Pendapat Al-Hamawi, Tentang: “Politik Tirani dan Politik Keadilan”
Pada “Hasyiyah man laa miskin” terdapat sebuah keterangan dari AL-Hamawi: “bahwa politik itu termasuk urusan syara’ yang dianggap penting. Sedangkan politik itu ada dua macam :
1.Politik Tirani
2.Politik Keadilan
Politik keadilan adalah politik yang bertujuan menegakkan kebenaran di tengah-tengah suasana ke-dhaliman, menentang ber-bagai bentuk penindasan, mengahalau para pelaku kejahatan dan mengantar-kan masyarakat pada kon-disi yang sesuai dengan tujuan-tujuan syare’at.
Politik seperti ini, me-nurut syare’at wajib di-lakukan dan dipegang erat-erat, demi tegaknya kebenaran”.
Fatwa Al-Muhib Ath-Thobari dan Al-Asnawi
Tentang : "Diperbolehkan Membunuh Para Pejabat Yang Lalim Meskipun Dengan Cara Meracunnya"
"Faedah" : Al-Muhib Ath-Thobari didalam kitab "At-Tafqih" mengatakan : "diperbolehkan membunuh pejabat-pejabat pemerintah yang melakukan penindas-an terhadap rakyat, mereka itu disamakan dengan lima binatang buas yang biasa membuat kerusakan. Ka-rena mereka itu ternyata lebih berbahaya dari pada binatang-binatang tersebut.
Al-Asnawi mengutip pendapat Ibnu Abd. Salam ; bahwa sesungguhnya bagi orang yang mampu mem-bunuh orang-orang dholim – seperti para pejabat yang melakukan tarikan liar dan sebagainya – hendaklah hal itu dilakukan saja. Misalnya dengan cara me-racun nya. Agar masya-rakat menjadi tenang kem-bali dan terbebas dari ke-dhaliman. jika menghalau "penjahat" - meskipun hanya mencuri satu dirham – saja diperbolehkan, mes-kipun sampai dengan cara membunuhnya, apalagi ter-hadap orang dholim yang melaku-kan penindasan dimana-mana.
Fatwa As-Sayyid Abdullah Bin Umar Bin Abu Bakar Bin Yahya
Tentang : “Pengertian Dar-Al-Islam dan bumi jawa adalah Dar Al-Islam”.
(masalah Ya' ) : setiap tempat dimana kaum muslimin yang ber-domisili disitu mampu menolak serangan kafir-kafir musuh, dari waktu-kewaktu, maka dengan sendirinya kawasan ter-sebut tergolong Dar-Al-Islam. Dengan demikian hukum-hukum islam pun berlaku pada waktu itu juga dan untuk seterus-nya. Meskipun pada suatu saat tempat tersebut di kuasai orang-orang kafir, sehingga kaum muslimin di usir dan di-larang memasuki kawas-an tersebut.
Dan ketika itu penamaan Dar Harbi, hanya se-batas bentuknya saja, tidak untuk penerapan hukumnya.
Dengan demikian maka bisa diketahui ; bahwa, bumi Betawi dan bahkan kawasan bumi Jawa pada umumnya, meru-pakan Dar Islam. Karena pada masa lampau per-nah dikuasai kaum mus-limin, sebelum pada akhirnya dikuasai oleh orang-orang kafir.
Tentang : "Ketika Kafir Dzimmi Melanggar Perjanjian"
Ketika kafir-kafir dzimmi melanggar perjanjian, maka kita tidak boleh memerangi, merampas harta, atau me-nawan anak-anak mereka, selama mereka belum me-lakukan penyerangan.
Akan tetapi mereka harus dideportasi dari negeri-ne-geri kaum muslimin, dalam keadaan terjamin keamanan mereka. Sehingga sampai-lah mereka pada kawasan yang aman dinegeri-negeri kaum musyrikin. Dan ketika mereka tidak mau di-deportasi secara baik-baik, maka mereka harus diusir secara paksa.
