WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI MOECHTAR EL-NAOEMI, SILAHKAN ANDA MEMBACA-BACA ARTIKEL YANG ANDA SUKA, TAPI JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK ANDA/COMENT POSITIF YANG UNTUK KAMI SANGAT BERARTI . . . . THANKS YOUR VISITED SELAMAT MEMBACA ! ! ! !
English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

Jumat, 29 April 2011

BAGIAN KEEMPAT

Pendapat syeikhul islam Zakariya Al-Anshori
Tentang : membaca Al-Qur’an tidak harus bertajwid
Bagi seorang Qori’ wajib menjaga tajwidnya baca-an yang tela disepakati para ulamaQurro’ se-perti; bacaan mad, Qoshr, dua macam idghom, idhar , iqlab dan ikhfa’. Dan ia termasuk berdosa dengan sebab meninggal-kan tajwid, menurut Qoul mu’tamad yang disetujui mayoritas ulama kita.
Syaikhul Islam mengata-kan : “Tidaklah wajib menjaga tajwid. Sedang-kan perkataan Ibnu Al-Jazari (pengarang Na-dhom Jazariyah) – wal Akhdzu Bit-Tajwid di …, - di arahkan pada kewajiban dan dosa menurut istilah saja”.

“Orang-Orang Yang Mencari Ilmu, Termasuk Sabilillah Menurut Imam Malik “
Dan (zakat juga diberi-kan) kepada orang-orang yang menegakkan agama Allah. Yakni mereka yang melaksanakan pe-rang dijalan Allah, yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan harta Fa’i, meskipun tergolong kaya raya.
Dan zakat itu digunakan untuk membeli peralatan perang, seperti : persen-jataan, perisai dan kuda.

Menurut madzhab Imam Malik ; orang-orang yang menenggelamkan seluruh waktunya untuk mencari ilmu, diper-bolehkan mengambil bagian zakat, meskipun mereka tergolong kaya raya. Dengan syarat mereka sudah tidak mendapatkan jatah dari baitul mal. Karena sesungguhnya mereka itu termasuk golongan para pejuang.

Sabilillah adalah segala bentuk kebaikan, menurut riwayat al-Qoffal
Bagi orang yang ber-perang di perbolehkan mengambil harta zakat, meskipun kaya.
Demikian ini adalah madzhabnya Asy-Syafi’i. Malik, Ishaq dan abu ‘Ubaid.
Abu Hanifah dan dua sahabatnya (Abu Yusuf & Muhammad ) berkata : “orang yang berperang tidak di beri zakat kecuali membutuhkan-nya”.

Al-Qoffal mengutip dari sebagian fuqoha’ ;
“bahwa, sesungguhnya mereka itu memper-bolehkan pentashorufan zakat untuk semua bentuk kebaikan yakni, untuk mengkafani mayit, mem-bangun benteng dan memperbaiki masjid dan lain sebagainya karena firman Allah “Fisabi-lillah” itu, bisa men-cakup semua nya.

“Jengkerik atau Jangkrik Dihukumi Halal Menurut Sebagian Ash-Haaab”
Adapun mengenai “jengkerik” hukumnya haram menurut pendapat paling shohih diantara dua versi Ash-haab. Waallahu a’laam
Mengenai hukumnya jangkrik terdapat per-selisihan di kalangan Ash-Haab. Sebagian dari mereka ada yang menyamakan dengan belalang. Sedangkan yang lainnya menyama-kannya dengan kecoa dan lalat. Pendapat kedua ini yang lebih jelas dalilnya
F
atwa Syeikh Muhammad Fadloli, Tentang : “Pendapat Ibnu Abbas Yang Memperbolehkan Berkurban Atau Aqiqoh Dengan Menyembelih Jago Atau Angsa”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas : bahwa sesung-guhnya berkurban itu di cukupkan dengan meng-alirkan darah, meskipun hanya berupa ayam atau angsa.
Syeikh Muhammad Al-Fadloli memerintahkan orang-orang fakir untuk taqlid kepada Ibnu Abbas.
Dan Aqiqoh bisa juga di qiyaskan dengan masalah berkurban. Dengan demikian, bagi orang yang tidak mampu membeli kambing di per-silahkan meng-Aqiqohi anaknya dengan me-nyembelih ayam jago – dengan berpegang pada madzhab nya Ibnu abbas – sebagaimana di katakan oleh Syeikh Muhammad Al-Fadloli.

