WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI MOECHTAR EL-NAOEMI, SILAHKAN ANDA MEMBACA-BACA ARTIKEL YANG ANDA SUKA, TAPI JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK ANDA/COMENT POSITIF YANG UNTUK KAMI SANGAT BERARTI . . . . THANKS YOUR VISITED SELAMAT MEMBACA ! ! ! !
English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

Jumat, 29 April 2011

BAGIAN KEDUA

Pendapat Aimmah tsalatsah (Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad)
Tentang : diperbolehkan menikahi wanita ahlul kitab meskipun memeluk ajaran taurat dan injil setelah turunnya Al-Qur’an”
Mayoritas fuqoha’ ber-kata : “hanya diperboleh-kan menikahi wanita ahli kitab yang memeluk ajar-an taurat dan injil, sebelum turunnya al-Qur’an. Barang siapa berpegang pada kitab tersebut setelah turunnya al-Qur’an, maka dia tidak tergolong Ahlul kitab.
Pendapat ini adalah madzhabnya Al-Imam Asy-Syafi’i R.a”.
Adapun para pemilik Madzhab Tsalatsah tidak sependapat dengan pendapat ini.
Mereka justru memutlak-kan pendapat yang menghalalkan sembelih-an Ahlul kitab dan juga menikahi perempuan-perempuan ahlul kitab, meskipun mereka itu memeluk agama ahlul kitab setelah kitabnya di nasakh”.

Madzhab Abu Hanifah Dan Ath-Thobari : “Memperbolehkan Hakim Atau Presiden Perempuan”
Demikian juga, para ula-ma berselisih pendapat mengenai persyaratan “Berjenis kelamin laki-laki”. Mayoritas ulama mengatakan : “hal itu menjadi syarat sahnya penetapan hukum”
Sementara itu Abu Hani-fah berkata : “diper-bolehkan bagi seorang perempuan men-jadi Al-Qodli didalam perkara perkara harta”.
Sedangkan menurut Ath-thobari : “seorang wanita diperbolehkan menjadi hakim secara muthlak (untuk segala perkara)”.

Fatwa Syeikh Nawawi Al-Bantani
Tentang : “17 Amal Yang Bisa Menghapus Dosa-Dosa seseorang”.
Faedah : “ada 17 amal kebajikan yang bisa menghapus dosa-dosa seseorang, baik dosa-dosa yang telah lewat maupun yang akan datang, yaitu:
1. Haji Mabrur 2. wudlu yang dilakukan secara sempurna 3. beribadah pada malam lailatul Qodar 4. beribadah pada bulan romadlon 5. puasa pada bulan romadlon 6. puasa pada hari arafah 7. membaca amin bersamaan dengan imam 8. membaca akhirnya surat Al-Hasyr mulai dari ayat:
9. Menuntun orang buta sampai 40 langkah kaki 10. ketika mendengar suara Muadzin mengucapkan :
11.membantu menyelesai-kan hajat sesame muslim 12. sholat dluha 13. ketika memakai pakaian meng-ucapkan do’a : ----------14.setelah makan meng-ucapkan do’a : ----
15. baru datang dari baitul muqoddas, setelah melaku-kan ibadah haji atau umroh dalam waktu tidak lama. 16. membaca surat Al-Fatihah, Qul-Huwallahu ahad, dan Al-Muawidzatain, masing-masing 7 kali setelah sholat jum’at. 17. bersalaman dengan sesama muslim yang tidak fasiq, sambil membaca sholawat kepada Nabi, Saw.

Fatwa Al-Qulyubi :
“Tentang Sholawat itu pasti di terima, meskipun orang yang mengucapkannya Riya’.
Al-Alaamah Asy-Syeikh Syihabuddin Al-Qulyubi Asy-Syafi’i, didalam Muqoddimah sholawat-nya – setelah menyebut-kan sejumlah hadits yang menerangkan keutamaan sholawat kepada Nabi Saw dan faedah-faedahnya, - beliau me-ngatakan : “baik secara umum maupun secara terperinci, sesungguhnya sholawat itu merupakan ibadah yang paling mudah dan paling dekat kepada Allah, Raja yang maha agung”.
Dan sholawat itu pasti diterima, baik siapa saja yang mengucapkan dan dalam keadaan bagai-mana saja. Dalam arti ; tidak ada perbedaan antara orang yang ikhlas dan orang yang riya’ – menurut Qoul yang paling shohih-.