Pendapat Imam Malik dan sebagian “Syafi’iyyah”
Tentang: “Air Tidak Akan Menjadi Najis, Kecuali Berubah.
Banyak sekali Imam-Imam kita yang memilih pendapat Imam Malik, bahwa air itu tidak akan menjadi najis, secara mutlak (baik sedikit maupun banyak), kecuali mengalami perubahan.
Ibnu Hajar berkata : “seolah-olah mereka itu bermaksud memberikan ke-mudahan kepada manusia. Jika tidak demikian, maka dalil-dalil yang ada sangat jelas sekali menunjukkan pada penafshilan.
Fatwa Al-Bujairomi
Tentang : “Kotoran Yang Berasal Dari Kaki Manusia, Tidak Mempengaruhi Kemutlakan Air
Al-Bujairomi berpendapat : “bahwa, apa yang sering kita saksikan, yaitu kotor-an-kotoran yang berasal dari kaki manusia ketika membasuh kaki mereka di pancuran, bukan termasuk bab ini (perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang terdapat pada “tempatnya air”). Pendapat ini memang berbeda de-ngan apa yang ditulis Syaikhuna “pada Hasyi-yahnya”.
Dapat dipastikan, perubah-an tersebut termasuk dalam “babnya sesuatu yang tidak bisa dihindari air, namun selain tempat yang didiami ataupun tem-pat yang dilewati. Demi-kian ini seperti yang difatwakan “ orang tua-nya Syeikh”. Beliau me-nyamakan dengan kotoran-kotoran yang berasal dari badannya orang-orang yang menceburkan diri ke-dalam bak mandi. (ke-terangan Rosyidi mengo-mentari tulisan Ar-Romli).
Fatwa Ar-Rofi'i dan An-Nawawi,
Tentang: “Diperbolehkan Memakan Ikan-Ikan Kecil, Meskipun Kotorannya Belum Dibersihkan” .
Al-Qomuli di dalam kitab “Al-Jawahir”, mengutip pendapat dari para Ash-hab, tentang tidak diperbolehkan memakan ikan asin sebelum dibersihkan kotoran yang terdapat di dalam perutnya.
Dhohirnya keterangan di-atas, tidak membedakan antara ikan kecil mupun ikan yang besar. Akan tetapi Asy-Syaekhoni (Ar-Rofi'i dan An-Nawawi) memperbolehkan memakan ikan kecil, meskipun bersamaan kotoran yang berada di dalam perutnya, karena memang sulit membersihkannya.
Syeikh An-Nawawi Bin Umar Al -Bantani,
Tentang: “Ikan Asin Atau Gerih”
Ketahuilah !!! sesung-guhnya ikan gerih yaitu ikan yang diberi garam, kemudian ditumpuk-tum-puk, hukumnya najis ‘ain dan tidak bisa disucikan dengan cara dibasuh karena bagian-bagiannya telah lekat dengan darahnya ikan yang lain. Hukum najis tersebut untuk selainnya tumpukan paling atas. Adapun tumpukan paling atas dihukumi suci.
Ketentuan ini hanya ber-laku untuk ikan yang di-tumpuk di dalam wadah. Hal itu berbeda ketika ditimbun di dalam tanah, maka dihukumi suci. Ka-rena darah ikan tersebut jelas-jelas meresap ke dalam tanah.
Begitu juga ketika ikan tersebut terlebih dahulu disembelih sebelum di-tumpuk. Maka ikan asin dengan proses seperti ini dihukumi suci karena penyembelihan itu bisa menghilangkan darah.
Adapun ketika ikan ter-sebut disendiri-sendiri-kan, maka dihukumi suci.
Keterangan diatas me-rupakan hukum yang berkaitan dengan nanah atau darah.
Adapun mengenai hu-kumnya kotoran ikan: bisa di ma’fu untuk ikan kecil dan untuk ikan besar tidak dima’fu dan juga tidak boleh dima-kan, selama kotoran yang terdapat di dalam perutnya belum dikeluar-kan. Karena dagingnya telah bercampur kotoran, dengan perantaraan ga-ram tersebut.