Ketika Hari Raya Jatuh Pada Hari Jum’at, Tidak Diwajibkan Sholat Jum’at
Masalah : ketika hari jum’at bertepatan dengan hari raya maka untuk pelaksanaan sholat jum’at terdapat 4 madzhab.
1.menurut madzhab kita; bagi penduduk kampung dan peng-huni padang sahara yang telah men-datangi sholat I’d dan keluar dari tempat tinggalnya sebelum matahari tergelincir, maka tidaklah berke-wajiban sholat jum’at. sedangkan bagi pen-duduk balad tetap berkewajiban sholat jum’at.
2.menurut madzhabnya Ahmad Bin Hanbal ; tidak wajib sholat jum’at, baik bagi penduduk balad maupun penduduk kampung. Mereka se-mua hanya berke-wajiban mengerjakan sholat dhuhur.
3.menurut madzhabnya Imam Atho’; sama sekali tidak wajib mengerjakan sholat jum’at dan juga tidak wajib mengerjakan sholat dhuhur. Mereka semua pada hari itu hanya berke-wajiban sholat ashar
4.dan menurut madz-habnya Abu Hanifah; wajib mengerjakan semuanya (sholat I’d dan sholat jum’at).

Madzhab Abu Hanifah : “Mewajibkan Berwudlu, Sebab Tertawa”
Pendapat Abu Hanifah termasuk sangat kontro-versial, ia mewajibkan wudlu karena tertawa pada waktu sholat, dengan berdasarkan sebuah hadits mursal yang diriwayatkan Abu Al-‘Aliyah. Hadits itu berbunyi : “sesungguhnya suatu kaum tertawa-tawa ketika sholat. Kemudian oleh nabi Saw, mereka diperintahkan meng-ulangi wudlu dan sholatnya”.
Hadits yang di tampilkan Abu Hanifah ini ditolak oleh mayoritas ulama. Karena merupakan hadits mursal. Lagi pula pendapat ini bertentang-an dengan kaidah ushul yakni : segala sesuatu yang membatalkan “thoharoh” ketika sho-lat, tidak berarti mem-batalkannya diluar sholat”. Meskipun sebenarnya hadits ini termasuk hadits mursal yang shohih.

Pendapat Asy-Sya’bi, Muhammad bin Jarir Ath-Thobari dan Kaum Syiah : “Tentang di Perbolehkan Sholat Jenazah Meskipun Tidak Dalam Keadaan Suci

“Telah saya sebutkan, bahwa se-sungguhnya sholat jena-zah itu tidaklah sah kecuali dengan bersuci".
Artinya, apabila sese-orang masih mungkin berwudlu, maka sholat jenazah tersebut tidak sah, kecuali dilakukan dengan memakai wudlu. Dan bila ternyata tidak bisa melakukan wudlu, maka harus bertaya-mum. Sedangkan taya-mum sendiri tidak bisa dianggap sah, apabila masih mungkin meng-gunakan air, meskipun –misalnya- khawatir akan kehabisan waktu. Pen-dapat tersebut adalah madzhabnya Imam Malik, Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir.
Abu Hanifah ber-pendapat diperbolehkan tayamum untuk melak-sanakan sholat jenazah, meskipun ditemukan air, dengan syarat apabila mengerjakan wudlu khawatir akan keting-galan sholat jenazah.
Pendapat ini di riwayat-kan Ibnu Mundzir, dari Atho’, Saalim, Az-Zuhri, Ikrimah, An-Nakho’i, Sa’ad bin Ibrohim, Yahya Al-anshori, Rabiah, Al-Laits, Ats-Tsauri, Al-Auza’I, Ishaq dan Ashhaab Ar-Ro’yi. Dan Riwayat ini ternyata sama dengan pendapat Imam Ahmad.
Asy-Sya’bi,Muhammad Bin Jariir Ath-Thobari Dan Kaum Syiah berkata : “diperboleh-kan sholat jenazah dengan tanpa bersuci, meskipun masih mung-kin untuk mengerjakan wudlu dan tayammum, karena sholat jenazah itu hanya sekedar do’a.
Penulis kitab Al-Haawi (Al-Mawardi), mengatakan : “bahwa , pendapat Asy-Sya’bi ini merupakan Qoul yang berseberangan dengan ijma’. Oleh karena itu hendaknya jangan dianggap.