Tentang : “Diperbolehkan Menikahi Perempuan Pezina”
Menurut Mayoritas Ulama

Hukum ketiga belas mengenai apakah sah menikahi perempuan pezina ?
Ulama salaf dalam menyikapi masalah ini; terpecah menjadi dua pendapat :
1.Haram menikahi pe-rempuan pezina. Pen-dapat ini di kutip dari sayyidina ‘Ali, Al-Barra’, Aisyah dan Ibnu Mas’ud.
2.Diperbolehkan me-nikahi perempuan pe-zina. Pendapat ini di kutip dari Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Abbas.
Pendapat ini adalah pendapat Mayoritas dan didukung oleh Fuqoha’ empat, yaitu para Imam Mujtahid kenamaan.

Fatwa Ibnu Hajar : Tentang Sumbangan Atau Pemberian Para Penguasa Boleh Diterima, Sebagaimana Telah Dilakukan Sebagian Ulama’ Salaf
Di tanyakan kepada Syeikh Ibnu Hajar Rodliyallahu anhu : ten-tang bagaimana hukum-nya menerima pemberian para penguasa pada zaman sekarang ini ?
Beliau menjawab : “bahwa para ulama’ salaf mau menerima pemberi-an tersebut. namun para ulama’ yang wira’i tidak mau menerimanya. sebenarnya boleh-boleh saja menerima pemberian tersebut, dengan syarat tidak nyata-nyata me-rupakan harta haram, seperti misalnya ; uang hasil bea cukai dan sebagainya. dan jika ternyata harta haram maka tidak boleh di terima.
Dan ketika tidak yakin ; bahwa harta yang di berikan itu haram, maka di perbolehkan meneri-manya.
Adapun pendapat Al-Ghozali yang menyata-kan : tidak di perboleh-kan “bekerja sama dengan orang-orang yang hartanya kebanyakan berasal dari perkara haram”- adalah Qoul Dloif. sebagaimana hal itu di komentarkan oleh An-Nawawi di dalam kitab Syarh Al-Muhadzab. Sementara itu Al-Qoul Al-Mu’tamad “ justru memperbolehkan mu’amalah semacam ini. Dan juga boleh memakan hasilnya dengan syarat ; harta tersebut tidak diyakini berasal dari harta-harta haram.

Kemudian ketika sese-orang memakan harta dan ternyata harta tersebut milik orang lain, apakah lantas di hari kiamat kelak akan mendapat tuntutan?
Menurut pendapat Al-Baghowi : “apabila si-pemberi makanan ter-sebut menurut lahiriah baik, maka bagi sipe-makan tidak akan di tuntut.
Dan apabila lahiriahnya bukan orang baik-baik – seperti para penguasa – maka ia akan dituntut di akherat, karena hal ini bukanlah tergolong udzur.
Dengan demikian, se-baiknya tidak usah ikut-ikutan memakan harta para penguasa meskipun sebenarnya hal itu di perbolehkan, dengan syarat-syarat seperti diatas. Dan sebaiknya kita sekalian meng-hindari harta mereka, agar kelak diakherat bebas dari tuntutan.

Fatwa Ibnu Hajar
Tentang : "Diperbolehkan Memberikan Bunga Kepada Rentenir Karena Dlorurat"
Syeikh Ibnu Hajar ditanya : tentang : mem-berikan bunga di karena-kan sangat dlorurat, yaitu ketika seseorang menghutang di peruntuk-kan anak-anak yang kelaparan. Dan apabila ia tidak mau memberikan bunga, maka tidak akan dihutangi. Apakah kondi-si seperti ini bisa meng-hindarkan orang tersebut dari dosa memberikan bunga, dengan alasan dlorurat ?
Beliau menjawab : “memang benar, dalam keadaan seperti ini, dosa memberikan bunga ter-sebut bisa tertolak, karena alas an dlorurat. Ashabuna sungguh telah memberikan penjelasan : bahwa orang yang dalam keadaan dlorurat diper-bolehkan merekayasa sebuah jual beli yang fasid, yaitu ketika se-orang penjual bahan makanan tidak mau men-jualnya kecuali dengan melebihi harga umum. Pembeli tersebut diper-bolehkan melakukan re-kayasa sehingga ia tidak berkewajiban membayar, kecuali dengan harga umum atau harga standar.