Telur ikan termasuk pe-ngecualian, artinya di-hukumi suci. Karena antara telur dan kotoran tersebut terdapat sekat. Maka katika kantong kotoran tersebut pecah, kotoran tidak akan bisa sampai pada telur. Kotoran tersebut hanya sampai pada daging dan kemudian meresap.
Fatwa Syeikh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malaybari,
Tentang : “Orang-Orang Yang Was-Was Sebaiknya Mengikuti Pendapat Paling Ringan (Abu Hanifah)”
Sebaiknya, bagi orang yang mendapat cobaan was-was mengambil pen-dapat yang paling rinagn dan murah, agar was-wasnya tidak bertambah parah dan bisa-bisa ia akan keluar dari keten-tuan-ketentuan syar'i. Dan bagi orang yang tidak mendapat cobaan tersebut, sebaiknya mengambil pendapat yang paling berat, agar tidak keluar dari “Ibahah”.
Artinya orang tersebut keluar dari ketentuan syar'i dengan sebab bertambahnya was-was. Dan ia akan mendapat cobaan cobaan was-was didalam “niat wudlu atau bacaan Fatihah di belakang imam”.
Dengan demikian ke-banyakan waktunya aka dihabiskan untuk ber-wudlu atau sholat saja.
Maka iapun boleh saja meninggalkan niat de-ngan mengikuti Abu Hanifah. Karena niat itu menurutnya hanya se-kedar sunah.
Atau mengikuti Abu Hanifah untuk masalah ; diperbolehkan mening-galkan bacaan Al-Fatihah di belakang imam. Demikian itu ia lakukan sampai hilang-nya was-was.
Resep Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili,
“Menghilangkan was-was”
Waswas ketika takbirotul Ikhrom merupakan per-mainan syaithon. Was-was itu menunjukkan adanya gangguan pada akal atau bisa juga karena bodoh dalam masalah agama.
AL-Ustadz Abdul Hasan Asy-Syadzili mengajar-kan do’a kepada murid-muridnya, untuk menolak was-was dan gangguan-gangguan fikiran yang buruk. Beliau mengata-kan : “Barang siapa me-rasakan was-was, hen-daknya meletakkan ta-ngan kanannya pada dada dan mengucapkan doa :
Sebanyak 7 x
Kemudian mengucapkan do’a :
Fatwa An-Nawawi Tentang : Mengulangi Sholat Jenazah
Masalah : ketika sese-orang telah melakukan sholat jenazah dengan berjamaah atau sendirian, kemudian ingin meng-ulangi lagi bersamaan dengan jamaah yang lain, maka dalam hal ini terdapat 3 fersi pendapat :
1.menurut pendapat ashoh ; hukumnya khilaful aula
2.menurut pendapat kedua; hukumnya makruh
3.menurut pendapat ketiga; hukumnya sunnah.
Fatwa An-Nawawi Tentang : "Bersiwak Dengan Menggunakan Jari"
Masalah : mengenai ber-siwak dengan menggunakan jari terdapat 3 versi pen-dapat :
1.Menurut pendapat ashoh, tidak sah
2.Menurut pendapat ke-dua dihukumi tidak sah
3.Menurut pendapat ke-tiga, dihukumi sah apabila tidak ada benda lain. Dan dihukumi tidak sah apabila masih ada yang lain.
Fatwa An-Nawawi Tentang Lebih Baik Mengurus Pendidikan Dari Pada Berperang
Masalah : lebih utama mana, antara menyibuk-kan diri dengan ilmu dan berperang?
Jawab : selama jihad itu hukumnya fardlu kifa-yah, maka menyibukkan diri dengan ilmu itu lebih utama.