Mani Menurut Imam Malik Dan Abu Hanifah, Dihukumi Najis
Masalah ketujuh : “para Fuqoha berselisih pen-dapat mengenai mani, apakah tergolong najis atau tidak ?
Sekelompok Fuqoha berpendapat bahwa mani itu najis. Termasuk dalam kelompok ini, yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah.
Sedangkan sebagian Fuqoha yang lain meng-hukumi suci. Termasuk di dalam ini adalah Asy-Syafi’i, Ahmad dan Dawud.

Fatwa Ibnu Hajar :
Tentang Orang yang terlahir dalam keadaan Buta, Tuli dan bisu, tidaklah berkewajiban Sholat
Ditanyakan kepada Ibnu Hajar – Semoga Allah Memberikan manfaat – tentang : orang yang terlahir dalam keadaan tuli, buta dan bisu. Apakah masih berke-wajiban sholat ?
Beliau menjawab : “bahwa, Ibnu Al-‘Imad telah menjelaskan; se-sungguhnya orang ter-sebut tidak berkewajiban mengerjakan sholat, seperti halnya orang yang tidak terjangkau dakwah. Pendapat ini jelas sekali menyamai pada keterangan para imam-imam kita (Syafi’iyyah) dan juga imam imam selain dari kalangan kita, yaitu tentang tidak adanya taklif (tuntutan) kecuali setelah mengetahui. Dengan demikian ketika orang yang terlahir seperti ini sama sekali tidak mengetahui seluk beluk syara’, maka ia tidak mendapat tuntutan sholat dan lainnya”.

Fatwa Ar-Romli : Tentang Diperbolehkan Tidur Sebelum Subuh, Meskipun Bangunnya Selalu Kesiangan (Subuh Qodlo Terus)
Ditanyakan kepada Ar-Romli. Tentang seseorang yang tidur sebelum masuk waktunya sholat fardlu (seperti subuh misalnya), padahal menurut dugaan dan kebiasaannya selalu terbangun setelah habisnya waktu. Haram ataukah tidak, tidur seperti ini ?
Beliau menjawab : Tidur tersebut, tidaklah haram. Karena orang tersebut keti-ka memulai tidurnya, be-lum mendapatkan khithob untuk mengerjakan sholat.
Adapun untuk tidur se-belum waktunya sudah sangat jelas sekali per-masalahannya.
Dan adapun ketika me-masuki waktu, ia tidak lagi mendapatkan khithob, ka-rena pena para Malaikat pencatat amal ketika itu sedang berhenti.
Permasalahan tersebut ti-daklah sama dengan tidur yang sengaja dilakukan ke-tika sudah tiba “waktunya sholat”. Tidur seperti ini haram hukumnya. Kecuali yakin atau ada dugaan akan terbangun dan bisa mengerjakan didalam wak-tunya.