Fatwa Ibnu Hajar : Tentang Diperbolehkan Melihat Wanita Lain, Melalui Air Atau Cermin
Syeikh Ibnu Hajar ditanya : “tentang apakah diper-bolehkan melihat wanita lain, melalui cermin atau air yang jernih ?”
Beliau menjawab : sebagian Fuqoha’ ber-fatwa; bahwa, demikian ini diperbolehkan . Mereka mengambil pemahaman dari tidak dianggap cukup melihat barang yang dijual melalui cermin atau air. Dan orang yang bersumpah tidak akan melihat sesuatu, tidak dianggap melanggar sumpahnya, dengan sebab melihat melalui air atau cermin.

Fatwa Ar-Romli : Tentang , Salamnya Orang Fasik, Tidak Wajib Di Jawab
Ar-Romli ditanya tentang menjawab salamnya orang fasik itu, wajib ataukah tidak ?
Beliau mengatakan : bahwa, salamnya orang fasik itu tidak wajib di jawab, agar ia mau menghentikan perbuat-annya. dan tidak disunahkan memulai ucapan salam kepadanya.

Fatwa Az-Zayadi ; " Merokok Tidak Membatalkan Puasa", Untuk Kemudian Fatwa Tersebut Di Cabut Kembali
Adapun mengenai rokok yang kita jumpai sekarang ini, yang disebut-sebut se-bagai pohon berbau busuk itu, merupakan bidh'ah yang sangat tercela. Se-moga saja Allah melaknat orang yang pertama kali menemukannya.
Sungguh pada mulanya Az-Zayadi mengeluarkan se-buah fatwa : "bahwa me-rokok itu tidak membata-lkan puasa". Karena pada waktu itu beliau belum mengetahui hakekat rokok.
Kemudian setelah beliau mengetahui asap rokok itu mengandung Atsar berupa warna nikotin yang ikut terhisap, maka beliau men-cabut fatwanya dan menge-luarkan fatwa terbarunya : "bahwa merokok itu mem-batalkan puasa".

Pengertian Kafir Harbi, Dzimmi, Mu'aahad dan Muammam
1.Kafir Harbi yaitu : orang kafir yang tidak mengadakan akad per-damaian dengan kaum muslimin, seperti yang di komentarkan oleh Al-Fayyumi.
2.Kafir Dzimmi, yaitu : orang kafir yang meng-adakan akad jizyah (pembayaran pajak ba-dan), dengan imam atau wakilnya. Kafir dzimmi ini berada dibawah ke-tentuan hukum-hukum islam oleh karena itu kafir dzimmi mendapat-kan perlindungan.
3.Kafir Mu'aahad, yaitu : orang kafir yang meng-adakan perjanjian damai dengan imam atau wakilnya, berupa me-ninggalkan perang se-lama empat bulan atau maksimal sepuluh tahun, dengan syarat harus menyerahkan kompen-sasi tertentu atau syarat lainnya.
4.Kafir Mu'amman, yaitu : orang kafir yang mengadakan akad aman dengan kaum muslimin hanya dalam jangka waktu empat bulan saja.

Pendapat Hasan Al-Bashri, Asy-Sya'bi, Ibnu Sirin, Atho', Imam Malik Dan Asy-Syafi'i : Tentang : Diperbolehkan Mengambil Upah Hasil Mengajar Al-Qur'an
Adapun mengenai meng-ambil upah dari mengajar Al-Qur'an terjadi per-selisihan pendapat di antara para ulama. Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khothobi menceritakan pendapat yang tidak memperbolehkannya, da-ri segolongan ulama. An-tara lain; Az-Zuhri dan Abu Hanifah.
Dan di riwayatkan pula dari segolongan ulama yang lain, bahwa meng-ambil upah mengajar al-qur'an, diperbolehkan apabila sebelumnya tidak ada perjanjian. Pendapat kedua ini adalah pen-dapat Hasan al-Bashri, asy-sya'bi dan Ibnu sirin.
Sedangkan Imam Atho', Imam Malik dan Asy-Syafi'i juga memper-bolehkan, apabila sebe-lumnya ada perjanjian dan juga disertai akad ijaroh shohihah (akad jasa ).