Dan apabila jihad itu sudah sampai pada taraf fardlu ain maka lebih utama dari pada ilmu. Baik ilmu yang fardlu ain maupun yang fardlu kifayah “wallahu a’lam”
Fatwa An-Nawawi Tentang Diperbolehkan Memberikan Uang Kepada Orang BerpengaruhYang Sanggup Membebaskan Orang Yang Dipenjarakan Secara Dlolim
Masalah : ketika sese-orang dipenjarakan sul-tan atau penguasa secara dholim, yaitu orang-orang yang posisinya ser-ba sulit, apakah diper-bolehkan menyerahkan harta kekayaannya ke-pada orang yang sanggup berbicara ke-pada sultan dengan segenap penga-ruhnya? dan apakah ada salah satu ulama’ yang pernah menjelaskan hal itu?
Jawab : memang benar diperbolehkan. Sebagai-mana hal itu dijelaskan segolongan ulama’ ter-masuk diantaranya Al-Qodli Husein, pada awal bab riba, dalam sebuah catatan kakinya. Kete-rangan tersebut di nukil dari al-Qoffal al-Mar-wazi. Beliau mengatakan : kompensasi diatas me-rupakan akad jasa yang mubah. Beliau juga me-ngatakan : “dan itu tidak bisa dikategorikan suap, akan tetapi merupakan upah yang halal, sebagai-mana akad jasa yang lainnya”.
Fatwa Syeikh Isma’il Zein Al-Yamani Al-Makki Tentang Kedudukan Orang-Orang Kafir Di Indonesi, Pakistan, India, Syiria, Irak, Mesir, Sudan, Maroko Dan Negara-Negara Muslim Lainnya
Kesimpulan dari per-tanyaan pertama adalah bahwa sesungguhnya negeri kalian telah mer-deka – al-Hamdulillah – akan tetapi masih ter-dapat banyak sekali orang-orang kafir, se-mentara itu mayoritas penduduknya terdiri dari kaum muslimin. Ironis-nya “pemerintah” me-nyamakan antara ke-dudukan kaum muslimin dan orang-orang kafir. Kalian katakan bahwa syarat-syaratnya dzim-mah kebanyakan tidak terpenuhi oleh mereka. Lantas orang-orang kafir tersebut tergolong dzim-mi ataukah harbi? dan bolehkah kita dengan terang-terangan menyakiti mereka ? (dan seterusnya … )
Aku katakan; dengan pertolongan allah, sera-ya memohon pertolongan darinya untuk mendapat-kan kebenaran. Sesung-guhnya dialah dzat yang dermawan, pemurah dan banyak.
Adapun jawaban dari pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
Ketahuilah ! sesungguh-nya orang-orang kafir yang sekarang ini berdiam di negeri kalian dan juga negeri-negeri islam lainnya seperti Pakistan, India, Syiria, Irak, Mesir, Sudan, Maroko dan lain se-bagainya, bukan ter-golong dzimmi, mu’a-had, ataupun mus-ta’man, Bahkan mere-ka itu tergolong kafir harbi yang murni.
Bagaimana tidak? Mere-ka itu selalu meng-hargainya dirinya, mem-bangun rumah-rumah dengan bangunan tinggi dan megah, mendapat persamaan hak milik. Mendapatkan kelonggaran-kelonggar-an, dibebaskan melaku-kan perdagangan dan merekapun meraih sukses, diberi kebebasan menyampaikan aspirasi, bercocok tanam dengan benih yang mereka tebarkan dan merekapun memperoleh hasil panen melimpah dan lebih ironis lagi mereka itu diberi hak yang sama untuk duduk diparlemen pemerintah dan juga dalam hak suara pemilihan umum.
Kendati demikian, me-nentang mereka dengan menyakiti secara terang-terangan – seperti yang kalian tanyakan – perlu direnungi secara men-dalam dengan mengem-balikan pada pertimbang-an antara menarik ke-maslahatan dan meng-hindarkan kerusakan.
Dalam hal ini nampaknya lebih diutamakan meng-hindari kerusakan-keru-sakan dari pada hanya sekedar menarik kemas-lahatan. Apalagi bagi masing-masing individu jelas-jelas tidak mungkin mnentang mereka secara terang-terangan. Seperti realitas yang kita saksi-kan bersama sekarang ini.