Tentang : Macam-Macam Anjing Dan Hukum Membunuhnya
Anjing itu terdiri dari 3 macam :
1.Anjing yang suka menggigit.
anjing seperti ini sa-ma sekali tidak men-dapat perlindungan syara’ dan sunah di bunuh, dengan tanpa ada perselisihan pen-dapat dikalangan ulama’
2.Anjing yang berman-faat untuk berburu atau menjaga harta.
anjing seperti ini mendapatkan perlindungan syara’ dan haram dibunuh, dengan tanpa ada perselisihan dikalangan ulama’
3.Anjing yang tidak bermanfaat dan juga tidak membahayakan.
anjing seperti ini biasa disebut dengan anjing pasar atau anjing ja’ashi. Me-nurut Ar-Romli an-jing ini mendapatkan perlindungan syara’ dan haram dibunuh.
Sedangkan menurut Syeikh Al-Islam ; anjing seperti ini boleh dibunuh.
dan apabila anjing itu suka menggigit akan tetapi juga bermanfaat, maka sunah di bunuh karena lebih memper-timbangkan bahaya yang ditimbulkan.

Ijma’ Ulama Mengenai Diharamkan Mengkonsumsi Daging Babi
Adapun termasuk di antara yang diharamkan dengan berdasarkan ke-sepakatan kaum mus-limin, adalah : 1. daging babi 2. darah.
Mengenai babi ini, para ulama’ telah bersepakat ; bahwa lemak daging dan kulitnya di hukumi haram.
Sedangkan mengenai apakah rambutnya boleh di manfaatkan ? dan apakah kulitnya di-hukumi suci, baik yang disamak maupun yang tidak disamak ? dalam hal ini, para ulama berselisih pendapat.

Tentang Babi Dihukumi Suci Menurut Madzhab Imam Malik Dan Riwayat Abu Hanifah
An-Nawawi berkata : “kita tidak menemukan dalil yang jelas-jelas menghukumi najis pada babi, meskipun Ibnu Al-Mundzir menyata-kan bahwa, najisnya babi berdasarkan ijma’ .
Akan tetapi pernyataan Ibnu Al-Mundzir tersebut di tolak, sebab madzhab Imam Malik dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah menyatakan; bahwa babi itu di hukumi suci.

Fatwa Ar-Romli : Tentang Diperbolehkan Memakan Semut Yang Bercampur Makanan Apabila Sulit Di Bersihkan
Ditanyakan kepada Ar-Romli : tentang makanan yang didalamnya ter-dapat semut dan sulit di bersihkan. bolehkah me-makan makanan tersebut, bersamaan dengan semut yang ada didalamnya ? ataukah tidak diper-bolehkan, karena ke-matian semut tersebut setelah berada di dalam makanan dan juga mung-kin khawatir memba-hayakan jika dimakan ?
Beliau menjawab : “bahwa, memakan ma-kanan tersebut diper-bolehkan. Kecuali me-nurut dugaannya akan membahayakan dirinya, maka tidak diperboleh-kan”