Fatwa Ibnu Hajar :
“Tentang Diperbolehkan Mengambil Harta Orang Lain, Ketika Yakin Atau Ada Dugaan Ridlo”
Syeikh Ibnu Hajar di tanya : mengenai diper-bolehkan mengambil ba-rang milik orang lain karena yakin kerelaannya, apakah demikian ini berlaku untuk segala sesuatu atau hanya untuk makanan yang disuguhkan saja ?
Beliau menjawab : “menurut keterangan yang dimafhum dari pendapat fuqoha’ sesungguhnya di-perbolehkan mengambil harta orang lain karena yakin ridlo, tidaklah tertentu untuk makanan yang di suguhkan saja.
Mereka memberikan pen-jelasan lebih lanjut, bahwa dugaan yang sangat kuat – dalam masalah ini – me-nyamai keyakinan. Oleh karena itu apa bila ada dugaan yang cukup kuat, bahwa pemiliknya me-maafkan terhadap peng-ambilan harta-harta ter-tentu, maka harta tersebut boleh di ambil. Akan tetapi apabila ternyata dugaan tersebut meleset maka ia harus mau me-nanggung resiko (me-ngembalikan atau meng-ganti). Dan apabila duga-annya itu tepat maka sama sekali tidak menanggung resiko.

Tentang : “Ngerasani Yang Diperbolehkan”
Kemudian, sesungguhnya ngerasani itu menurut hukum aslinya haram. Namun bisa menjadi wajib atau mubah, karena ada tujuan-tujuan syar’i yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara ngerasani.
Ngerasani yang diper-bolehkan itu, hanya ter-batas pada enam keadaan :
1.orang yang didholimi.
Bagi orang yang di dholimi boleh meng-adukan (dengan cara ngerasani) kepada orang yang dianggap mampu menghilangkan atau meringankan kedholim-an tersebut.
2.ngerasani yang dipakai sarana untuk mengubah /menghilangkan ke-mungkaran, yang harus disampaikan kepada o-rang yang dianggap mampu melenyapkan-nya.misalnya dengan ucapan: “..Si fulan telah berbuat demikian…” saya minta saudara mau mencegah perbuatan tersebut …” namun dengan syarat benar-benar ada tujuan me-lenyapkan kemungkar-an. Jika tidak ada tujuan seperti itu, maka ter-golong “ngerasani yang diharamkan”, apa bila pelakunya bukan ter-masuk orang yang bodoh.
3.ngerasani dalam rangka meminta fatwa. Misal-nya seseorang mengata-kan kepada seorang mufti : “ …. Fulan telah berbuat dholim kepada saya, berupa …. Apakah perbuatan tersebut bo-leh dilakukan si fulan ? dan bagaimana solusi-nya permasalahan ini ? dan bagaimana pula cara mendapatkan kem-bali hak-hak saya ? …
nama dari orang yang bersangkutan, lebih utama di sembunyikan misalnya ia mengatakan : “… apa fatwa tuan mengenai seseorang atau suami yang mem-punyai masalah de-mikian … ? diperboleh-kannya menyebutkan nama terang, karena sesungguhnya seorang mufti terkadang bisa menemukan pendangan-pandangan tertentu yang tidak bisa ditemukan apabila nama tersebut di samarkan.
4.ngerasani dalam rangka memberi peringatan ke-pada kaum muslimin agar terhindardari ke-burukan dan untuk me-nasehati mereka. Misal-nya; menilai cacat ter-hadap para perowi hadits, para saksi, para penulis, para mufti, para pengajar ilmu dan para qori yang membacakan kitab, karena mereka tidak punya keahlian atau tergolong fasik atau termasuk pelaku bidh’ah yang menyerukan ajaran bidh’ahnya, meskipun seruan tersebut secara tersembunyi. Ngerasani untuk tujuan semacam ini, diperbolehkan. Bah-kan hukumnya menjadi wajib berdasarkan ijma’ ulama.
Dan juga misalnya ; menyampaikan urun rembuk meskipun tidak dimintai pendapat ke-pada orang yang ingin menikahi atau bekerja sama dengan seseorang, baik dalam urusan agama maupun duniawi, dimana orang tersebut diketahui sebagai orang yang buruk perangai-nya, karena fasik, bidh’ah, thoma’ dan lain sebagainya. Seperti hal-nya kefakiran calon suami dengan saran agar menggagalkan per-nikahannya.
5.ngerasani terhadap o-rang yang terang-terang-an melakukan perbuatan fasik atau bidh’ah. Seperti; para oknum pungutan liar, peminum arak yang terlihat dimuka umum dan para penguasa yang me-nyalah gunakan ke-kuasaannya.
Maka diperbolehkan menuturkan mereka dengan perbuatan yang mereka lakukan secara terang-terangan. Dan tidak diperbolehkan me-nurutkan a’ib lain (yang tidak dilakukan secara terang-terangan) kecuali ada faktor lain, yang disebetkan pada kete-rangan yang sudah lewat.
6.ngerasani dalam rangka memberikan julukan se-perti; menyebut sese-orang dengan sebutan Si Rembes, Si Tuli, Si Botak, Si Mata satu dsb. Menyebutkan julukan seperti ini diperboleh kan, meskipun masih mungkin memberitahu kan dengan cara yang lain. Pemberitahuan ter sebut semata-mata untuk sekedar memperjelas identitas, bukan untuk merendahkan. Akan te-tapi cara selain ini lebih diutamakan.