Memang benar seum-pama saja seseorang dari kaum muslimin mampu menguasai harta benda, anak-anak mere-ka, dan lain sebagainya, maka sebenarnya apa yang ia dapatkan itu sama halnya dengan rampas-an perang.
Fatwa An-Nawawi : Tentang Diperbolehkan Mengutuk Orang-Orang Yahudi, Nasrani Dan Para Pengikut Paham Sesat
Masalah : apakah diper-bolehkan mengutuk orang-orang yahudi, nas-rani, kaum Rofidloh dan kaum qodariyah secara umum tanpa ditentukan orangnya ?
Jawab : demikian itu diperbolehkan, namun yang lebih utama tidak usah dilakukan.
Fatwa Syeikh Isma’il Zein Al-Yamani : Orang Kafir Yang Menjadi Warga Indonesia, Dengan Tanpa Perjanjian Akad Amaan
Soal : apa komentar tuan tentang orang kafir yang memasuki wilayah nega-ra Indonesia dengan tanpa ada akad amaan dari orang orang islam. Sementara itu ia ber-mukim selama-lamanya di Indonesia. Apakah ia tergolong harbi, sehingga bagi kita boleh meng-ambil hartanya ataukah tidak?
Dan bagaimana pula hukumnya orang muslim yang membantu pekerja-annya dengan diberi upah?
Jawab : ketahuilah ! sesungguhnya orang kafir yang memasuki wilayah negara kaum muslimin dengan tanpa ada akad aman dan kemudian bertempat tinggal untuk selama-lamanya tersebut ter-masuk kafir harbi yang darahnya tersia-siakan (halal darahnya). Harta-nyapun juga boleh kita kuasai dengan cara apapun dan harta itu sebagai rampasan.
Adapun mengenai akad jasa yang dilakukan dengan orang muslim dan menolong dalam pekerjaannya dengan upah sepantasnya me-rupakan akad yang sah, akan tetapi dihukumi makruh.
Fatwa An-Nawawi : Tentang Cara Menghilangkan Dosa Karena Durhaka Kepada Kedua Orang Tua, Setelah Keduanya Meninggal Dunia
Masalah : ketika sese-orang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan keduanya meninggal dengan memendam api kebencian, bagaimana cara menghilangkannya ? dan bagaimana pula caramenggugurkan tun-tutan mereka kepada Si anak kelak di akhirat ?
Jawab : mengenai tuntutan mereka terhadap sianak – kelak diakherat – sama sekali tidak ada jalan untuk menghapus-nya. Akan tetapi, sebaik-nya setelah ia menyesali perbuatannya hendaknya memperbanyak istighfar dan do’a untuk kedua orang tuanya, bersedekah apabila memungkinkan, memuliakan orang yang dicintai oleh kedua orang tua – baik teman dekat mereka dan sesamanya – menyambung tali per-saudaraan mereka, me- lunasi hutang mereka atau perbuatan-perbuatan baik lainnya yang mudah dilakukan untuk kedua orang tuanya.
Fatwa Syeikh Isma’il Zein : Tentang Kebohongan Orang-Orang Amerika Naik Kebulan
Soal : apa komentar tuan tentang seseorang yang mengaku bisa sampai kebulan, seperti pengaku-an orang-orang amerika ?
Apakah ditemukan dalil yang menguatkan peng-akuan mereka ?
Tolong jelaskan kepada kami dalil-dalilnya yang shorih, semoga tuan mendapat pahala dan balasan.
Jawab : semoga Allah memberikan pertolongan untuk mendapatkan ke-benaran; sesungguhnya bulan itu termasuk salah satu dari ayat-ayat Allah. Menurut para ulama’, posisinya berada dilangit paling bawah. Untuk sampai kesana, seperti berita-berita yang ter-sebar luas mustahil sekali terjadi baik menurut hukum adat ataupun syari’at.