14 Qoul Ulama; Mengenai Bilangan Jama'ah Jum'at

Syarat syahnya sholat Jum’at yang kedua adalah harus dilakukan oleh 40 orang .
Persyaratan dengan bi-langan ini adalah salah satu qoul diantara 14 qoul ulama; mengenai bi-langan yang bisa menge-sahkan jum'atan.
Menurut qoul kedua ; sholat jum'at sah di lakukan oleh satu orang saja. Pendapat ini di ri-wayatkan oleh Ibnu Hazm.
Menurut qoul ketiga ; cukup dilakukan 2 orang saja, sebagaimana per-syaratan sholat jama'ah biasa. Pendapat ini adalah qoulnya An-Nakho'i dan ulama Dhohir.
Qoul keempat ; cukup 3 orang saja ditambah seorang imam. Pendapat ini menurut Abu Hanifah dan Sufyan Ats-tsauri Radliyaallahu anhuma.
Qoul kelima ; cukup 2 orang saja di tambah seorang imam. Pendapat ini menurut Abu Yusuf , Muhammad dan Al-Layts
Qoul keenam ; cukup 7 orang saja, pendapat ini menurut Ikrimah.
Qoul ke tujuh ; cukup 9 orang saja yaitu menurut Rabiah.
Qoul kedelapan ; cukup 12 orang. Pendapat ini juga menurut sebagian riwayat dari Rabiah dan Imam Malik.
Qoul kesembilan ; sama dengan qoul ke delapan (12 orang), hanya saja tidak menghitung imam-nya. Ini adalah pendapat Ishaq.
Qoul kesepuluh ; cukup 20 orang saja yaitu menurut riwayat Ibnu Habib juga dari Imam Malik.
Qoul kesebelas ; cukup dengan 30 orang. Pen-dapat ini juga di ri-wayatkan dari imam Malik.
Qoul ke dua belas ; harus dilakukan 50 orang yaitu menurut riwayat Abu Hanifah dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rodliyaallahu anhu.
Qoul ketiga belas ; harus 80 orang yaitu pendapat Al-Maruzi.
Qoul ke empat belas ; harus dilakukan dengan bilangan yang tidak terhitung jumlahnya.

Pendapat Az-Zayyadi; Tentang Diperbolehkan Menjamak Sholat, Dikarenakan Sakit
Far'un : Asy-Syarqowi berkata : "tidak boleh menjamak sholat di kare-nakan sakit, jalanan ber-lumpur atau cuaca gelap- menurut Qoul mu'tamad
Sementara itu, Az-Zayyadi mengatakan : "pendapat yang memperbolehkannya (baik jamak taqdim maupun ta'khir) me-rupakan pendapat yang dipilih. Dan sebaiknya orang yang sakit melaku-kan yang paling ber-manfaat bagi dirinya.
Segolongan ulama' mutaakhirin membatasi sakit yang memperboleh-kan jama' sholat sebagai berikut: "yang dimaksud-kan sakit disini adalah sakit yang sangat me-nyulitkan untuk melaksa-nakan sholat fardlu pada waktunya. Sebagaimana kesulitan yang di akibat-kan hujan, dimana hujan itu membasahi baju sese-orang.
Sedangkan ulama' yang lainnya mengatakan "harus terjadi suatu ke-sulitan yang nyata, me-lebihi kesulitan yang di akibatkan turunnya hujan, yaitu berupa kadar ke-sulitan yang memper-bolehkan duduk ketika mengerjakan sholat fardlu. Pendapat tersebut merupakan versi yang di unggulkan.

Pendapat Al-Barmawi, Tentang : "Diperbolehkan Menyampaikan Rukun-Rukun Khutbah Dengan Selain Bahasa Arab, Ketika Ditempat Itu Tidak Ada Orang Arab"
As-Suwayfi mengutip pen-dapat dari Al-Barmawi: "persyaratan yang meng-haruskan rukun-rukun khu-tbah dengan memakai ba-hasa Arab, hanya berlaku apabila didalam masya-rakat tersebut terdapat orang Arab. Dan jika sama sekali tidak ditemukan orang Arab, maka dua khutbah tersebut diperbo-lehkan memakai bahasa 'ajamiyyah , kecuali untuk bacaan ayat Al-Qur'an yang harus tetap memakai bahasa Arab, karena di samakan dengan bacaan Al-Fatihah.

Tentang ; Diperbolehkan Memberikan Zakat Kepada Ahli Bait Nabi
Masalah ba' : mayoritas ulama syafi'iyyah telah sepakat mengenai tidak diperbolehkan memberi-kan zakat kepada ahlu bait nabawi. Sebagai-mana tidak diperboleh-kan memberikan harta-harta yang bersifat wajib seperti misalnya nadzar dan kafarat. Ketetapan hukum tersebut tetap berlaku meskipun mere-ka terhalang dari khumus al-khumus, yang menjadi hak mereka. Budak-budak merekapun juga tidak boleh menerima zakat menurut qoul ashoh .
Banyak sekali ulama dari kalangan mutaqodimin dan muta'akhirin me-milih pendapat yang memperbolehkan, de-ngan syarat ahlu bait tersebut telah terputus dari harta khumusul khumus. Termasyuk di antaranya : al-Ishthokhri, al-Harowi, ibnu yahya dan Ibnu Abu Hurairoh. Dan perlu di ketahui ! bahwa pendapat ini telah difatwakan dan di amal-kan oleh Al-Fahru Ar-Rozi, Al-Qodli Husain, Ibnu syukail, ibnu ziyad, an-nasyiri dan ibnu muthair.

