satu daripada yang
empat ini tiada boleh bercerai
tinggal dalam binaannya tetapi
watan jadi pokok. Ada watan
adalah dengan kuat bangsa. Kuat
bangsa keluar dari tubuh diri yang
sihat kuat dan perkasa seperti
pekerja, pahlawan, prajurit dan lain-
lain. Maka dalam jiwa pekerja
pahlawan prajurit itulah
terletaknya iman (Kamarudin
Jaafar 2000: 48).
Apa yang terserlah di sini, Dr.
Burhanuddin coba untuk
menyelesaikan dikotomi antara
Islam dan nasionalisme dengan
mencorakkan perjuangan
nasionalisme sebagai bagian
daripada elemen perjuangan Islam.
Pemikiran progresif Dr. Burhanudin
ini sebenarnya setaraf dengan
pemikiran pemimpin pemimpin
kemerdekaan di Asia pada ketika
itu seperti Mahathma Gandhi,
Sukarno dan Sir Muhammad Iqbal.
Mungkin persamaan ini terbentuk
karena pengaruh pendidikan Dr.
Burhanuddin yang pernah menuntut
di India. Semasa beliau menuntut
di Ismaeliah Medical College dan
Aligarh Muslim University, beliau
berkesempatan untuk mengikuti
dan mendalami doktrin perjuangan
Gandhi, Ali Jinnah dan Jawaharlal
Nehru untuk beliau menyesuaikan
nasionalisme mereka dengan corak
perjuangan di Tanah Melayu,
sekembalinya nanti.
Namun begitu, perlu ditegaskan
disini bahwa perjuangan
kebangsaan Melayu Dr. Burhanuddin
bukanlah berniat untuk
menindakkan hak-hak etnik lain
untuk hidup harmoni di Tanah
Melayu. Sebagai pemimpin yang
bersifat negarawan, beliau tidak
mennampakkan dirinya sebagai
pemimpin cauvinis yang ekstrim
ataupun assabiyyah sebagaimana
yang diwar-warkan oleh musuh
politik beliau. Pendirian beliau ini
ditegaskan dalam tulisannya yang
bertema Falsafah Kebangsaan
Melayu; Kita hendak mendirikan
negara kebangsaan Melayu di atas
dasar kebangsaan, menurut
keadilan dan kemanusiaan yang luas
sama berhak dan adil, bukan
sesekali kebangsaan yang sempit,
jauh sejauh-jauhnya dari berbau
perkauman dan perasaan yang
kolot dan kuno (Kamarudin Jaafar
2000: 110). Dalam sisi Islam pula,
Dr. Burhanuddin melihat
nasionalisme sebagai wasilah (alat)
bukannya ghayah (matlamat).
Menurut beliau, nasionalisme
mengambil posisi selunak yang
mungkin serta menjadi lambang
yang boleh menggembleng segala
kekuatan ummah demi mencapai
cita-cita mulia yang luhur dan
abadi.
Dalam Falsafah Kebangsaan Melayu,
- sesudah memetik surah al-
Hujurat: 13, sambil menafsir ayat
tersebut - beliau merintih, apalah
artinya perkenalan jika tidak
terlebih dahulu terdiri kekuatan
kaum dan bangsa yang hari ini
dikenal dengan kebangsaan itu
dengan suatu kebangsaan yang lain
(Kamarudin Jaafar 2000: 95). Bagi
menjawab berbagai tuduhan dan
tohmahan pemerintah Tanah
Melayu dan pihak penjajah, Dr.
Burhanuddin dalam ucapan beliau
sebagai Yang Dipertua PAS ketika
muktamarnya pada tahun 1957
telah mengungkapkan dengan penuh
bersemangat tentang pendiriannya,
sesungguhnya saya dan pihak
partai Islam tidaklah berbau
komunis dan imperialis, saya dan
PAS adalah berisi, bersifat, berbau
kebangsaan Melayu dengan cita-
cita Islam (Kamarudin Jaafar 2000:
18).
Sejarah menyaksikan, dengan
kenyataan tegas Dr. Burhanuddin
ini, beliau telah membuktikan
bahwa dirinya adalah antara tokoh
yang banyak berjasa demi melihat
Tanah Melayu hidup aman, makmur
dan harmoni sebagaimana yang
diimpikannya. Mudah-mudahan
pengorbanan suci beliau ini, dinilai
secara adil oleh generasi
selepasnya. Dinamika Nasionalisme
dalam era globalisasi Ciri globalisasi
yang instantness telah
menjelmakan satu fenomena baru
yang sangat kompleks. Muktahir
ini, memang tidak dapat dinafikan
bahwa kehadiran globalisasi telah
memberikan dampak besar kepada
ideologi nasionalisme yang meluas
dipraktikkan di kebanyakan negara-
bangsa pasca Perang Dunia ke-II.