Demikian itu karena matahari dan bulan termasuk ayat-ayat Allah yang menunjukkan ke-agungan kerajaannya. Sampainya seseorang ke-bulan dan matahari atau salah satu diantara ke-duanya seandainya saja terjadi berarti memper-mainkan ayat-ayat Allah. Sedangkan ayat-ayat Allah itu selalu terjaga dari segala bentuk per-mainan. Bukankah allah Swt telah berfirman : “termasuk diantara ayat-ayatnya adalah malam, siang, matahari dan bulan”.
Sebagaimana halnya tidak boleh ikut campur dalam urusan malam dan siang, baik dengan mem-percepat, memperlambat, menghambat dan me-langgengkannya begitu juga tidak diperbolehkan ikut campur dalam urusan matahari dan bulan. Dengan demikian seseorang tidak akan bisa sampai ke bulan dan matahari dengan tujuan hanya sekedar memenuhi ambisi-ambisi pribadi ataupun keyakinan-keyakinan yang mengan-dung kekufuran. Semua ini adalah pendapat yang aku yakini kebenarannya meskipun sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa, peristiwa itu mungkin juga terjadi dan Allah jualah yang maha tahu.
Tentang sholat Taraweh bisa 20 rekaat, 36 rekaat atau 40 rekaat
(Far’un) Tentang ber-bagai madzhab ulama mengenai bilangan rekaat tarowih.
Menurut madzhab kita (syafi’iyyah), sholat tarowih itu terdiri dari 20 rekaat dengan 10 kali salaman (selain witir ). Dan didalam pelaksanaan sholat tarowih ini terdapat 5 kali istirahat. 1 kali istirahat dilakukan ketika sudah mencapai 4 rekaat dengan 2 x salaman. Pendapat ini adalah menurut madzhab kita (syafi’iiyyah). Dan juga di dukung oleh Abu Hanifah dan ash-habnya, Imam Ahmad, Imam dawud dan lain sebagai-nya. Dan pendapat ini di kutip oleh Al-Qodli ‘iyyadl dari mayoritas ulama’
Dan diceritakan pula, bahwa sesungguhnya Aswad bin mazid melaku-kan sholat tarowih sebanyak 40 rekaat. Dan mengerjakan sholat witir sebanyak 7 rekaat.
Imam Malik berkata : “sholat tarowih itu terdiri dari 9 kali istirahat, dengan bilangan 36 rekaat, selain witir.
Imam Malik berargu-mentasi, bahwa, hal itu persis seperti apa yang dilakukan penduduk Madinah.
Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata: “aku menemui mereka mengerjakan ibadah sholat pada bulan Romadlon, dengan 36 rekaat. Dan 3 diantaranya merupakan sholat witir.
Ash-haabuna (kalangan Syafi’iyyah) mengambil hujjah dari riwayat Imam Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad shohih, dari Saaib bin Yazid Ash-Shohaabi, R.a, ia berkata ; “bahwapara sahabat pada zaman umar bin khothob mengerjakan sholat tarowih pada bulan romadlon sebanayak 20 rekaat dan pada zaman Utsman mereka menger-jakan sebanyak 200 rekaat, dengan terbung-kuk-bungkuk diatas tongkat, karena merasa sangat lelah berdiri”
Pendapat Imam Malik : tentang “Waktu dhuhur sampai terbenamnya matahari” dan pendapat Abu Hanifah : tentang “waktu dhuhur sampai bayang-bayang suatu benda dua kali lipat dari bendanya”
Ada sebuah riwayat dari Imam Malik R.A : “sesungguhnya waktu dhuhur diperpanjang hingga terbenam mata-hari”.
Berkata Abu Hanifah : bahwa waktu dhuhur hingga baying-bayang suatu benda, dua kali lipat dari bendanya kemudian baru masuk waktu ashar.
Demikian ini seperti diterangkan Ar-Rodaad”.
Sayyiduna Al-Hadddad seringkali memerintah-kan sebagian dari putri-putrinya yang sedang si-buk mengikuti kegiatan majlis-majlis wanita agar mengakhirkan sholat dhuhur pada waktunya ashar.