Fatwa Ibnu 'Ujail : Tentang Diperbolehkan Memberikan Zakat Hanya Kepada Satu Golongan Saja Dan Juga Di Perbolehkan Memindahkan Zakat
Masalah ya' syiin : "sudah sangat jelas se-kali, sesungguhnya me-nurut madzhab Asy-Syafi'i ; wajib meratakan zakat harta dan zakat fitroh kepada delapan golongan yang bisa di jumpai.

Akan tetapi madzhab tsalaatsah (Maliki, Hana-fi dan Hambali) memper-bolehkan pembagian za-kat hanya kepada satu golongan saja. Pendapat ini sama dengan apa yang difatwakan Ibnu 'Ujail dan Al-Ashbahi. Dan nampaknya mayo-ritas ulama mutaakhirin menyetujuinya, karena memandang kenyataan ; sangat sulit sekali mem-bagikan zakat secara me-rata.
Dan diperbolehkan mengikuti para ulama tersebut, baik dalam masalah pemindahan za-kat, maupun masalah pembagian zakat, yang hanya di berikan kepada seorang saja sebagai-mana hal itu telah di-fatwakan oleh Ibnu 'Ujail atau lainnya.

Fatwa Al-Baghowi Dan Abu Nashr Al-Bandaniji : Tentang Diperbolehkan Memindah Mayit Kedaerah Lain (Sebelum Dimakamkan) Namun Dihukumi Makruh
Masalah ketiga : Mengenai pemindahan mayit dari suatu balad ke balad lain. Pengarang kitab Al-Haawi me-ngatakan : Bahwa, Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata : aku tidak me-nyukai pemindahan ma-yit, kecuali dipindah di dekat Makkah atau Madinah atau Baitul Maqdis. Pemindahan ke-tempat-tempat ter-sebut dipilih karena me-nguburkan mayit pada tempat-tempat tersebut memang memiliki keuta-maan.
Al-Baghowi dan Abu Nashr Al-Bandaniji, dari golongan ulama’ Irak mengatakan : pemindah-an tersebut dihukumi makruh.
Sedangkan Qodli Husein, Ad-Daarimi dan Al-Mutawalli mengatakan : pemindahan tersebut dihukumi haram.
Al-Qodli Husein dan Al-Mutawalli mengatakan : "Seandainya seorang ber-wasiat untuk dipindahkan kesuatu tempat, maka wasiat tersebut tidak sah".
Pendapat terakhir ini pendapat yang paling shohih. Karena syara’ memang memerintahkan untuk segera mengubur-kan. Sedangkan memin-dahkan mayit, berarti mengakhirkan pengubur-an. Selain itu juga bisa merusak kehormatannya dan juga bisa meng-akibatkan “perubahan pada kondisinya”

Khilafiyyah Ulama,
Tentang : " Apakah Tidur itu membatalkan Wudlu ? "