Kenichi Ohmae pernah menyatakan
bahwa masa depan negara-bangsa
laksana dinasour yang sedang
menanti kunjungan ajal. Begitu juga
Daniel Bell dalam bukunya The end
of idealogy yang di terbitkan
puluhan tahun sebelum tamatnya
era perang dingin - di mana
zaman ideologi-ideologi bersaing
merebut pengaruh masing-masing -
telah membentangkan
pandangannya bahwa persaingan
ideologi sudah tidak relevan lagi
dengan peredaran zaman
termasuklah juga ideologi
nasionalisme.
Apakah yang mendorong pemikir-
pemikir ulung ini berteori
sedemikian? Tidak lain, karena
wujudnya paradoks antara arus
sejagat dengan ideologi-ideologi,
termasuklah ideologi nasionalisme.
Dalam membahas persoalan rumit
ini, kita perlu menyedari bahwa
posisi nasionalisme dalam arus
globalisi telah dipolarisasi kepada
dua situasi; nasionalisme di negara
maju (baca: Barat) dan
nasionalisme di negara membangun
(baca: negara-bangsa). Sejak dua
dekad lalu, globalisasi telah
membentuk jurang yang tidak adil
atau bias kepada kelompok negara-
bangsa yang kebanyakan terdiri
daripada negara-negara
membangun.
Hal ini terjadi karena negara-
negara maju telah mengeksploitasi
daya kekuatan ekonominya melalui
sistem pengantarbangsaan ekonomi
ke arah merealisasikan misi neo-
kolonialisme mereka. Susulan
daripada eksplotasi inilah yang
menyebabkan pengaruh ideologi
nasionalisme mula terancam
kalangan negara-bangsa. Di samping
itu, wujud juga di kalangan elit
ekonomi dan politik sesetengah
negara-bangsa yang terbuai
dengan retorika globalisasi
cerminan Barat (Abdul Rahman
Embong 2000: 76). Globalisasi kini
telah menghakis emosi nasionalisme.
Dengan pengamalan sistem laissez
faire di kebanyakan negara-bangsa,
kekayaan negara dan kuasa
membeli rakyat menjadi rebutan
Barat. Dewasa ini, persoalan
kekentalan nasionalisme di kalangan
rakyat negara-bangsa mula
diperdebatkan. Masakan tidak!
Rakyat negara-bangsa kini lebih
memuja produk Barat sambil
memperlekehkan produk
nasionalnya. Ya, mungkin salah satu
faktor yang mendiskreditkan
nasionalisme adalah kualitas produk
nasional, dimana produk nasional
jelas gagal bersaing dengan produk
Barat - dalam mayoritas aspek.
Rentetan daripada situasi ini, nilai-
nilai nasionalisme di kalangan
rakyat negara-bangsa secara
tidak langsungnya turut terhakis
sekali. Maka tidak dapat dielakkan
lagi, bahwa nasionalisme mula
dihimpit oleh arus globalisasi.
Jadi, inilah tantangan yang perlu
ditangani oleh nasionalisme. Tidak
mustahil jika fenomena ini makin
rancak dan berkelanjutan, maka
ideologi nasionalisme boleh
terkubur ditelan arus globalisasi
yang diprakarsai oleh Barat.
Bertolak dari kesadaran inilah,
maka perlu tampil satu resolusi
yang tegas dan jelas sebagai
mempertahankan eksistensi negara-
bangsa yaitu; Islam! Jawaban
Islam ! sementara kita membahas
mengenai ideologi nasionalisme
dalam berbagai konteks; Barat dan
Timur, sorotan pemikiran dari
tokoh tersohor dan fungsinya
dalam arus globalisasi, maka ia
menyakinkan kita bahwa ideologi
nasionalisme bukanlah penyelamat
tunggal kepada kemanusiaan dunia.
Bagi Kalim Siddiqui (1985: 1),
nasionalisme tidak lebih sebagai
doktrin politik yang menyerang
umat Islam dalam tempoh 100
tahun terakhir ini.
Jadi, apa jawaban Islam terhadap
nasionalisme? Menolak nasionalisme;
membentuk gerakan Islam di
seluruh dunia! Tegas Siddiqui. Dan,
kini, sudah tiba saatnya, bagi umat
Islam menyakini akan kemampuan
Islam dalam mengurus kehidupan di
samping mengikis rasa hormat
yang tinggi terhadap Barat.