Fatwa al-Bandaniji : “tentang diperbolehkan menjama’ sholat dalam bepergian jarak dekat “ dan fatwa Abi Ishaq : “tentang di perbolehkan menjama’ sholat, meskipun tidak dalam bepergian dengan alasan ; ada hajat”
“Faedah” : dari kalangan kita (ulama Syafi’iyyah) berkembang satu pen-dapat yang memper-bolehkan menjama’ sholat, dalam bepergian jarak pendek pendapat ini dipilih oleh Al-Bandaniji. Dan sebenarnya menurut dhohir nya hadits juga diperbolehkan menjama’ sholat meskipun ketika di rumah, sebagaimana ke-terangan di dalam kitab syarh muslim.
Al-Khothobi meriwayat-kan dari abu Ishaq : “bahwa, diperbolehkan melakukan jama’ sholat ketika berada di rumah, apabila ada hajat. Meskipun tidak dalam situasi takut, cuaca hujan dan juga tidak dalam kondisi sakit. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ibnu Mundzir”.
Pendapat “Masyhur” Malikiyyah, menghalalkan Hasyaroot, seperti : bekicot, ular, cacing dsb.
Sama sekali tidak ada perselisihan di kalangan “Malikiyyah”, bahwa segala sesuatu yang membahayakan dihukumi haram. Oleh karena itu mereka sepakat; bahwa tidak di perbolehkan memakan hasyaroot yang bisa membahayakan.
Adapun apabila suatu kaum biasa memakannya dan ternyata tidak membahaya-kan dan di dalam hatinya tidak merasa jijik, maka menurut qoul masyhur di kalangan malikiyyah tidaklah haram.
Dengan demikian, apa-bila misalnya ; seekor ular besar bisa di bersihkan ( dari bisanya) dengan cara memotong bagian didekat kepala-nya atau ekornya, se-hingga sama sekali tidak menyisakan bisa (racun ;upas), maka halal dimakan dengan syarat : perasaan hatinya mau menerima (tidak merasa jijik) dan tidak pula membahayakan badan.
Akan tetapi telah di nukil pula sebuah riwayat dari kalangan “malikiyyah” yang mengharamkan “hasyaroot” secara mut-lak, karena memandang ; bahwa hasyaroot me-rupakan perkara yang menjijikkan. Pendapat ini merupakan versi yang cukup di unggulkan.
Berpijak dari qoul masyhur yang meng-halalkan hasyaroot ter-sebut, tidaklah halal kecuali ada maksud untuk “disembelih”. Sedangkan cara penyem-belihannya yaitu : dengan cara apa saja, asalkan bisa mematikan. Baik dengan air panas, gigi dan lain sebagainya, sebagaimana keterangan yang telah lewat.
"Penyembelihan binatang yang darashnya tidak mengalir, menurut Malikiyyah".
Adapun suatu tindakan yang bisa mematikan adalah cara penyem-belihan terhadap bina-tang-binatang yang da-rahnya tidak mengalir. Seperti; belalang dan cacing. Maka sesungguh-nya cara penyembelihan-nya adalah “mematikan-nya” dengan sebab apa saja seperti; dengan di panggang api, di potong dengan gigitan dipukul dengan tongkat dan lain sebagainya.
Empat macam penyem-belihan diatas disyarat-kan harus menyebut nama Allah, bagi seorang muslim yang memang ingat dan mampu jika lupa arah memang tidak mampu mengucapkan, seperti ; orang bisu, maka di makan sembelihannya juga halal
Mungkin inilah hasil yang saya peroleh dari uték-uték hp, kiranya sangat sederhana bagi anda,tapi bagi saya, sangatlah melegakan. . . .
Tujuan kami, tidak lain hanyalah untuk saling berbagi, krena hidup terasa indah dengan berbagi..
Thanks telah mampir !
dari kami selamat membaca
Laman
Jumat, 29 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



































Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!