Tentang Berbohong Yang Diperbolehkan Atau Bahkan Diwajibkan
Peringatan : Syeikh Ibnu Hajar didalam kitab Az-Zawajir mengatakan : "bahwa menurut pendapat yang diunggulkan, ber-bohong itu tergolong dosa besar, apabila mengandung bahaya yang tidak bisa ditolelir lagi menurut pengadatan". Bahkan Ar-Rouyani didalam kitab Al-Bahr memberikan kete-rangan : "berbohong itu termasuk dosa besar, mes-kipun tidak membahaya-kan/merugikan orang lain".
Kemudian beliau juga mengatakan : "barang siapa berbohong, maka kesaksiannya ditolak, mes-kipun kebohongan tersebut tidak merugikan orang lain. Karena sesungguhnya berbohong itu hukumnya haram, baik dalam keadaan bagaimanapun".
Dan ketahuilah, sesung-guhnya berbohong itu terkadang diperbolehkan dan terkadang diwajibkan. Mengenai ketentuanya, seperti diterangkan di-dalam kitab Al-Ihya', adalah sebagai berikut:
1.segala tujuan yang terpuji, apabila bisa dicapai dengan cara jujur dan berbohong, maka berbohong dalam keadaan seperti ini hukumnya haram.
2.atau hanya bisa dicapai dengan cara berbohong, maka dihukumi mubah, apabila tujuan yang ingin dicapai termasuk perkara mubah.
3.berbohong bisa dihu-kumi wajib, apabila ber-tujuan untuk mencapai perkara wajib. Misalnya ; seseorang melihat o-rang yang harus dilin-dungi, dikejar-kejar oleh orang dhalim yang ingin membunuh atau me-nyakitinya, maka wajib baginya berbohong, ka-rena melindungi darah-nya orang tersebut hu-kumnya wajib.

Tentang : Diperbolehkan Ta'ziran Dengan Menyita Harta, Menurut Hanafiyah
Sebagian dari ulama Hana-fiyyah memperbolehkan ta'-ziran dengan menyita harta, dan ketika sudah bertaubat harta itu harus di kembalikan kepada pemiliknya.

Khilafiyyah Ulama Tentang : Menyemir Uban,Dengan Semir Hitam
Didalam kitab Syarh Mus-lim karya An-Nawawi, di jumpai keterangan sebagai berikut :
Menurut madzhab kita disunahkan menyemir uban dengan warna kuning atau merah, bagi laki-laki mau-pun wanita, dan diharam-kan menyemir dengan semir hitam, menurut qoul ashoh. Sementara itu, menurut pendapat yang lain dihukumi makruh tanzih. Adapun pendapat yang dipilih adalah pendapat yang menyatakan haram. Karena Nabi Saw. Ber-sabda : " jauhilah warna hitam".

Pendapat Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, Tentang : "Larangan Qunut Subuh"
Dari Sa'id bin Thoriq Al Asyja'i Rodliyallahu 'anhu, ia Berkata : Aku pernah bertanya kepada Ayahku : " wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah mengerjakan sholat di belakang Rosulullah Saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Apakah mereka semua berdo'a qunut ketika sholat subuh ?
Ayahku menjawab : "wahai anakkku, Qunut itu termasuk perkara yang baru datang". (HR. Khomtsah kecuali Abu Dawud).
Dari hadits diatas ter-cetuslah hukum; berupa larangan qunut shubuh, seperti pendapat yang di pegang Abu Hanifah dan Ahmad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
~@~Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda~@~Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja~@~Seseorang yang oprimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan~@~Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna~@~Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain~@~Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah~@~Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda~@~Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan~@~Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas~@~Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun~@~Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri~@~Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan lebih cermat~@~