Sungguhpun melangit tinggi
keinginan kita untuk melakukan
tranformasi total ini, namun masih
adalah kriteria yang perlu
dilengkapi sebelum hasrat kita
dapat direalisasikan. Menurut
Siddiqui lagi, dunia Islam dan dunia
seluruhnya memerlukan seorang
pemimpin yang bersifat inklusif,
global dan berwibawa.
Hanya dengan lengkapnya syarat ini
saja untuk membolehkan dunia
menjadi satu negara-bangsa saja
(Kalim Siddiqui 1985: 16). Manakala
Mohamad Abu Bakar (2000: 14)
melihat orde Islam sebagai
alternatif. Dengan melihat
keutuhan negara-bangsa sebagai
unit teras dan terpenting dalam
pentas politik dunia, maka menurut
beliau, sebarang perubahan drastik
dan dramatis hanya boleh berlaku
sekiranya pengglobalan nilai-nilai
Islam yang memungkinkan orde
Islam yang memerintah negara-
bangsa dan dunia sekaligus.
Pada beliau, inilah keadaan final
sebagaimana yang dimaksudkan
oleh Hassan Turabi. Turabi
menegaskan, jika kesemua
pergerakan Islam menjadi negara
Islam, maka imbangan antarbangsa
akan turut berubah. solusinya,
dunia Islam mesti berubah.
Meskipun sejumlah besar anggota
ummah dewasa ini berada dalam
diaspora, namun peluang
pengglobalan Islam untuk
membesar tetap cerah - selagi
ummah bergerak dalam homo
islamicus (manusia Islam sebenar).
Samada melalui idea Siddiqui
maupun idea Turabi, masing-masing
ada satu persamaan yaitu;
keyakinan kepada kejayaan Islam
seluruhnya.
Lantaran itu, campakkanlah segala
akar umbi ideologi nasionalisme
dari minda ummah dan marilah
kita sama-sama gerakkan satu
kekuatan raksasa; mensejagatkan
Islam dalam kehidupan dunia.
Biarlah dunia akan datang
beroperasi dalam kerangka Islam.
Percayalah, nun jauh di sana ada
cahaya bagi kemenangan Islam
bukan hanya kemenangan muslim
semata-mata.
Rujukan
1.Abdul Rahman Embong. 2000.
Malaysia Menangani Globalisasi,
Peserta atau Pemangsa? Di
sunting oleh Noraini Othman dan
Sumit K. Mandal. Cetakan Pertama.
Bangi, Selangor. Penerbit UKM.
2.Abul Hasan An-Nadawy. 1986. Apa
Derita Dunia Bila Islam Mundur.
Terjemahan H. Zubeir Ahmad.
Cetakan pertama. Malaysia.
Thinkers Library Sdn Bhd.
3.Ali Akbar Hashemi Rafsanjani.
2001. Keadilan Sosial: Pandangan
islam tentang HAM, Hagemoni
Barat & Solusi Dunia Modern.
Diterjemahkan oleh Anna Farida.
Cetakan Pertama. Bandung,
Indonesia. Penerbit Nuansa.
4.Hamid Enayat. 2001. Modern
Islamic Political Thought. Kuala
Lumpur. Islamic Book Trust.
5.Kalim Siddiqui. 1985. Negara
Nasionalisme Penghalang
Pembentukan Ummah. Terjemahan
Mahzan Ahmad. Cetakan pertama.
Kuala Lumpur. Pustaka Al-Alami.
6.Kamarudin Jaafar. 2000. Dr.
Burhanuddin Al-Helmy: Pemikiran
dan Perjuangan. Cetakan Kedua.
Kuala Lumpur. Penerbit Ikdas Sdn
Bhd.
7.Khalid Jaafar. 2003. Tumit
Achilles. Cetakan Pertama. Kuala
Lumpur. Institut Kajian Dasar.
8.Prof. Madya Dr. Siddiq Faddil.
1999. Hasan Al-Banna:
Kepoloporannya Dalam Gerakan
Reformasi. Cetakan Pertama. Kuala
Terengganu. Yayasan Islam
Terengganu.
9.Prof. Madya Mohamad Abu Bakar.
2000. pengglobalan Islam dan
Perpaduan Ummah: Menelusuri
Politik antarbangsa Masa Kini.
Cetakan Pertama. Kuala
Terengganu. Yayasan Islam
Terengganu.
Mungkin inilah hasil yang saya peroleh dari uték-uték hp, kiranya sangat sederhana bagi anda,tapi bagi saya, sangatlah melegakan. . . .
Tujuan kami, tidak lain hanyalah untuk saling berbagi, krena hidup terasa indah dengan berbagi..
Thanks telah mampir !
dari kami selamat membaca
Laman
Kamis, 18 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!