Para ulama Berselisih pendapat mengenai; apa-kah tidur itu bisa mem-batalkan wudlu ?
Imam Malik lebih memandang kepada sifatnya tidur itu sendiri Beliau mengatakan : "Apa bila tidur tersebut termasuk kategori tidur pulas ( sekira orang yang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di depannya ), maka tidur seperti ini membatalkan Wudlu.
Dan apabila tidur ter-sebut termasuk kategori ringan, maka tidaklah membatalkan Wudlu ".
Sedangkan Imam Asy-Syafi'i lebih memandang kepada sifatnya orang ti-dur tersebut. Beliau mengatakan : "Apabila orang tersebut tidur de-ngan menetapkan pan-tatnya pada bumi, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan Wudlu. Dan apabila tidak menetapkan pantatnya, maka batallah wudlu-nya".
Abu Hanifah berkata : "Apabila seseorang tidur dengan keadaan seperti tingkahnya orang yang sedang mengerjakan sholat ( sambil berdiri, duduk atau sujud), maka tidaklah membatalkan wudlu dan apabila keadaannya tidak seperti itu, maka tidur tersebut membatalkan wudlu".
Imam Ahmad berkata : "Apabila seseorang tidur dengan duduk atau berdiri, maka tidaklah membatalkan wudlu, dan jika tidak sambil duduk atau berdiri, maka tidur tersebut membatalkan wudlu".

Tentang : Diperbolehkan Membatalkan Puasa Bagi Para Pekerja Berat, Apabila Memenuhi Enam Syarat
Masalah : tidak diperboleh-kan membatalkan puasa, bagi sesamanya pengetam, pemetik kurma & pembajak tanah, kecuali memenuhi beberapa syarat yang jum-lahnya ada enam, sebagai-mana yang kita ketahui dari ungkapan para fuqoha.
1.tidak mungkin menunda pekerjaannya, pada bu-lan syawal.
2.pekerjaan tersebut sulit dilakukan pada malam hari, atau tidak memadai (jika dilakukakan pada malam hari), sehungga bisa mengakibatkan ke-rusakan atau berkurang-nya harga meski tidak dianggap mendatangkan kerugian.
3.dengan berpuasa ia merasakan penderitaan yang pada umumnya tidak bisa tertahankan lagi. Dengan gambaran ; "penderitaan tersebut sampai pada ambang batas yang memperbo-lehkan tayammum atau memperbolehkan duduk ketika melakukan sholat fardlu". Hal ini berbeda dengan pendapat Ibnu Hajar.
4.pada malam harinya ia tetap berniat puasa dan pada pagi harinya juga dalam keadaan ber-puasa. Ia tidak boleh membatalkan puasanya kecuali benar-benar ter-jadi udzur.
5.pembatalan puasa ter-sebut harus diniati me-lakukan rukhshoh, agar ada perbedaan antara pembatalan yang diper-bolehkan dengan pem-batalan yang lainnya. Sebagai orang yang sakit ketika ingin mem-batalkan puasa maka harus disertai niat untuk mendapatkan rukhshoh.
6.tidak bermaksud menja-dikan pekerjaan dan penderitaan tersebut se-mata-mata untuk peran-tara agar mendapatkan rukhshoh, dan ketika ada maksud seperti itu maka ia tidak diper-bolehkan melakukan pembatalan puasa. Se-bagaimana seorang mu-safir yang punya tujuan ; "agar dengan bepergi-annya itu ia bisa me-ngerjakan rukhshoh"
dengan demikian, apabila syarat-syarat diatas terpe-nuhi, maka diperbolehkan baginya membatalkan pu-asa. Baik pekerjaan ter-sebut untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Dan meskipun ia bukan satu-satunya orang yang harus menyelesaikan pekerjaan tersebut dan masih bisa menemukan orang lain yang sanggup melaku-kannya.
Dan apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, maka ia akan mendapatkan dosa besar. Karena ada kete-rangan dalam sebuah hadits : "sesungguhnya barang si-apa membatalkan puasa romadlon sehari saja de-ngan tanpa udzur, maka puasa sepanjang masa tidak akan bisa mengganti-kannya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami tunggu kritik dan saran yang membangun dari anda !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
~@~Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda~@~Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja~@~Seseorang yang oprimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan~@~Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna~@~Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain~@~Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah~@~Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda~@~Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan~@~Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas~@~Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun~@~Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri~@~Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan lebih cermat~@~